Friday, June 8, 2007

Melali ke Peken

(Jalan-Jalan ke Pasar)

Seperti biasanya, saya senang setiap kali ada kesempatan untuk menghantar istri saya belanja ke pasar. Dan saya selalu bersemangat untuk membawa belanjaan, meskipun kadang-kadang berat. Tapi saya tahu di dalamnya pasti ada jajan pasar dan be guling kesukaan saya. Ehm…sedap…! Apalagi kalau musim panas, istri saya selalu membelikan es daluman, segar kali bah!

Satu waktu istri saya mengajak ke pasar di kota Negara. Di pasar karena terlalu ramai, saya hanya menunggu dan memperhatikan kegiatan-kegiatan yang terjadi di pasar tersebut. Dan saya mulai mengamati setiap interaksi yang terjadi di pasar tersebut dari depan sampai ke bagian yang paling dalam. Saya mulai dari depan. Ketika masuk di pintu pasar kita akan disambut dengan melihat sebuah pelangkiran yang di dalamnya terdapat banyak sekali canang. Tentu setiap pedagang (Hindu) yang ada di pasar tersebut memberikan persembahannya di altar nya. Harapannya jelas: hari ini dapat untuk banyak! Saya melewati bagian itu dan kemudian memperhatikan interaksi antara pembeli dan penjual yang ada di pasar tersebut.

Seorang perempuan muda sederhana, kelihatannya bukan orang berada dan pasti juga bukan orang Kristen karena di dahinya ada bija, tanda ia baru sembahyang. Ia datang ke penjual tomat: “Buk.. buk, kuda tomat ene ekilo”, perempuan muda itu bertanya. Si ibu tidak menjawab. “Buk, kuda tomat ene ekilo?” , ulang si perempuan muda. “Kenken dagange ene, kel medagang apa kel pules…”, Si perempuan muda hanya heran, tanpa marah sedikitpun. Kemudian dia ngeloyor pergi begitu saja karena si ibu dagang tetap saja tidak bangun-bangun. Tetapi yang pasti perempuan itu tidak menggerutu, bahkan tertawa cekikikan. Begitu juga dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, mereka tertawa bersama-sama. Senang juga ada hiburan pagi-pagi. Tertawa meskipun tidak dapat membeli buah tomat.

Di sudut toko penjual baju-baju seorang perempuan cantik setengah baya kelihatannya sedang sibuk menawar. Kelihatan dari penampilannya sepertinya orang yang ber-ada. Dengan rambut sedikit di blow, dahi nonong yang mengkilat, jam tangan yang berkilau (tapi saya lihat dari dekat jamnya menunjukan pukul 12.30, padahal pada waktu itu masih pagi) dan tentunya make up yang tidak kalah menyilaukannya. Baju warna putih tanpa kerah leher, dan….ada kalung salib nggantung di dadanya. Kristen, pasti Kristen menurut pikiran saya. Saya lebih mendekat lagi dan coba untuk mendengar perbincangan mereka. “ Kuda ajin baju duwuran ne gek…?” tanya si perempuan setengah baya. “Eh…empat puluh ribu bu” kata si penjual. “ Peh mahal sajaan…., dasa tali beee…?” Si penjual tersenyum, katanya, “Sing maan modal ne monto, jeg sampun ngepas sajan…”. Dibilang begitu si perempuan cantik itu lantas menggerutu dan sambil berjalan meninggalkan si penjual menggerumel, “Baju mudah… jeg ajin dagange mahal sajaaan…! Si penjual terpaku dan orang-orang di sekitarnya juga terpaku. Heran. Waktu saya berpikir mengapa mereka heran, saya akhirnya mendapat jawabannya. Mereka merasa heran karena: pertama, aneh melihat orang ke pasar dengan pakaian yang aujubilah noraknya. Kedua, kelihatannya kaya tetapi ternyata tidak bisa membeli plus marah-marah. Ketiga¸ masyaalah…gelang dan kalungnya…mengkilat eui!

Masuk lagi ke bagian utara kita akan disambut dengan bau amis daging ayam dan kotorannya, daging sapi dan ikan-ikan. Tetapi tepat di sebelah para penjual itu ada pura tempat persembahyangan. Setiap orang bisa sewaktu-waktu ke sana untuk bersembahyang, meskipun bau amis dan kotoran ayam, daging sapi dan ikan telah menghilangkan bau kemenyan yang dibakar. Saya memperhatikan sebagian dari mereka dengan hikmatnya menunaikan ibadahnya tanpa terganggu: tentu bau kotoran ayam.

Tiba-tiba dari belakang ada orang yang memukul punggung saya. Ah, ternyata istri saya dengan belanjaan yang seaberek-abrek. Tak apalah….. yang penting, ada jajan pasar dan be guling dan tentu es daluman. …..

Refleksi

Sadar atau tidak sadar, pasar rakyat adalah sebuah simbol dari konteks pluralitas masyarakat. Di dalamnya terjadi interaksi multikultural dan kepentingan yang oleh Herbert Mead di sebut dengan Interaksi Simbolik: Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.

Pasar adalah realitas simbolik akan arti pertukaran nilai dan makna melalui komunikasi. Komunikasi adalah universal. Dia bisa hadir melalui kata-kata (komunikasi verbal, misalnya menawar, tertawa bersama), simbol-simbol (pelangkiran, pura, warna, dll), perilaku (perhatikan sikap ibu muda yang sederhana dan ibu cantik yang sok kaya), bahkan nilai-nilai (kekhusukan dalam ibadah). Semua ini adalah realitas komunikatif yang pluralistik yang jika dibangun dengan baik maka akan menghasilkan tatanan-tatanan sosial yang kuat sebagai landasan hidup bersama (Commond ground). Dan dasar dari semua itu adalah kemauan untuk hidup bersama dan saling bertutur sapa.

Hidup bersama adalah sebuah kehidupan yang tidak membedakan kelas, SARA, status sosial, dimana semuanya itu oleh Marx dicap sebagai akar dari penyakit sosial. Pasar Negara tidak membedakan setiap orang yang datang untuk berbelanja ke sana. Sama seperti Gereja adalah ‘Pasar Rakyat”. Di dalamya ada begitu banyak manusia dari berbagai latar belakang sosial. Pertanyaannya tentu sejauh mana komunikasi pluralistik telah dibangun melalui gereja? Dalam kenyataannya tidakkah kita lebih sering mementingkan diri kita sendiri. Pembangunan sering dilihat sebagai gengsi para pemimpin gereja. Eksklusifitas rohani sering dilihat sebagai ukuran menilai orang lain atau gereja lain yang dianggap tidak rohani. Kekayaan adalah buah rohani sedangkan kemiskinan adalah buah dosa. Besarnya sumbangan pembangunan adalah ukuran kehormatan dan status rohani di gereja. KKR di gereja adalah indikasi jemaat yang hidup padahal Pembinaan Warga Gereja yang utuh terabaikan. Kepintaran sering dijadikan kesombongan dan menganggap kesederhanaan berpikir adalah kebodohan. Karismatik adalah kesalehan, kekritisan dianggap sekularisme. Familiy succsesfull adalah target kehidupan keluarga Kristiani. Yang tidak sukses…apakah tidak Kristiani? Utara adalah kesulitan, selatan adalah kemakmuran. Ada anggapan (sesat) lebih enak di gereja kota dari pada di gereja desa. Kompetisi adalah barang haram tetapi KKN adalah sebuah tawaran. Kedudukan adalah kenikmatan, oleh karenanya menjadi tujuan. Semuanya ini tentu tidak lebih dari bau kotoran ayam!

Saya hanya terhenyak ketika melihat Pura di dalam pasar didatangi umatnya yang tidak terkontaminasi dan terpengaruh oleh baunya kotoran ayam. Saya membayangkan jika setiap pemimpin umat dan seluruh umat Tuhan yang ada di gereja datang dengan kerendahanan hati serta penuh hikmat dan pulang dalam sikap hidup saling menghargai satu dengan yang lainnya dalam tegur sapa dan saling mengenal, tidakkah ‘bau’ dosa (iblis) itu akan hilang hilang? Yang adalah adalah kehikmatan, kesukacitaan dan perdamaian.

Saya terhenyak juga ketika melihat Pura berada di tengah-tengah pasar dengan bau kotoran ayam. Dimasuki oleh orang dengan dengan kaki telanjang. Tetapi terbuka dan selalu terbuka. Terbayang bahwa gereja tidak pernah berada di dalam pasar. Selalu berdiri dengan megah dan ornamen kemewahan. Tiada bau kotoran ayam tapi parfum wangi yang harganya sering dilebih-lebihkan oleh pengurus gereja. Tak ada orang datang dengan kaki telanjang, tetapi dengan sepatu dan baju yang terkesan baru. Ibadah dengan suara hingar bingar Band tanda Roh Kudus hadir, selalu begitu katanya. Setelah itu gereja akan ditutup sampai minggu depan. Silahkan mengambil kunci gereja di rumah koster gereja kalau ingin masuk, sebab pintu gereja tertutup! Tetutup: Jangan-jangan inikah kondisi gereja masa depan? Tetutup dari dunianya dan hanya melihat dunia “di atas” sebagai harapannya. Tertutup untuk mengenal orang lain, tertutup untuk melihat perbedaan sebagai keindahan, tertutup bagi ketidaksepahaman, tertutup bagi iman yang berlainan, tertutup untuk belajar dari orang lain, tertutup terus…sampai kapan gereja akan maju! Mungkin itulah sebabnya sekali waktu kita perlu melali ke peken!

Doa dan Penyembahan

Doa dan Penyembahan

A. Doa dan Penyembahan: Suatu Relasi dalam Kesetiaan Umat dan Allah

Akhir-akhir ini dalam pergerakan gereja di banyak kawasan dunia ini menghadapi sebuah gerakan yang sangat luar biasa di dalam doa dan penyembahan. Namun sering beberapa kalangan menilai bahwa gerakan doa dan penyembahan ini hanyalah sebuah kenyataan yang bersifat ekstase. Gerakan kuasa doa dan penyembahan di anggap sebagai sebuah gerakan yang membawa orang pada kesenangan sesaat. Mungkin hal ini yang di sebut oleh Karl Marx sebagai gereja atau agama adalah candu masyarakat. Sebagai candu ia hanya terasa nikmat ketika digunakan setalah itu akan membawa malapetaka. Mungkin dalam hal-hal tertentu ada benarnya juga. Akan tetapi kita ingin melihat bahwa gerakan doa dan penyembahan tidaklah semata-mata sebagai sebuah gerakan yang bersifat ekstase. Gerakan doa dan penyembahan pada intinya adalah hati Allah itu pada dirinya sendiri. Alkitab mencatat dengan jelas bahwa Allah yang kita sembah adalah suatu pribadi yang menginginkan umatnya untuk menyembah-Nya secara utuh. Dalam Mazmur 81:10 secara tegas dikatakan bahwa :

“Jangan ada diantaramu allah lain, dan janganlah engkau menyembah kepada allah asing”.

Kata allah asing dalam Mazmur ini menunjukan dengan tegas bahwa hanya ada Allah yang Satu / Esa (Primus Inter Pares) yang disembah oleh Israel. Allah yang Satu (lih. Ulangan 6:4) itu telah mengangkat Israel dari kegelapan menuju terang-Nya yang ajaib. Oleh karena itu sepenuhnya Israel harus menyembah kepada Allah yang Satu yang telah memilih mereka. Namun demikian dalam perjalan kehidupan umat Israel sebagai bangsa pilihan Allah mereka tidak selalu setia di dalam penyembahannya kepada Allah. Dalam Alkitab perjanjian lama -- khususnya dalam kitab nabi-nabi besar dan kecil : Yesaya hingga Maleakhi -- kita dapat melihat perjalanan yang jatuh bangun di dalam mewujudkan kesetiaan Umat Israel kepada Allah. Namun demikan Alkitab juga mencatat bahwa Allah yang telah memilih Israel adalah Allah yang penuh dengan kasih setianya yang tidak terhingga. Kata kasih setia Allah yang tidak terhingga ini dalam bahasa Ibrani sering diterjemahkan dengan istilah khesed. Kata ini hanya diperuntukan oleh Allah yang setia kepada umat pilihanNya. Kata khesed ini sering digunakan untuk menjelaskan bagaimana Allah yang murka kepada umat Israel karena ketidaksetiaannya tetapi kembali menyayangi umatnya tersebut dengan belas kasihan dan kasihNya[1].

Masakan Aku membiarkan engkau seperti Admah, membuat engkau seperti Zeboim? Hatiku berbalik di dalam diri Ku, belas kasihan Ku bangkit serentak. Aku tidak akn melaksanakan murka Ku yang bernyala-nyala itu, tidak akan membinarkan Efraim kembali. Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia, Yang Kudus di tengah-tengah mu, dan Aku tidak datang untuk menghanguskan (Hosea 11: 8-9).

Dari gambaran hubungan umat dan Allah di atas nampak dengan jelas bahwa Allah menghendaki umatNya untuk tetap setia kepada Nya dan hal ini terjadi karena Allah lebih dahulu memiliki kasih setia yang tidak terhingga (khesed) kepada umatNya. Salah satu unsur terpenting di dalam mewujudkan hubungan yang baik di antara manusia dengan Allah adalah di dalam kesetiaan umat untuk menyembah Dia.

Jadi, jelaslah bahwa gerakan doa dan penyembahan bukanlah sebuah ritual yang bersifat ekstase semata-mata tetapi merupakan inti hidup orang yang beriman kepada Allah. Dan sebaiknya juga kita harus memiliki hikmat yang besar untuk dapat membedakan apakah gerakan doa dan penyembahan itu hanya bersifat ekstase semata-mata atau memang benar-benar diilhami oleh kuasa Roh Kudus Allah. Dalam hal inilah pengetahuan dan pemahaman serta penghayatan yang benar tentang konsep doa dan penyembahan itu menjadi sangat pentinga artinya.

B. Doa dan Penyembahan: Refleksi atas Konsep Mezbah Pembakaran Ukupan[2]

B.1. Konteks Perjanjian Lama

Sejarah perjalanan umat Israel dari Mesir menuju tanah perjanjian telah menjadi dasar di dalam membentuk pola ibadah umat kepada Allah. Dalam kitab Keluaran dicatat banyak sekali hal-hal yang berkaitan peraturan dan pola-pola ibadah tersebut. Salah satu pola yang digunakan adalah pembuatan kemah suci atau tabernakel untuk tempat penyembahan kepada Allah (Lih. Keluaran 25). Dasar dari pembuatan kemah suci / tabernakel ini adalah bahwa Allah menghendaki adanya suatu tempat kudus agar Ia dapat bersemayam bersama-sama dengan umat Nya.

Dan mereka harus membuat tempat kudus bagi-Ku, supaya Aku akan diam di tengah-tengah mereka. Menurut segala apa yang Ku tunjukkan kepadamu sebagai contoh segala perabotannya, demikianlah harus kamu membuatnya (Kel. 25: 8-9).

Dalam Keluaran 25 terdapat sekian banyak perabotan yang harus disiapkan untuk mengisi kemah suci tersebut. Salah satu dari benda tersebut adalah mezbah pembakaran ukupan atau mezbah dupa emas. Tempatnya dalam kemah suci berada di depan pintu tirai yang menghubungkan antara ruang kudus dan ruang maha kudus (Lih. Lampiran 1). Pertanyaan mendasar mengenai mezbah pembakaran ukupan ini adalah apa maknanya benda ini diletakkan dalam kemah suci?

Tradisi wewangian telah muncul sejak zaman dahulu kala. Dalam tradisi timur tengah wewangian ini digunakan dalam berbagai cara. Ada yang menggunakannya sebagai pengaharum ruangan, obat-obatan tradisional (sekarang dikenal dengan aroma terapi) dan juga untuk penyembahan. Kegunaan yang terakhir ini lebih banyak dipakai di dalam ritual-ritual keagamaan. Kata asli yang digunakan di dalam Alkitab untuk menunjuk pada dupa / incence (Ingg.) adalah lebona yang berarti wewangian yang sangat harum (kualitas yang sangat baik. Dan yang kedua diterjemahkan sebagai qetoret yang berarti “sweet smoke”[3] (dupa yang sangat harum: terjemahan bebas).

Alkitab juga mencatat beberapa hal mengenai kegunaan wewangian ini dalam hubungannya dengan ritual keagamaan orang Israel. Dalam Imamat 16 nampak dengan jelas bahwa Musa diperintahkan untuk memberitahukan kepada Harun bahwa jangan sembarangan memasuki tempat kudus Tuhan. Ada beberapa hal yang harus dilakukan agar dapat masuk ke tempat kudus Tuhan tersebut. Dan kalau hal ini dibaikan maka akan terjadi kematian (Im. 16:2). Salah satu perintah yang harus dilakukan adalah dengan

“…mengambil perbaraan berisi penuh bara api dari atas mezbah yang dihadapan Tuhan, serta serangkup penuh ukupan dari wangi-wangian yang digiling sampai halus, lalu membawanya masuk ke belakang tabir”. Kemudian ia harus meletakkan ukupan itu di atas api yang dihadapan Tuhan, sehingga asap ukupan itu menutupi tutup pendamaian yang di atas hukum Allah, supaya ia jangan mati” (Im.6:12-13).

Dari ayat ini nampak dengan jelas bahwa wewangian memiliki hubungan yang sangat erat dalam kaitannya dengan ritual keagamaan. Allah, melalui Musa, memerintahkan agar ukupan wewangian itu diletakkan dekat dengan ruang maha kudus sehingga asap wewangian tersebut dapat meliputi ruangan dimana Allah hadir menjumpai umatNya melalui perantaraan seorang Imam Besar. Dengan kata lain Allah senang dengan wewangian yang dihantarkan kepadaNya yang merupakan salah satu persembahan yang diberikan oleh umat. Sebagai sebuah persembahan maka sifatnya adalah dibakar (lih. Lampiran 2). Media asap yang keluar sebagai hasil bakaran inilah yang kemudian menghasilkan wewangian yang disenangi oleh Allah. Jadi, dalam tradisi perjanjian lama hubungan doa (komunikasi) dan kehadiran Allah sangat ditentukan -- salah satunya -- oleh adanya wewangian yang dipersembahkan kepada Allah. Dalam konteks perjalanan Israel di padang gurun hal tersebut terealisasi di dalam perwujudan mezbah dupa emas atau mezbah pembakaran ukupan.

B.2. Konteks Perjanjian Baru

Dalam perjanjian baru konsep wewangian ini secara langsung dihubungkan dengan suasana simbolis melalui doa dan penyembahan. Suasana wewangian digambarkan secara langsung sebagai suasana doa.

Ketika ia mengambil gulungan kitab itu, tersungkurlah keempat mahluk dan kedua puluh empat tua-tua itu di hadapan Anak Domba itu, masing-masing memegang satu kecapi dan satu cawan emas, penuh dengan kemenyan: itulah doa orang-orang kudus (Wahyu 5:8).

Maka datanglah seorang malaikat lain, dan ia pergi berdiri dekat mezbah dengan sebuah pedupaan emas. Dan kepadanya diberikan banyak kemenyan untuk dipersembahkannya bersama-sama dengan doa semua orang kudus di atas mezbah emas di hadapan tahta itu. Maka naiklah asap kemenyan bersama-sama dengan doa orang-orang kudus itu dari tangan malaikat itu ke hadapan Allah (Wahyu 8:3-4)

Gambaran kitab Wahyu di atas mengenai kemenyan atau lebih baik diartikan sebagai benda yang menghasilkan wewangian secara langsung menunjuk kepada doa orang-orang kudus. Konsep ini kemungkinan besar terinspirasi dari Pemazmur yang mengatakan:

Biarlah doaku adalah bagi-Mu seperti persembahan ukupan, dan tanganku yang terangkat seperti persembahan korban pada waktu petang. (Mazmur 141:2)

Hal ini juga menunjukan secara tegas bahwa simbol melalui media-media wewangian seperti kemenyan masih sangat dekat dengan kehidupan orang-orang pada zaman perjanjian baru. Akan tetapi hal yang terpenting adalah bahwa konsep wewangian sebagai sesuatu yang menyegarkan, menyenangkan, membuat suasana segar, menyehatkan dan lain sebagainya, merupakan sebuah gambaran yang memberi suatu sensasi yang terasa indah. Dan suasana ini yang menyenangkan hati Allah yaitu bahwa Ia berkenan dengan semua doa orang-orang kudus yang digambarkan seperti wewangian yang sampai kepada Allah.

Dari hal di atas nampak dengan jelas bahwa perjanjian lama maupun perjanjian baru menempatkan mezbah dupa emas sebagai sesuatu yang bermakna simbolis mengenai hubungan manusia dengan Allah melalui doa dan penyembahan.


C. Doa dan Panyembahan dalam Konteks Gereja / Jemaat

Banyak gereja akhir-akhir ini cenderung mengabaikan peran doa dan penyembahan ini sebagai suatu hal yang terpenting dalam kehidupan bergereja. Kalaupun ada maka konsep doa dan penyembahan hanya merupakan sebuah ritual kaku dan dingin-dingin saja. Hal ini tidak berarti bahwa realisasi doa dan penyembahan ini harus dengan cara-cara yang atratktif. Tentu bukan hal itu yang dimaksudkan. Namun yang terpenting adalah bagaimana gereja atau jemaat saat ini menempatkan doa dan penyembahan ini sebagai suatu bagian yang integral di dalam seluruh pelayanan jemaat. Yang sering terjadi adalah gereja cederung jatuh kepada persoalan-persoalan organisatoris seperti pembangunan gedung gereja, strukturisasi, acara-acara seremonial yang melelahkan dan sebagainya. Tentu dalam banyak hal semua itu baik untuk mendukung menjadi sebuah gereja yang hidup.

Apakah dampak dari terabaikannya doa dan penyembahan kepada Allah ini di dalam kehidupan bergereja? Cerita kematian Nadab dan Abihu anak-anak Imam Harun dapat menjelaskan akan hal ini (Imamat 10:1-7). Kematian anak-anak Harun tersebut disebabkan oleh api asing yang bukan perintah dari Tuhan yang diletakkan di atas ukupan / mezbah dupa. Hal ini membuat Allah marah dan kemudian membuat malapetaka bagi Nadab dan Abihu. Artinya bahwa Allah tidak mengehendaki adanya penyembahan-penyembahan yang bukan berasal dan diperuntukkan untuk Allah. Kematian adalah bagian dari Nadab dan Abihu manakala sumber api tersebut berasal dari sesuatu yang asing.

Pelajaran yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa murka Allah terjadi pada saat kita tidak setia kepada Nya. Gereja yang mengabaikan peran doa dan penyembahan secara langsung sebenarnya membawa hubungan yang renggang antara jemaat dengan Allah. Apalagi jika di dalam kehidupan bergereja terdapat “dupa-dupa” asing yang tidak dikenal oleh Allah. Hal ini menggambarkan bahwa di dalam gereja / jemaat masih terdapat perseteruan antar jemaat, kuasa-kuasa kegelapan, kebencian dan dosa-dosa yang tidak terselesaikan maka suasana gereja atau jemaat akan menjadi sangat suram.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jika di dalam gereja itu terdapat doa dan penyembahan, pertanyaannya adalah apakah doa dan penyembahan itu benar-benar diperuntukan untuk Tuhan? Hal ini penting untuk diketahui bahwa sering doa dan penyembahan kita dilakukan untuk kepentingan diri sendiri. Dengan kata lain doa dan penyembahan menjadi sesuatu kesombongan diri. Dalam Keluaran 30: 34-38 Allah menunjunjukan bahwa wewangian di dalam mezbah dupa emas itu bukanlah diperuntukan untuk diri sendiri tetapi semuanya adalah untuk Allah. Sehingga maksud dari doa dan penyembahan itu adalah sesuatu yang menyenangkan hati Allah bukan manusia. Di sinilah diperlukan suatu proses pembelajaran untuk merendahkan hati satu dengan lainnya.

D. Bagaimana Memulai Suatu Hidup yang Dipenuhi dengan Kuasa Doa dan Penyembahan?

Ada banyak teori tentang doa dan penyembahan dengan mengutib sekian banyak ayat-ayat di dalam Alkitab. Akan tetapi satu hal yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa doa dan penyembahan tidak bisa dilakukan sebagai sebuah ritual semata-mata. Dia harusnya menjadi suatu kebutuhan rohani bagi setiap orang percaya ataupun gereja / jemaat. Kesadaran untuk berdoa dan menyembah Allah adalah suatu kesadaran yang datang dari hati yang paling dalam dari setiap manusia. Ingatlah bahwa relasi antara Allah dan manusia hanya dapat dibangun melalui doa dan penyembahan. Oleh sebab itu hal yang terpenting adalah setiap orang yangberdoa dan menyembah Allah maka dia harus menyembah Allah di dalam Roh dan kebenaran.

Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barang siapa menyembah Dia, harus menyembahNya dalam roh dan kebenaran. (Yohanes 4: 23-24)

Hal yang pertama harus disadari adalah bahwa seorang berdoa dan meyembah Allah ia harus berdoa dan menyembah Allah di dalam roh dan kebenaran. Di dalam roh menunjuk pada kuasa dari pada Roh Kudus Allah. Seorang yang berdoa dan menyembah Allah harus mengundang kuasa Roh Kudus di dalam kehidupannya. Karena hanya melalui kuasa Roh Kudus doa dan penyembahan itu akan sampai kepada Bapa.

Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan. (Roma 8:26).

Hal yang kedua adalah bahwa doa dan penyembahan di dalam kebenaran menunjuk pada hidup yang berkenan di hadapan Allah. Dan hidup yang benar di hadapan Allah adalah hidup yang seturut dengan Firman Kebenaran itu sendiri yaitu teladan Yesus Kristus.

Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran. (Yohanes 17:17)

…dan Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran. Yohanes (Yohanes 17:19).

Jadi inti dari doa dan penyembahan dalam kehidupan gereja masa kini adalah berdoa dan menyembah Allah di dalam roh dan kebenaran. Oleh sebab itu semua pergerakan menjadi bergereja yang hidup hendaknya di arahkan menuju kepada gereja yang dikuasai oleh Roh Kudus dan hidup di dalam kebenaran. Dan untuk mencapai hal ini tidak mudah. Harus terjadi probekan daging (lih. Konsep Pintu Tirai dalam Lampiran 1). Hal perobekan daging ini menuju pada proses penyucian dalam diri setiap orang. Oleh sebab itu diperlukan kerendahan hati untuk melakukan semuanya ini. Karena merubah suatu tabiat ataupun kebiasaan dosa itu tidak semudah membalik telapak tangan. Tetapi bagi orang percaya hal tersebutharus dilakukan dan tidak ada yang mengatakan tidak dapat dilakukan. Persoalannya adalah sering untuk meniadakan kebiasaan dosa tersebut dilakukan dengan kemampuan sendiri. Tetapi hal perobekan daging sepenuhnya harus dilakukan berdasarkan kehendak dari pada Tuhan Yesus Kristus. Oleh karen aitu yang terpeting adalah penyerahan diri yang total bagi karya dan penyelamatan Kristus dalam hidup kita.

Jadi, saudara-saudara, oleh darah Yesus kita sekarang penuh keberanisan dapat masuk ke dalam tempat kudus, karena Ia telah membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita melalui tabir, yaitu diri-Nya sendiri, dan kitamempunyai Imam Besar sebagaikepala rumah Allah (Ibrani 10:19-21).

Beberapa langkah yang dapat diarahkan menuju ke sana adalah:

1. Perlunya suatu pola pelayanan yang jelas dalam hidup bergereja

2. Perlunya pelayanan penelahan Alkitab yang berkelanjutan dan sistematis

3. Perlunya pemberitaan Firman yang tematis.

4. Perlunya ibadah doa dan penyembahan secara sungguh-sungguh.

5. Perlunya suatu sistem organisasi yang terarah sesuai dengan teladan Kristus


E. Penutup

Semua hal yang ada di atas hanyalah berupa suatu pemaparan yang tidak berarti jika tidak dilakukan berdasarkan suatu keinginan yang kuat dari setiap pribadi dalam kehidupan berjemaat. Oleh karena itu hal yang paling penting adalah menyadari kembali arti panggilan kita dalam kehiudpan sebagai orang percaya. Apakah kita hanya dipanggil sebagaiorang Kristen atau kita dipanggil untuk diselamatkan. Dua hal ini yang perlu untuk direnungkan kembali sebagai jemaat, majelis, vikaris, pendeta dan sebagai jemaat Tuhan. Doa dan penyembahan hanyalah salah satu dimensi rohaniyang harus elalu dengan setia dilakukan di dalam kehidupan sebagai orang percaya. Namun ada dimensi-dimensi yang lain yang juga harus diperhatikan menyangkut persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan, keberpihakan kepada orang miskin, kerelaan untuk berkorban, perhatian yang sungguh-sungguh kepada kelestarian lingkungan dan sebagainya. Tuhan Yrsus memberkati.

C. Kemah Suci (Tabernakel) Suatu Pola Hidup berjemaat (Bukan Dogma)



[1] Robert Davidson, Alkitab Berbicara, BPk Gunung Mulia, Jakarta, 1987, h. 57-59.

[2] Dalam perkembangan teologi gereja-gereja Pantekosta, salah satu gereja yang secara serius mengembangkan pola bergereja berdasarkan pola Tabernakel adalah Gereja Pantekosta Tabernakel (GPT). Saya meminjam pola Tabernakel yang dikembangkan oleh GPT untuk menjelaskan konsep doa dan penyembahan dengan menghubungkannya melalui penafsiran dari salah satu teks dalam Keluaran 30:1-10.

[3] Lih. The New Bible Dictionary, The Inter-Varsity Fellowship, London, 1963, h. 561.

Tuesday, May 15, 2007

Perceraian dalam Media

Munculnya pemberitaan-pemberitaan mengenai perceraian dan perselingkuhan akhir-akhir ini telah memunculkan sebuah pertanyaan apakah hubungan antara perceraian dan peran media – baik televisi maupun majalah-majalah infotainmen? Dua hal ini seolah-olah berada pada enclave yang berbeda. Perceraian berada dalam ranah moralitas yang mengangkat aspek-apek, nilai-nilai dan tatanan kehidupan khususnya dalam keluarga, sedangkan media berada dalam ranah komunikasi yang mengedepankan peran artistik, virtualitas dan estetik. Sejak lama keduanya berjalan secara linear dan tidak ingin menyentuh satu dengan yang lainnya. Namun sejalan dengan waktu telah terjadi sebuah perselingkuhan diantara keduanya yang dimotori oleh peran kapitalisme. Dari sisi ini dimensi tubuh – yang mewakili pasangan suami istri – dianggap sebagai komoditi untuk memuaskan hasrat dari kapitalisme melalui peran media. Atau dengan kata lain peran media telah menjadikan tubuh sebagai produk yang dapat dipasarkan guna memperoleh keuntungan.

Persekutuan media dan kapitalisme akhir-akhir ini ini telah berjalan ke arah yang sangat membahayakan. Eksplorasi terhadap masalah-masalah kemasyarakatan sering tidak lagi dilihat sebagai usaha menciptakan perdamaian dan keutuhan tetapi justru memprovokasi ke arah perpecahan dan disintegrasi. Hal ini nampak dengan jelas dalam pemberitaan mengenai kasus-kasus perceraian. Pemberitaan yang diangkat lebih didominasi oleh pemberitaan tentang usaha perceraian dari pada pemberitaan tentang usaha ke arah perdamaian dan kesatuan serta keutuhan rumah tangga. Hal ini kemudian diekspos sedemikian rupa guna memperoleh rating pemberitaan yang tinggi atau oplah yang tinggi bagi penjulan majalah. Bahkan sering terjadi duplikasi pemberitaan karena dianggap tetap menarik untuk diberitakan. Dalam kasus seperti ini dapat dikatakan bahwa perselingkuhan antara media dan kapitalisme telah menunjukan wajahnya yang buruk dengan cara mengeksplorasi dan mengeksploitasi salah satu dimensi privat (keluarga) secara berlebihan dan dijual ke ranah publik untuk kepentingan pasar. Dari sisi ini kapitalisme telah memainkan peran yang sangat tidak ramah dengan menggunakan media dan pada sisi lain media juga telah banyak kehilangan dimensi moralitasnya demi demi meraup keuntungan semata-mata.

Wajah buruk seperti ini mengingatkan kita akan anjuran dari Rich DeVos (1995) mengenai compassionate capitalism (kapitalisme yang berbela rasa). Kapitalisme tidak saja memiliki karakter yang semata-mata ingin meraup keuntungan yang berlebihan tetapi di dalamnya juga harus memiliki belas kasih dan berbela rasa. Wajah buruk yang ditampilkan melalui pemberitaan-pemberitaan media yang semata-mata mengksploitasi perceraian tanpa memfoksukan pada pemberitaan terhadap usaha-usaha perdamaian, kerukunan, kesatuan keluarga, merupakan passionate capitalism (kapitalisme penuh nafsu) yang hanya berorientasi pada keuntungan semata-mata. DeVos dalam compassionate capitalism-nya melihat bahwa usaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya adalah sama pentingnya dengan usaha melakukan kebajikan-kebajikan sosial. Dalam bahasa komunikasi hal ini tercermin dari bagiamana pemberitaan tersebut menjadi sebuah pemberitaan yang seimbang, dimana perceraian sebagai sebuah realitas sosial yang – mungkin – tidak dapat dihindari oleh pasangan suami istri namun dapat diusahakan semaksimal mungkin pemberitaan yangmengarah pada terciptanya keutuhan rumah tangga. Atau dengan kata lain dimensi kapitalisme sebagai usaha mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan menggunakan media seharusnya juga memfokuskan perhatian mengenai usaha perdamaian bagi keutuhan ciptaan dan keluarga. Sudah saatnya – dan sangat diharapkan oleh masyarakat yang sudah bosan dengan pemberitaan-pemberitaan seperti itu - media mempertimbangkan sebuah gerakan compassionate capitalism dan bukan hanya passionate capitalism.

Sunday, May 13, 2007

Kaja -Kelod

Kaja -Kelod

Sebuah Film remaja yang akhir-akhir ini terkenal diberi judul: Ada Apa dengan Cinta. Mungkin sekarang kita juga bisa bertanya, “Ada apa dengan Kaja-Kelod?”. Orang Bali menyebut utara sebagai Kaja yang artinya gunung. Sedangkan lawan arahnya adalah Selatan atau Kelod yang artinya laut. Gunung bagi orang Bali (Hindu) merupakan sebuah tempat yang bersifat mistis. Itulah sebabnya bayak sekali tempat-tempat pemujaan terkenal di Bali berada di ‘gunung’, misalnya Pura Pulaki, Pura Batukau, dan terutama Pura Besakih yang terletak di kaki gunung Agung. Konsep mistis atau agung dalam dunia Kaja-Kelod juga terefleksi di dalam penempatan bangunan-bangunan rumah atau desa. Hal-hal yang bersifat keramat dari harta milik masyarakat biasanya diletakan di bagian kaja, sedangkan hal-hal yang biasa diletakan di bagian kelod. Pura keluarga biasanya ditempatkan di bagian kaja, sedangkan rumah tempat tinggal di bagian kelod. Dalam konteks pura desa yang bersifat kayangan tiga kita dapat melihat bahwa Pura desa diletakan di arah kaja sedangkan pada arah laut (kelod) diletakan Pura dalem (pura yang berhubungan dengan kuburan dan kematian).

Dari pemahaman sederhana ini kita dapat menyimpulkan sementara bahwa bagian utara merupakan tempat-tempat yang dianggap ‘sakral’ sedangkan bagian selatan sering dilihat sebagai bagian yang ‘sekuler’. Dalam dunia sosiologis konsep ini kemudian berkembang demikian: masayarakat yang ada di daerah pegunungan adalah masyarakat yang identik dengan pedesaan dan pertanian. Sedangkan masyarakat di pesisir pantai identik dengan perkotaan dan industri. Masyarakat desa cendrung komunal dan statis sedangkan masyarakat kota bersifat dinamis dan individualis.

Jika kita mencoba merefleksikan hal-hal di atas maka kita sekarang dapat menyadari bahwa ada sesuatu yang ironis yang sedang terjadi di dalam perkembangan kehidupan masyarakat di Bali yaitu bahwa sesuatu yang di utara (kaja) yang diagungkan tetapi secara sosiologis dianggap statis dan tidak dapat berkembang. Akan tetapi sesuatu yang bersifat sekuler di bagian selatan (kelod) bersifat dinamis dan berkembang. Pertanyaannya tentu: “Tidakkah ini merupakan sebuah proses sekularisasi kehidupan masyarakat di Bali yang sudah sampai pada titik yang paling parah?”. Bukti sejarah yang tidak bisa dipungkiri adalah pindahnya ibukota ‘propinsi’ Bali dari Singaraja (Utara) ke Denpasar (Selatan) adalah sebuah ironi yang menunjukan bahwa terjadi proses sekularisasi dalam kehidupan masyarakat Bali secara massif. Ironis!

Sekarang apa yang harus kita lakukan dengan melihat catatan-catatan kecil di atas dalam hubungannya dengan gereja di Bali? Dalam perkembangana gereja di Bali tentu hal ini juga sangat berpengaruh karena sebagain besar perkembangan gereja berada di selatan. Tidak mengherankan karena sejarah mencatat bahwa orang-orang Kristen ‘pertama’ di babtis dibagian selatan. Tetapi kalau melihat sejarah awal kekristenan di Bali tentu bukan orang-orang yang dibabtis di selatan yang dianggap sebagai proto kekristenan di Bali. Tetapi adalah seorang I Gusti Karangasem yang pada tahun 1873 dibatis menjadi orang Kristen pertama di Bali oleh Van Eck dan dia berasal dari bagian Timur (kangin). Dalam tradisi orang Bali sifat kangin disamakan dengan sifat kaja sedangkan sifat kauh (barat) disamakan dengan sifat kelod! Artinya sejarah gereja di Bali juga di mulai dari ‘utara’ yang besifat sakral. Hal ini dapat ditegaskan dengan melihat sejarah yang mencatat bahwa setelah ditinggalkan oleh Van Eck, I Gusti Karangasem berjumpa dengan de Vroom di Singaraja yang kemudian menjadi ‘gurunya’. Tidakkah lagi-lagi sejarah kekristenan berada di utara yang berisifat sakaral itu? Tetapi pertanyaannya mengapa sejarah Gereja Bali tidak mencatat ini sebagai permulaan munculnya gereja di Bali? Apakah karena I Gusti Karangasem kemudian membunuh de Vroom yang ‘bersifat anarkis’ lantas kita tidak mencatat sejarah keimanannya sebagai proto sejarah gereja di Bali, khususnya GKPB? Tidakah yang ingin ditampakkan adalah dominasi selatan yang sekuler terhadap utara yang sakral? Jika betul demikian maka kelihatannya kita berada di dalam sebuah kesalahan besar di dalam membaca sejarah gereja di Bali. Khususnya penetapan tanggal 11 November sebagai hari Ulang tahun GKPB. Gereja Kemah Injil juga menjadikan hari tersebut sebagai hari lahirnya Gereja Kemah Injil di Bali, karena memang misionaris yang membabtis adalah dari Kemah Injil. Tidakkah ini membingungkan, karena kita dianggap ‘mendompleng’ hari ulang tahun gereja lain? Akan tetapi dalam kajian kaja-kelod tentu hal ini bisa dipahami, karena sesuatu yang dari utara yang bersifat sakral telah mengalami abrasi nilai yaitu sesuatu yang miskin, tidak dapat berkembang, kering dan tidak mempunyai arti apa-apa. Ironis!

Potensi di Kaja

Secara umum geografi daerah utara (kaja) di Bali merupakan daerah yang berada pada kondisi yang sangat minus. Tanah kering, curah hujan paling sedikit, sehingga dianggap sulit untuk mengembangkan sebuah sistem pertanian yang baik. Bahkan pendapatan dan pengembangan ekonomi jemaat yang tentu tidak sebanding dengan saudara-saudara yang ada di bagian selatan telah membuat kondisi kehidupan jemaat (masyaralat) harus terus berjuang dan mampu bertahan dalam kondisi yang demikian. Dan kelihatannya bernarlah pendapat orang yang mengatakan bahwa tidak ada yang bisa dikembangkan di bagian utara. Bagi saya ini hanyalah mitos. Mitos ini merupakan “kemasan politis” sebagai sebuah persaingan utara selatan (kaja-kelod). Padahal sudah barang tentu konteks geografi yang demikian dapat saja dipatahkan dengan sedikit pemanfaatan teknologi tepat guna baik dalam bidang pertanian dan kelautan yang menjadi inspirator pengembangan jemaat dan masyarakat. Belum lagi kalau kita berbicara tentang potensi kelautannya yang luar biasa. Tahukah kita bahwa di sepanjang pesisir pantai utara tersebut terbentang potensi kelautan yang luar biasa dari mulai pembibitan ikan kerapu, kerang mutiara sampai dengan keramba-keramba ikan bandeng (nener)? Dan tahukah kita bahwa potensi alam bawah laut di utara merupakan potensi terbaik yang dimiliki oleh Bali (Indonesia)? Sayang, potensi ini belum sepenuhnya termanfaatkan oleh gerak pelayanan gereja. Gerak pelayanan gereja sebagian besar masih terorintasi di selatan yang, katanya, lebih mudah berkembang.

Persoalan kita sekarang adalah bagiamana merubah image tentang kaja yang miskin dan kering menjadi kaja yang potensial. Sehingga gerak gereja juga merupakan gerak yang simetris di antara kaja, kelod, kangin dan kauh. Tidak saja terpusat di salah satu arah mata angin. Tentu tidak mudah untuk melakukannya, tetapi harus berubah.

Dalam konteks kaja dan Bali secara keseluruhan: Kita hanya punya tanah yaitu ibu pertiwi dan laut. Kembalilah kepada tanah dan laut karena ia adalah ibu kita. Sekian tahun kita telah terbuai dengan pariwisata yang sebagain besar dinikmati oleh ‘selatan’, yang sekarang bangkrut dan tidak tahu apa yang yang harus dilakukan. Tetapi sekian tahun ibu yang adalah tanah dan laut kita juga menangis karena tidak dihiraukan sama sekali. Orang sibuk dengan pariwisata dan lupa pada sang ibu yaitu tanah dan laut kita. Kalaupun di ingat maka pemerasan terjadi pada sang ibu. Ia mengalami kehancuran dan sedikit-demi sedikit tubuhnya hancur atas nama pastisida, portas, obat-obatan kimia, limbah rumah tangga (plastik) dan sebagainya. Oleh sebab itu konservasi lahan-lahan kritis dengan pemanfaatan teknologi tepat guna serta pemberdayaan kelautan menjadi sangat penting artinya di utara. Tidakkah ini juga pelayanan gereja?


“Kaja adalah kehidupan yang sakral. Ia ada dan sama pentingnya untuk menjadi arah mata angin kehidupan manusia bersama-sama dengan Kangin, Kauh dan Kelod”.

Ibuku: Bumi yang Menangis

Ibuku: Bumi yang Menangis

Rentetan konflik yang terjadi di bumi pertiwi dan duniamerupakan sebuah hal yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Kebringasan bangsa yang terkenal lemah lembut dan memiliki hati selembut ibu, tiba-tiba sirna seketika ternoda oleh darah dan kebengisan manusia. Krisis ini menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Krisis ekonomi membawa orang pada kesulitan-kesulitan ekonomi. Krisisi politik telah mengahncurkan nilai-nilai keadilan dan kebersamaan untuk membangun bangsa. Krisis sosial telah membawa orang pada susut-sudut primordialisme sempit yang terwujud di dalam penghancuran nilai-nilai kepelbagaian.

Bumiku…ibuku…ia menangis melihat kehancuran akhlak manusia! Kehancuran akhlak itu disebabkan oleh kuasa-kuasan yang berusaha untuk menguasai manusia. Kuasa itu adalah kesombongan, kemunafikan, kebencian, kerakusan, keirihatian, ketidaksetiaan, perselisihan, kebengisan…Bumiku…ibuku…ia menginginkan manusia dibersihkan dari noda-noda kuasa jahat itu. Ruwatan Bumi itulah hal yang penting bagi kita saat ini. Manusia hancur lebur, karena perbuatan manusia itu sendiri. Mereka telah melupakan engkau sebagai ibu. Ibu dari kasih sayang semua bangsa. Ibu kebahagiaan. Mereka telah menghancurkan dirinya sendiri!

Ruwatan adalah sebuah ritus religius bagi usaha untuk membersihkan bumi ini dari kekotoran yang yang ada. Bermula dari sebuah tradisi kuno di Jawa dan Bali yang meruwat orang yang lahir pada Wuku Wayang dan atau pada hari Saniscara, Keliwon, Wuku Wayang alias Tumpek Wayang. Selain itu juga di Jawa ruwatan dilakukanbagi orang yang lahir dengan status ‘untang-anting’ (anak tunggal), kedono-kedini (bersaudara dua laki-perempuan), ‘sendang apit pancoran’ (bersaudara tiga orang yang laki lahir sebagai anak nomor dua),’pandowo limo (lima bersaudara) dan lain-lain. Dalam konteks ini hal yang paling penting adalah bahwa pembersihan dari kuasa-kuasa jahat merupakan hal yang penting dilakukan demi kelanggengan dan kesejahteraan kehidupan. Nilai ritual ini juga mempunyai nilai yang sama di dalam kehidupan setiap agama-agama yang lain. Bahwa bumi merupakan hal yang perlu dijaga kelestariannya dan setiap mahluk yang ada perlu dijaga kebersamaannya adalah suatu kata yang dapat dirumuskan di dalam konsep kasih sebagai sebuah manifestasi universal.

Pada sisi inilah kita dapat mengambil nilai-nilai membersihkan bumi dari kekotoran filosofis sebagai sebuah nilai yang dapat dilantunkan di dalam puji-pujian kepada sang Pencipta. Puji-Pujian adalah sumber inspirasi bagi pemujaan kepada Sang Pencipta karena dia adalah Satu yang senang untuk dipuji dan di sembah. Makna pujian mempunyai arti yang kuat di dalam membersihkan bumi sebagi sebuah rapal-rapal rohani yang membawa orang pada kesadaran kehumanitasan manusia yang rendah dan tak berarti apa-apa di hadapan Sang Pencipta. Dan kesadaran bahwa melalui pujian ini manusia mengakui bahwa ia telah terjebak pada proses dehumanisasi bagi diri dan alam sekitarnya.

Bumi adalah ibuku yang bersih dan tidak tercela. Anak bangsa inilah yang perlu dibersihkan dari kehidupan cemar. Pujilah Dia dan mohon agar kehadiranNya mengilangkan kekotoran yang ada yang menghancurkan bumi. Menghilangkan kekuatan ‘Bhatara Kala’ yang adalah symbol kekuatan yang menghancurkan bagi bumi dan manusia.

“Gereja Suweg”

“Gereja Suweg”: Belajar dari Sekitar Kita!

Suatu waktu penulis sedang berkunjung kepada seorang jemaat yang merupakan pendiri gereja di GKPB Patas (Bpk. Mathias). Dan setelah berbincang-bincang beliau menyuguhkan makanan yang sangat enak: kukusan Suweg! Hanya dengan tambahan kelapa yang diparut dan segelas teh hangat…hmm enak sekali! Mungkin kebanyakan diantara kita belum tahu bagaimana bentuk dan enaknya ‘buah’ ini. Khususnya kebanyakan generasi muda pasti belum tahu salah satu jenis umbi-umbian ini (penulis juga baru tahu koq!). Tetapi yang pasti jenis umbi ini memiliki kekhasannya sendiri. Ia merupakan keluarga dari umbi-umbian dan tumbuh di bawah tanah dengan daun berada diatasnya. Berkhasiat untuk beberapa macam penyakit seperti melancarkan buang air kencing, menghaluskan kulit kaki yang pecah-pecah dan beberapa yang lainnya juga. Yang menarik juga bahwa jenis umbian ini dapat ditanam kembali dengan cara yang unik. Jika buahnya telah kita ambil dan membelahnya menjadi dua maka kita dapat menanam kembali bagian belahan yang satu dengan cara terbalik. Dan hasilnya akan bertambah besar. Begitu seterusnya, diambil ditanam sebagian dan tumbuh bertambah besar! Bahkan kulitnyapun dapat ditanam dan bertumbuh. Meskipun jarang diperhatikan, tetapi ia adalah satu buah yang menarik dan sangat banyak tumbuh (baik ditanam maupun tumbuh sendiri) di sekitar rumah kita.

Teologi Buah Suweg: Sebuah Refleksi Kontekstual!

Munculnya semangat Asia di dalam kehidupan berteologi telah menjadikan teologi kontekstualisasi sebagai bagian yang utuh dalam hidup beriman di Asia. Berteologi di Asia bukan lagi sebagai theology in Asia tetapi menjadikannya sebuah theology of Asia. Dan hal itu sangat membutuhkan pemikiran serta usaha untuk berani merefleksikan diri ke dalam dunia Asia itu secara total. Seperti diketahui bahwa hanya ada dua realitas sosial di jagad kehidupan Asia yaitu pluralitas dan kemikskinan yang merajalela (Pieris, 1995). Sudah menjadi kenyataan dalam konteks Indonesia, pluralitas atau kemajemukan dan kemiskinan merupakan realitas yang tidak bisa dihindari. Dalam dunia seperti inilah kita harus hidup dan mengembangkan hidup berteologi dan beriman kita sebagai orang Kristen. Dalam konteks kemajemukan kita harus menyadari bahwa tologi yang dikembangkan adalah sebuah teologi dialog yang jujur dan bersahaja. Mengapa demikian? Apa yang dikatakan oleh Samuel P.Hutington bahwa dalam era global ini saat ini akan terjadi semacam ‘benturan’ antar peradaban khususnya antara Barat (baca: Kristen) dan non Barat secara khusus Islam, Konfusianisme, Budhisme dan Hinduisme. Banyak orang menganggap tesis ini mengada-ada, tetapi pada kenyataannya jika kita perhatikan konflik mondial yang ada di muka bumi ini dapat di kategorikan dari apa yang dikatakan oleh Samuel P. Hutington.

Terlepas dari usaha untuk melihat sebab musabab dari konflik tersebut, maka hal penting yang harus disadari dan dilakukan adalah bagaimana dialog yang jujur dalam berteologi dan berekspresi demi dan untuk perkembangan bersama di dalam masyarakat majemuk adalah hal yang sangat penting. Hal ini karena dialog hubungan antar agama bukanlah hubungan asimilasi atau hubungan subtitusi, melainkan suatu hubungan yang saling menyuburkan. Dalam dunia yang mejemuk ini tujuan dialog adalah untuk menekankan kesinambungan dalam kedalaman yang dapat ditemukan di antara agama-agama dan komunitas-komunitas” (Panikar, 1981). Dalam kenyataan semacam ini hal-hal yang bersifat eksklusif (tertutup) dalam hidup keagamaan dibuang dan diganti dengan hidup bersama dalam sebuah komunitas yang inklusif (terbuka) yang saling menumbuhkan satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain bahwa konsep Basic Christian Community (Komunitas Basis Kristen) sudah seharusnya dibarengi dengan konsep Basic Human Community (Komunitas Basis Kemanusiaan) sebagai tiang penopang hidup beragama dan bergereja.

Apa yang kita sebut selama ini sebagai Family Church (dan akhir-akhir ini ada konsep lain yang katanya melengkapi: Underground Church) dalam kehidupan beragama di Bali (khususnya untuk GKPB) merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dibahas. Hal itu muncul sebagai sebuah reaksi dari konflik simbol yang terjadi di Bali belakangan ini. Hanya sayangnya konsep-konsep ini belum ter-sistematisasi dengan jelas dan hanya masih berupa wacana lepas, sehingga sulit untuk melacak benang merah dari model familiy church dan underground church ala GKPB. Oleh karena itu mungkin kita perlu tetap setia dengan model berkontekstualisasi dan belajar dari ibu bumi kita sendiri tanpa harus selalu melihat dan mencontoh orang lain. Istilah-istilah itu saja sudah membuat kepala kita pusing apalagi kalau harus menjabarkan sesuatu konsep yang belum jelas keberadaannya.

Idenya memang dapat dimengerti yaitu bahwa dengan model family church diharapkan kita dapat hidup sebagai sebuah keluarga yang hidup bersama di dalam suatu komunitas yang berbeda. Disini sebenarnya sudah nampak sebuah model yang jujur dan bersahaja di dalam kehidupan beragama. Dengan munculnya ide bahwa kita adalah sebuah komunitas keluarga maka diharapkan hidup di dalam kedamaian menjadi kata kunci yang harus diutamakan di dalam percakapan-percakapan lintas kultur dan agama. Tetapi sayang, ide ini kemudian semakin kabur dengan munculnya konsep underground church yang sebenarnya merupakan counter productive dari model family church yang sangat bersahaja.

Mungkin kita harus sedikit kembali melihat kepada sejarah gereja khususnya sejarah gereja di negara-negara komunis. Dalam konteks negara komunis gereja tidak mendapat tempat yang selayaknya sehingga pergerakan gereja menjadi sangat hati-hati dan menjadi sangat terselubung. Kondisi pergerakan gereja yang demikian inilah yang oleh orang komunis disebut dan dicap sebagai underground church. Sejarah gereja sampai saat ini mencatat bahwa yang memberikan nama underground church bukanlah orang-orang Kristen tetapi adalah orang-orang komunis yang anti gereja dan TUHAN. (Lha, sekarang koq malah kita yang mau memberikan nama itu bagi model pengembangan gereja kita?). Catatan lain adalah bahwa konteks gereja-gereja bawah tanah adalah mereka semua berhadapan dengan orang-orang yang anti agama dan tidak percaya kepada Tuhan (komunis). Penggunaan kata ini di kehidupan bergereja di GKPB menjadi sangat ironis karena orang-orang yang ada di sekitar kita adalah orang-orang yang beragama dan sangat meyakini akan kehadiran Tuhan dalam hidupnya dan tidak mustahil bahwa mereka adalah bagian dari saudara-saudara kita toch!. Oleh sebab itu penggunaan istilah ini di dalam pengembangan model dan hidup bergereja di GKPB sebaiknya dipikirkan kembali.

Mengapa kita tidak mengembangkan sebuah teologi dari ibu bumi Bali yang sangat kaya akan keindahan nilai-nilai kulturalnya. Seperti apa yang dikatakan Geertz dalam Negara Teater”- nya: “Bali adalah negara teater yang di dalamnya raja-raja dan pangeran-pangeran adalah impresario-impresario, para pendetanya adalah sutradara dan para petaninya adalah aktor pendukung, penata panggung dan penontonSeremonialisme istana adalah daya gerak dari perpolitikan istana; dan ritual massa bukanlah alat untuk mendukung negara, tetapi negaralah sebagai alat untuk menggelar ritual massa” (Geertz, 2000).

Dari ungkapan itu nampak independensi dari nilai-nilai ritual tanpa harus takut dengan segala macam tetek bengek persoalan-persoalan sosial politis. Dan kuncinya hanya satu : Hidup dalam kesatuan yang jujur dan utuh di tengah-tengah komunitas basis hidup masyarakat. Seperti apa yang dikatakan dalam kritik Marx terhadap kritik agama Feurbach: “kritik surga berubah menjadi kritik dunia, kritik agama menjadi kritik hukum dan kritik teologi menjadi kritik politik (Franz Magnis, 1999). Artinya sangat sederhana: agama menjadi bagian yang jujur dan utuh dalam kehidupan bermasyarakat. Inilah FAMILY CHURCH (dan kata yang paling tepat adalah Menyama Braya): Hidup dalam komunitas basis kehidupan kekristenan tetapi sekaligus juga (bersamaan) hidup di dalam komunitas basis bermasyarakat yang utuh! Bertumbuh bersama, belajar bersama, memperjuangkan nilai-nilai kehidupan kemanusia yang lebih baik secara bersama dan menjadi besar secara bersama, meskipun di dalam kesulitan yang dialami bersama pula.

Seperti buah suweg yang banyak tumbuh di sekitar kehidupan masyarakat Bali, dinikmati oleh setiap orang dari berbagai golongan. Diambil buahnya, dibelah dan sebagian ditanam kembali di tanah ibu bumi Bali dan menyatu dengannya tetapi (anehnya) terus bertumbuh semakin besar, meskipun untuk itu daunnya harus layu terlebih dahulu. Teologia buah Suweg mungkin adalah implementasi nilai-nilai kehidupan keberagamaan Kristen di Bali (baca GKPB) yang apa adanya, sedikit “urakan dan amburadul”, jujur dan mungkin juga sedikit ndeso tetapi…kaya akan makna hidup bersama dalam kebijaksanaan terang Ilahi. Walahualam!

Friday, May 4, 2007

Nasi Jinggo

Nasi Jinggo

Suatu hari saya berjalan dalam malam yang kelam. Berjalan degan perut yang lapar dengan harapan akan mendapatkan warung makan. Tidaklah mudah dalam malam yangkelam mencari sebuah rumahmakan. Ketika lapar semakin melilit perut, saya melihat ada begitu banyak anak muda yang sedang nongkrong di pinggir jalan. Saya berharap inilah akhir dari perjuangan untuk mencari makanan pada malam hari ini. Ternyata benar, inilah jajanan pinggir jalan, NASI JANGGO!

Tadinya saya berpikir, mengapa saya harus makan makanan yang disebut nasi janggo. Tetapi setelah saya duduk dan ada bersama dengan yang lainnya, yang kemudian setelah saya ketahui datang dari berbagai lapisan masyarakat. Ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang tua,para janda dan pelacur kota bahkan seorang pendeta sekalipun. Akhirnya saya mengerti warung pinggir jalan ini adalah warung kebebasan yang dapat di datangi oleh siapapun.

Sesaat saya tak peduli akan setiap pembicaraan yang berlangsung di dalam kumpulan kebebasan itu. Saya lapar dan haus…makan dan minum, setalah itu pulang! Begitulah pikiran saya. Tetapi setelah saya makan ada seorang pemuda yang datang kepada saya dan bertanya, “Anda baru pertama kali ini ya kemari?”. Saya menjawab : “ Hmm..dari mana anda tahu?” . Pemuda itu berkata, “Oh gampang kalau mau tahu orang baru datang ketempat ini. Bisa dilihat dari cara makannya…karena cara makan nasi janggo anda salah. Makan nasi janggo itu harus dicampur semuanya dan kemudian menyantapnya dengan lahap!”. Akhirnya saya mengaku bahwa saya memang baru pertama kali ke warung kebebasan tersebut.

Tetapi apa yang terjadi kemudian, ketika saya hendak pulang, anak muda ini menahan saya supaya jangan pulang dulu. Katanya, “Jangan pulang dulu lah bli…berceritalah tentang apa saja. Karena tempat ini adalah kebebasan”. Kemudian kami bercerita tentang apa saja. Dari masalah sosial, politik, budaya, agama bahkan masalah pribadi. Semua boleh berpendapat, semua boleh menyangga dan tidak setuju, semua boleh mengritik dan boleh tertwa sepuasnya. Semua ada di dalam kesederhanaan kata dan bahasa, semua ada untuk bersama. Semua ada untuk berbagi rasa, tanpa batas social dan ketersinggungan. Warung nasi jinggo adalah warung kebebasan dan nasi janggo adalah simbol kebebasan. Lho mengapa begitu?

Warung nasi janggo adalah sebuah realitas anti kemapanan. Dia ada sebagai sebuah relaita yang menghantam kesombongan rumah-rumah makan yang sudah tidak dapat lagi dijangkau oleh masyarakat biasa yang ada di kota. Rumah-rumah makan itu hanya dapat dijangkau oleh orang-orang kaya yang punya banyak uang dan kalau makanannya tidak enak dapat dibuang dengan seenaknya. Tetapi warungnasijanggo adalah warung kebebasan, siapa boleh datang dan menikmati kesederhanaannya. Hanya dengan nasi segumpal, ikan teri dan sambal ditambah dengan kacang dan kalau mujur ada sedikit be sisit, ah….sedap sekali! Kesederhaan menu dan penampilan warung nasi janggo membawa orang pada nilai-nilai kebersamaan, persatuan, keadilan dan nilai-nilai keobjektifan. Kesederhanaan adalah kata kunci dari sebuah kebebasan. Tanpa kesederhanaan tidak akanmungkin ada kebebasan.

Yesus ada di dalam kesederhanaan-Nya di dunia ini. Ia ada untuk sebuah kebebeasan, yaitu kebebasan bagi dosa manusia! Kesederhanaan-Nya menempatkan diriNya bagi siapa saja. Dia bukan hanya ada untuk orang kota, tetapi juga bagi orang desa, bagi orang miskin, tua-muda, bahkan bagi seorang perempuan yang dianggap berdosa seperti Maria Magdalena. Dan tentunya Dia ada bagi saya dan saudara. Dia ada di dalam kesederhanaanNya. Dan dengan kesederhanaanNya telah membebaskan manusia dari belenggu dosa.

Menjadi gereja yang hidup adalah menjadi gereja yang sederhana, yang ada bagi jemaat dan masyarakat. Siapapun, dalam latar belakang seperti apapun dan untuk siapapun. Itulah pelayanan yang sederhana tetapi memiliki kekuatan yang luar biasa. Seperti Yesus yang sederhana begitu pulalah pelayanan kita sebagai gereja yang hidup.

Gereja Yang Hidup

Gereja Yang Hidup Itu Apa yaa?

Ada sebuah narasi yang menarik untuk dibaca:

Gereja! Kata ini selalu saja ada di telinga kita. Tetapi apakah arti dan hekekat gereja? Si Amin anak Pak Doel penjual kambing lebaran selalu mengatakan, “…gereja itu lho Pak, tempat orang-orang pake jas dan baju yang cantik-cantik dan orang yang banyak uang…dan yang aku selalu dapat sumbangan…”

Tapi dagang jamu di sebelah gereja selalu mengatakan “…bukan, gereja itu punyanya Pak Anu yang selalu minum jamu di sini, dia orang kaya yang tinggal di sebelah timur jalan!”

“Lho, kenken ne…”, jawab si Ketut anak men canang yang biasa jualan canang di pasar Goris, “…gereja itu setahu tiang cuma tempat nongkrong anak-anak pemuda yang saban hari kerjanya megendiiiiing terus…”

“Oh bukaan…gereja itu adalah tempat berkumpulnya orang beriman dan yang menunju pada keselamatan dan terang yang ajaib, bla-bla-bla…” Itu kata Pak Majelis B dari gereja C .

“Yang artinya Pak?” Tanya anak katekisasinya.

Pak majelis menjawab, “eh…eh…eh…ya itu…pokoknya itu saja seperti yang di buku katekisasi yang saya pinjam dari pak pendeta…kalau begitu sebentar saya tanya dulu sama pak pendeta”.

Majelis B tanya sama pendeta D, dan dijawab katanya, ”Memang sudah begitu dan tidak boleh diganggu gugat, itu rumusan resmi dari Heidelberg! Ingat rumusan resmi dari Heidelberg, dari Jerman tau…!

Pak majelis pulang dan mengatakan kepada anak-anak: “Anak-anak itu dari Heidelbereg! Anak-anak melanjutkan dengan koor: “Oooo dari ”Heidelberouug3x” (meski mengucapkannya salah tetapi mereka senang sekali dengan kesalahannya…)


Gereja itu apa ya?

Wajah gereja kacau balau saat itu. Dan mungkin bertambah suram! Sebab tidak ada yang dapat menjelaskan secara tahu pasti apa itu hekekat gereja …mulai dari si Doel sampai dengan pendeta jemaat! Atau mungkin pembaca juga kan? Tidakkah Yesus akan menjadi sedih akan hal itu?

Gereja itu apa ya?

Sebenarnya dia adalah wajah seorang putri kecil yang cantik, yang dititipkan di sebuah keluarga kaya raya, yaitu bumi dan kita saat ini! Wajahnya sangat polos, sederhana, dan sangat rendah hati. Tetapi “orang tua asuhnya”, yaitu kita, semakin lama mendandaninya dengan berbagai hiasan kepentingan, hiasan-hiasan kecongkakan, hiasan-hiasan kerakusan, hiasan-hiasan kemunafikan dan hiasan-hiasan lainnya yang membuat wajahnya semakin tua dari umur yang sebenarnya!

Tetapi syukurlah ‘Orang tua’ kandungnya, yaitu Kristus selalu berpesan: Rendah hatilah agar engkau tetap menjadi gereja yang hidup di tengah bumi yang semakin redup! Meskipun wajahmu telah dirusak oleh manusia, tetapi kalau engkau rendah hati pasti kecantikanmu akan bersinar seperti sang mentari di fajar timur ibunda bumi Bali!

Sederhana saja rupanya: Menjadi gereja yang hidup adalah menjadi gereja yang rendah hati. Jemaat yang rendah hati, majelis yang rendah hati, dan pendeta yang rendah hati, dan tentunya orang Kristen yang rendah hati …seperti Yesus yang rendah hati!

Thursday, May 3, 2007

Desa Pekraman dan Pengaruhnya Terhadap Pluralitas Masyarakat di Bali

Perda Nomor 3 Tahun 2001 (2003) Tentang Desa Pekraman dan Pengaruhnya Terhadap Pluralitas Masyarakat di Bali

A. Bali : Dari Inklusifitas menuju Ekslusifitas

Bali! Kata ini selalu menjadi sebuah kata yang menakjubkan. Sejak zaman Majapahit hingga kini dia tak pernah luntur dengan nilai-nilai keagungannya. Mungkin inilah yang membuat orang selalu terpesona dengan Bali. Bungkusan nilai-nilai budaya dan adat-istiadat bersatu dengan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang dimaknai melalui dogma-dogma religius yang bersifat hinduistik. Perpaduan di antaranya telah menghasilkan sebuah tatanan masyarakat yang unik dengan segala realitas local genius-nya dan kearifannya. Mulai dari tari-tarian, lukisan, ibadah dan para raja hingga persembahan pada Sang Dewa baik di Griya maupun di Pura, semuanya telah menghasilkan realitas yang menakjubkan sebagi sebuah masyarakat yang kemudian diberi nama: BALI.

Sejarah Bali bukanlah sejarah ratusan tahun. Ia telah beradaptasi sebagai sebuah masyarakat sejak ribuan tahun yang lalu. Proses ini tidak saja mematangkan nilai-nilai yang berkembang secara sosial namun lebih dari pada itu telah menghasilkan sebuah identitas yang kuat sejalan dengan perubahan-perubahan yang cepat di dalam masyarakat. Di sana-sini tentu terdapat perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian searah dengan perkembangan zaman, namun esensi dari ke-Bali-an itu tetap menjadi suatu ketakjuban bagi dunia. Itulah sebabnya tidak salah jika semua orang, khususya masyarakat Bali, tetap harus mempertahankan nilai-nilai keluhuran ini sebagai sebuah kekayaan budaya yang tiada taranya. Persoalannya menjadi rumit ketika moderninsasi di segala bidang telah menjadi semacam gejala global yang juga mengenai seluruh aspek kehidupan – khususnya masyarakat Bali. Dalam konteks inilah persoalan budaya, agama dan modernisasi menjadi isu yang selalu aktual di bicarakan di Bali. Tema utamanya adalah bagaimana di tengah-tengah arus modernisasi ini aktualisasi nilai-nilai budaya tetap terjaga dan tertata dengan baik. Persoalan modernisasi yang dimaksudkan di sini adalah munculnya pengaruh-pengaruh dari luar Bali melalui dimensi-dimensi sosial, ekonomi, politik, budaya bahkan agama (khususnya Kristen).

Atas dasar di atas maka saat ini orientasi pemerintahan daerah Bali bersama dengan masyarakat adat adalah menjaga Bali agara tetap kokoh berdiri dengan tetap menjaga nilai-nilai kebudayaan yang dianggap luhur dengan segala adat – istiadat yang dimilikinya. Isu otonomi daerah, pada sisi lain telah menjadi salah satu variable yang menguatkan orientasi tersebut. Keluarnya Perda No. 3 Tahun 2001 – yang kemudian disempurnakan menjadi Perda No. 3 Tahun 2003 - mengenai Desa Pekraman yang saat ini telah ‘menjadi dasar’ bagi menguatnya kembali gerakan-gerakan fundamentalisme kebudayaan dan agama (baca Hindu) di Bali yang dengan mudah mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dalam segala bidang. Dalam bidang ekonomi ditandai dengan munculnya konsep Koprasi Krama Bali yang bertujuan untuk menjadi kompetitor di bidang ekonomi kecil dan menengah yang selama ini dikuasai oleh pendatang. Gerakan ini secara langsung memberikan bantuan modal bagi pengusaha kecil di Bali dan membina pengusaha-pengusaha tersebut untuk bisa menyaingi usaha-usaha yang banyak dilakukan oleh para pendatang (Jawa). Misalnya dengan memberikan pembinaan dan modal untuk bersaing dalam usaha dagang bakso, sate, potong rambut, dll (bakso, sate, potong rambut Krama Bali – identitas perlawanan terhadap bakso Muslim, Bakso Jawa, potong rambut Madura, dll). Pada sisi lain munculnya gerakan anti kebudayaan luar atas nama Ajeg Bali juga semakin memperparah kondisi sosial kemasyarakatan. Hal ini secara langsung berkaitan erat dengan persoalan keagamaan khususnya Islam dan Kristen. Tentu hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa agama Islam dan Kristen tidak berasal dari Bali. Oleh sebab itu gerakan ini telah menjadi semacam alat bagi munculnya sentimen anti masyarakat pendatang.
Situasi semacam ini secara perlahan telah menempatkan Bali sebagai sebuah kantong ekskluif bagi persoalan multikultural. Padahal sejarah ke Bali-an adalah sejarah multikultur. Secara historis hal ini ditandai dengan hadirnya masyarakat Islam Bali sejak tahun 1800-an di pesisir pantai Barat (Jembrana), Utara (Buleleng), Timur (Karangasem) dan di Selatan (Denpasar). Secara khusus di daerah Gitgit terdapat kampung Islam Bali (orang Bali yang telah menjadi Islam dengan nama-nama tetap menggunakan Wayan, Made, dll). Relasi antara Hindu dan Islam telah menciptakan simbol-simbol yang kuat secara kultural dan agama. Begitu juga sejarah Kekeristenan telah menjadi bagian yang kuat dalam konteks ke Balian. Sejarah orang Kristen Bali telah menjadi tanda bahwa Bali bukanlah suatu daerah yang homogen seperti yang selama ini banyak dipahami.

B. Perda No. 3 Tahun 2001 (2003) tentang Desa Pekraman
1. Proses Legislasi
Persoalan Desa Adat di Bali sebelumnya memang telah diberi payung hukum pada Perda No. 06 tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Namun demikian menurut Pansus Ranperda Desa Pekraman keberadaan Perda tersebut perlu disempurnakan. Hal ini terkait dengan eksistensi masyarakat Bali yang dahulunya bersifat homogen kini melalui berbagai proses cenderung menjadi semakin heterogen. Demikian juga perubahan corak masyarakat agraris yang dahulu sangat kental kini berubah menuju masyarakat industri dan jasa yang bersifat sangat dinamis. Hal ini tentu mengakibatkan perubahan-perubahan secara sosio-kultural maupun sosio-religius dari konteks yang sangat komunal menjadi sangat individualistik dan materialistik. Kondisi semacam ini tentu akan berpengaruh terhadap eksistensi desa adat khususnya dalam konflik-konflik yang bernuansa adat di Bali[1]. Persoalan heterogenitas dan perubahan-perubahan sosio-kultural dan sosio-religius di Bali inilah sebagai salah satu pendorong munculnya usaha untuk menyempurnakan Perda No.06 Tahun 1986 yang dinilai akan sulit menjawab persoalan-persoalan adat pada saat ini. Hal ini karena Perda 06 tahun 1985 masih berorientasi pada konteks ke-Balian yang cenderung bersifat homogen[2]. Selain itu juga konsep pembaharuan terhadap Perda No.06 tahun 1985 tersebut didasarkan pada diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 dan Permendagri No.3 Tahun 1977 yang berisi tentang pemberdayaan dan pelestarian dan pengembangan adat istiadat – kebijasaan masyarakat dan lembaga adat daerah.
Selanjutnya bahwa tujuan utama dari keluarnya Perda No.3 Tahun 2001 / 2003 adalah dengan mengingat adanya beberapa hal yang perlu disempurnakan khususnya menyangkut masalah kekuasaan Desa Pekraman sejalan dengan semangat UU No. 22 Tahun 1999. Penyempurnaan itu secara khusus berkaitan dengan tugas dan kewenangan lingkup kekuasaan Pemerintahan Desa Pekraman yang meliputi[3]:

a. Kekuasaan untuk menetapkan aturan-aturan yang mengikat seluruh warganya, guna menjaga kehidupan organisasi secara tertib dan tentram. Kekuasaan ini diselenggarakan bersama dan disepakati dalam rapat desa (paruman/sankepan), seperti upaya menjaga ketertiban masyarakat. Mewujudkan hubungan yang harmonis antar sesama warga dengan lingkungan alam dan dengan Tuhan yang Maha Esa, sebagai perwujudan ajaran Tri Hita Karana.

b. Kekuasaan untuk meneyelenggarakan kehidupan organisasi yang bersifat keagamaan, sosial
budaya dan ekonomi, seperti membina dan mengembangkan nilai-nilai agama Hindu, mengembangkan kebudayaan, memelihara dan melestarikan adat istiadat yang hidup dan bermanfaat untuk pembangunan bangsa, mengembangkan ekonomi kerakyatan, memelihara kelestarian Kahyangan Tiga.

c. Kekuasaan untuk menyelesaikan sengketa, kasus atau konflik karena berbagai hal seperti kepentingan yang bertentangan, tindakan yang menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan, perbuatan yang mengganggu ketertiban warga dan lain-lain, yang umumnya ditempuh melalui perdamaian maupun sanksi adat yang pada umumnya bersifat mendidik.d. Kekuasaan untuk menjaga keamanan dalam wilayah pelemahan desa pekraman, mewujudkan pertahanan dan keamanan bersama dalam menghadapi kondisi tertentu. Secara keorganisasian disebut Pecalang.

2. Produk Politik
Sebagai sebuah produk kebijakan publik maka Perda Desa Pekraman ini tidak bisa dilepaskan dari persoalan politik. Tidak dapat disangkal bahwa dengan Perda ini maka kekuatan politik Desa Pekraman menjadi kuat. Hal ini secara positif dapat dilihat sebagai usaha penataan di dalam kehidupan kemasyarakatan di Bali. Panataan keberadaan Desa Pekraman melalui Perda ini telah memberikan Payung hukum bagi keberadaan Desa Pekraman di Bali sejajar dengan keberadaan Desa Dinas. Persoalannya adalah bahwa posisi politis yang semacam ini telah memberikan kedudukan Desa adat memiliki kekuatan secara politis. Kondisi semacam ini – dalam prakteknya – telah menyebabkan politisasi terhadap Desa Pekraman ini menjadi sangat kuat. Kedudukan yang kuat secara hukum dan politik menyebabkan kepemimpinan di Desa Pekraman saat ini juga tidak bisa dilepaskan dari kepentingan-kepentingan politik yang ada. Kebijakan-kebijakan yang dibuat di dalam konteks Desa Pekraman sering terlihat bersifat politis dari pada kepentingan adat itu sendiri.

3. Bias Sosial - Agama
Perda ini secara materi normatif terlihat tidak memiliki dimensi bias agama. Hal ini dapat dilihat dalam pasal-pasal yang ada sama sekali tidak membahas mengenai agama. Namun justru persoalannya adalah bahwa memahami ke-Balian adalah memahamai persoalan adat dan budaya yang sekaligus adalah agama itu sendiri. Dalam hal ini agama Hindu. Sejak awal dalam pasal-pasalnya telah ditegaskan bahwa Desa Pekraman adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli, hak asal-usul yang bersifat istimewa bersumber dari pada Hindu, kebudayaan Bali, berdasarkan Tri Hita Karana, mempunyai Kahyangan (lihat pejelasan umum angka 4 -lampiran). Oleh sebab itu sudah dapat dipastikan bahwa Perda ini tidak mengatur bagi keberadaan masyarakat non Hindu. Persoalannya adalah bagaimana kedudukan masyarakat non Hindu dalam konteks Desa Pekraman? Hal ini memang telah diatur dalam pasal 3 angka 6 yang menyatakan bahwa krama desa / krama banjar Pekraman yang bukan beragama Hindu hanya mempunyai ikatan pawongan dan palemahan di dalam wilayah desa Pekraman yang hak dan kewajibannya diatur dalam awig-awig desa Pekraman masing-masing. Hal ini jelas karena yang berkaitan dengan parhyangan (bagian yang berkaitan dengan keagamaan) dianggap telah dimilki oleh masyarakat non Hindu tersebut (misalnya gereja, mesjid, Wihara dll). Dalam konteks ini tidak menjadi sebuah persoalan. Hal yang menjadi persoalan adalah bahwa sejak awal Perda ini merupakan Perda yang mengatur tentang persoalan adat atau Desa Pekraman dimana kebijakan-kebijakan ini mengatur sepenuhnya mengenai persoalan adat dan kebudayaan di Bali. Pertanyaanya tentu adalah siapakah masyarakat non Hindu tersebut? Masyarakat non Hindu dalam hal ini dianggap adalah masyarakat yang bukan berasal dari Bali. Atau dengan kata lain dapat dikatakan sebagai pendatang. Dalam konteks ini jelas bahwa Perda ini telah mengaturnya dengan baik. Namun bagaimanakah dengan masyarakat Bali non Hindu misalnya orang Bali Kristen atau orang Bali Islam. Seperti diketahui bahwa esksitensi masyarakat Bali non Hindu ini telah ada sejak puluhan dan ratusan tahun di Bali dan hidup berdasarkan nilai-nilai ke-Balian yang sangat khas. Nama-nama seperti Wayan Immanuel, Ketut Suyaga Ayub, Pdt. Ida Bagus Kemenuh, Nyoman Islami, Ni Ketut Jubaedah, bukanlah nama-nama asing di kalangan masyarakat Bali non Hindu. Adanya Desa Bali Kristen seperti Blimbingsari, Ambyarsari dan desa Bali Islam di Pegayaman Buleleng, menunjukan dengan jelas bahwa esksistensi masyarakat Bali non Hindu merupakan satu hal yang tidak dapat disangkal.
Seperti sudah dikatakan di atas memang dalam tahapan tertentu – khususnya di dalam Palemahan dan Pawongan eksistensi masyarakat non Bali dan orang Bali non Hindu tetap diakui. Namun demikian harus dipahami bahwa masyarakat Bali non Hindu adalah sebuah masyarakat yang hidup di dalam kebiasaan serta adat istiadat Bali meskipun tidak lagi menganut agama Hindu. Esksistensi masyarakat Bali non Hindu adalah orang Bali. Dalam hal ini apakah mereka dianggap sebagai masyarakat Bali ataukah hanya sebagai pendatang atau krama tamiu (tamu atau pendatang). Kalau dianggap sebagai pendatang, tentu menjadi sesuatu yang agak naïf karena mereka adalah orang-orang Bali asli yang hanya berbeda agama. Meskipun eksistensi mereka telah diatur didalam pawongan dan palemahan, itu artinya kedudukan warga desa yang berasal dari Bali tetapi non Hindu hanya terbatas pada kegiatan informal di dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Mereka tidak dapat terlibat secara formal karena memang sejak semula Perda ini hanya mengatur tatatan ke-Balian yang didasarkan pada nilai-nilai ke-Hinduan. Secara praktis dapat dikatakan bahwa orang non Hindu – baik orang Bali maupun bukan orang Bali – tidak mungkin berada dalam struktur-struktur formal di Desa Pekraman. Tentu alasan utamanya adalah karena Desa Pekraman hanya mengatur bagi kehidupan masyarakat Hindu Bali. Namun di sinilah persoalannya bahwa pengaruh yang paling kuat dari Perda ini adalah semakin dikotomisnya hubungan antara masyarakat Bali dan masyarakat non Bali termasuk orang Bali non Hindu. Jika dahulu dikenal adanya nyama Selam (saudara yang beragama Islam) atau nyama Srani / Kristen (saudara yang beragama Kristen), maka saat ini istilah ini semakin pudar karena kategori yang dipakai adalah masyarakat non Hindu atau krama tamiu. Hal yang paling berdampak dari munculnya Perda ini secara sosiologis adalah semakin ‘tidak diakuinya’ eksistensi masyarakat Bali non Hindu di tengah-tengah masyarakat Bali. Konsep Menyama Braya (persaudaraan) yang selama ini kuat di Bali telah mengalami pergeseran ke arah yang bersifat dikotomis penduduk asli - tidak asli, Bali – bukan Bali, Hindu – non Hindu, pendatang – masyarat asli, krama Bali – krama tamiu, dll.
Konteks semacam ini secara sosiologis berdampak pada banyak hal. Munculnya sentimen-sentimen anti masyarakat non Bali terlihat dalam beberapa aktifitas kemasyarakatan. Misalnya pasca bom Bali I dan II sentimen terhadap masayarakat Islam semakin kuat. Razia-razia kependudukan yang dilakukan lebih bersifat rasialis-agamis dari pada bersifat administratif kependudukan. Pencegahan masuknya pendatang dari Jawa dan Lombok dilakukan dengan pemeriksaan yang super ketat melalui pengecekan KTP dan pemeriksaan-pemeriksaan lainnya. Dalam batas-bata tertentu hal ini dapat dipahami dalam konteks pencegahan dan keamanan.
Pada sisi lain munculnya konflik simbol di Bali beberapa tahun belakangan ini telah memberikan indikasi yang jelas bahwa terjadi korelasi yang signifikan antara meningkatnya eksklusifitas ke-Hinduan – sebagai dampak dari munculnya kekuatan hukum melalui Perda Desa Pekraman – terhadap simbol-simbol yang digunakan oleh masyarakat non Hindu. Misalnya dalam beberapa tahun terakhir ini masyarakat non Hindu, khususnya Kristen tidak dibenarkan menggunakan nama-nama lembaga dengan istilah yang digunakan di dalam ke-Hinduan. Misalnya nama sekolah Kristen milik GKPB yang sebelumnya bernama Sekolah Widhya Pura telah diganti saat ini dengan nama Sekolah Harapan. Sekolah Katolik yang sebelumnya bernama Sekolah Swastiastu telah diganti saat ini dengan nama Sekolah St. Yoseph. Begitu juga pada beberapa tahun terakhir ini ada diskusi yang kuat mengenai usaha untuk mengganti kata Sang Hyang Widhi Wasa untuk menyebut Allah yang Esa di dalam Alkitab bahasa Bali dan sebutan untuk Allah dalam bahasa ibadah Kristen. Persoalan ini muncul karena kata ini dipahami sebagai kata yang berasal dari bahasa Sansekerta yang notabene adalah bahasa yang digunakan oleh umat Hindu. Sehingga kata ini tidak bisa digunakan oleh orang atau agama lain selain Hindu. Meskipun hingga saat ini kata Sang Hyang Widhi Wasa tidak diganti – karena memang memiliki sejarahnya tersendiri bagi umat Kristen – tetapi isu ini telah menunjukan adanya indikasi munculnya ekslusifitas keagamaan – dan dengan demikian juga adat - di dalam memahami konteks ke-Balian saat ini.
Selain itu, masih dalam konteks simbol, bangunan-bangunan yang sejak awal dilihat sebagai proses kontekstualisasi di Bali saat ini mendapatkan perhatiannya yang cukup serius. Bangunan-bangunan seperti Gereja diharapkan tidak lagi menggunakan model atau gaya Bali. Hal ini dianggap meniru dan menjebak masyarakat Bali untuk datang ke gereja yang sejak awal memiliki gaya seperti layaknya sebuah Pura. Perda No.5 Tahun 2005 mengenai persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung menunjukan dengan jelas bahwa simbol-simbol yang digunakan untuk bangunan di Bali seharusnya ditempatkan pada tempat yang semestinya atau sesuai degan norma keagamaan (Pasal 20 angka 1). Pertanyaannya tentu adalah agama mana yang menjadi norma dalam menempatkan simbol-simbol tersebut. Tentu jawabannya adalah norma yang terdapat di dalam agama Hindu. Konsekuensi dari hal tersebut adalah tidak terdapatnya ruang ruang bagi agama lain untuk menempatkan simbol-simbol yang bernuansa ke-Balian dalam rumah ibadahnya. Hal ini karena simbol-simbol tersebut dianggap bernuansa ke-Hinduan atau ke-Bali-an. Hal ini menjadi persoalan manakala diperhadapkan dengan model gereja – khususnya di Gereja Kristen Protestan di Bali – yang nota bene dan sejak lama telah menggumuli proses kontekstualisasi dengan penerapan simbol-simbol yang digunakan di dalam kehidupan beriman dari umat Kristen Bali. Proses kontekstualisasi ini dilakukan tidak saja sebagai sebuah usaha menciptakan proses bangunan secaa fisik tetapi lebih pada pemahaman hidup beriman secara kontekstualisasi sebagai orang Bali Kristen. Persoalan yang terpenting adalah simbol yang mana yang tidak boleh digunakan dan mana yang boleh digunakan - dalam hal ini kedua agama ini belum dapat memberikan jawaban yang pasti mengenai hal tersebut. Namun dengan munculnya Perda mengenai arsitektur bangunan ini maka bentuk-bentuk bangunan rumah ibadah (khusunya rumah ibadah Kristen) di Bali sedikit banyak saat ini telah mengalami pergeseran ke arah yang tidak lagi memiliki nuansa yang kental dengan unsur-unsur ke-Balian. Bahkan cendrung tidak menggunakan bentuk bangunan Bali. Kalaupun masih terdapat hal ini sangat dipertimbangkan agar tidak membuat kerisauan dari umat Hindu di Bali.
Konsekuensi dari pergeseran terhadap simbol-simbol ini memiliki dampak sosio-psikologis bagi umat Kristen secara khusus yaitu semakin merasa bahwa mereka bukanlah bagian dari masyarakat Bali. Dan dampak yang paling parah adalah semakin pudarnya nilai-nilai ke-Balian yang dimiliki oleh generasi-generasi muda Kristen Bali. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya anak-anak Kristen Bali yang tidak lagi mampu berbahasa Bali dengan baik, kurangnya kemampuan menari, bermain musik Bali / gong, mekidung Bali (menyanyi), dsb. Hal ini semua merupakan dampak dari dikotomis yang terjadi secara kuat dan sebagai dampak dari kebijakan pemerintah daerah terhadap tatanan kemasyarakatan di Bali.

C. Kesimpulan

1. Bali dan Identitas Masa Depan
Dari uraian di dalam penelitian ini nampak dengan jelas bahwa identitas ke-Balian mengalami sebuah persoalan ketika berhadapan dengan proses modernisasi. Wacana mengenai budaya dan modernisasi telah menjadi bagian yang paling sulit ketika berhadapan dengan berbagai persoalan yang saat ini sedang dihadapi di Bali. Secara khusus ketika identitas untuk kembali kepada Bali sebagai bayangan tentang masa lalu yang indah, harmoni, berbudaya, tanpa gesekan, dan mengandung nilai-nilai magis yang kuat. Identitas yang demikian kemudian menjadi persoalan ketika dihadapkan pada pertanyaan apakah mungkin identitas yang demikian tersebut dapat diraih kembali oleh Bali. Pertanyaan inilah yang kemudian hendak dijawab melalui berbagai konsep dan kebijakan yang salah satunya adalah diwujudkan melalui Perda desa Pekraman dan konsep Ajeg Bali yang saat ini menjadi wacana utama di Bali. Pergulatan antara mazhab identitas Bali sebagai bayangan indah dan identitas Bali yang menghargai pluralitas dengan segala macam persoalannya terus bergulir saat ini. Tetapi yang pasti bahwa identitas Bali di masa depan adalah sebuah identitas yang tidak dapat dipungkiri telah mengalami perkembangan yang bersifat pluralistik dan multikulturalistik. Akan tetapi sebaliknya melalui Perda tentang Desa Pekraman ini arah dan identitas Bali justru akan semakin menuju kepada identitas yang cenderung bersifat ‘monolitik’ dan tentunya sangat rentan terhadap konflik SARA. Kondisi ini sebenarnya telah terjadi di dalam beberapa kasus-kasus SARA seperti yang dituangkan dalam penelitian ini khususnya mengenai konflik SARA yang terjadi di daerah Katung berupa pembakaran Gereja – yang jika ditelusuri akar permasalahannya berkaitan dengan persoalan identitas orang Bali Hindu berhadapan dengan identitas orang Bali Kristen. Kondisi konflik semacam ini akhir-akhir ini dapat terjadi setiap saat dengan dilegitimasikan melalui kekuatan yang ada di dalam Perda mengenai Desa Pekraman ini.

2. Perda No. 3 Tahun 2003: Memacu Kekuatan Lokalitas yang Ekslusif
Sejak awal dikatakan bahwa Perda ini sama sekali tidak bermaksud untuk mewujudkan Bali sebagai sebuah daerah yang menghendaki agama Hindu sebagai dasar bagi kehidupan bermasyarakat. Sejarah pemerintahan Indonesia dengan tujuan negara sebagai kesatuan telah memberikan tatanan yang kuat mengenai sistem pemerintahan modern yan harus dibangun di setiap derah atau propinsi di Indonesia. Oleh karenanya tatanan pemerintahan modern ini sekaligus menjadi acuan bagi kehidupan masyarakat yang terdiri dari beragam etnik, agama dan budaya. Namun demikian pemerintah tetap mengakui adanya tatanan pemerintahan tradisional seperti yang ada di beberapa daerah – khususnya Bali. Namun demikian persoalan yang muncul adalah ketika Perda ini berada dalam tahapan implementasi maka terjadi bias-bias baik di dalam pemahamannya maupun di dalam pelaksanaannya. Hal ini terkait erat dengan berbagai faktor. Dalam konteks Bali faktor-faktor eksternal seperti Bom Bali I dan II, wacana identitas, otonomi daerah, geresekan-gesekan atau konflik adat, agama, telah memberikan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk membicarakan secara lebih luas dan membuat kebijakan yang berkaitan dengan hal tersebut. Perda No.3 Tahun 2003 merupakan salah satu produk yang dipahami atas dasar faktor-faktor itu. Atas dasar ini maka jargon-jargon yang dikembangkan didalam implementasi kebijakan ini lebih pada nuansa penguatan akan nilai-nilai lokal yang diasumsikan telah mengalami keretakan-keretakan dan yang dianggap akan menghancurkan nilai-nilai ke-Balian. Namun sayangnya – dalam konteks implementasi - Perda ini justru telah menjerumuskan masyarakat Bali dalam dikotomi-dikotomi yang semakin kuat atas.nama krama tamiu - krama Bali, Jawa – Bali, dan sebagainya. Hal ini terjadi sebagai akibat menguatnya dimensi lokalitas yang telah dikukuhkan secara formal dan pada akhirnya cenderung bersifat membentuk masyarakat lokal yang bersifat eksklusif. Ekslusifitas tersebut tidak dapat disangkal –pada akhirnya – dapat menghasilkan konflik yang semaki kuat diantara masyarakat Bali dan masyarakat pendatang yang memiliki latar belakang baik etnis maupun agama yang berbeda. Dengan kata lain situasi di Bali saat ini dengan adanya Perda ini sebenarya berada dalam sebuah kondisi seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat terjadi konflik yang bernuansa SARA. Jika ini terjadi maka tujuan yang hendak dicapai melalui Perda ini dan dengan segala konsep lokal yang didengungkan – seperti Ajeg Bali - akan mengalami kegagalan. Ke depan harus dipahami bahwa membangun Bali adalah membangun Bali adalah membangun sebuah masyarakat Bali yang berdimensi pluralistik dan multikulturalistik.

[1] Wawancara dengan I Made Wirya,anggota DPRD Propinsi Tk. I Bali, salah satu perumus Raperda Desa Pekrman.
[2] Laporan Pansus Ranperda Desa Pekraman dalam Risalah Resmi Rapat Paripurna ke-3 masa Persidangan II DPRD Propinsi Bali, 4 September 2000, h. 18.
[3] Ibid, h. 20.