Sunday, April 29, 2007

MENJADI “GEREJA YANG POLITIS”, MUNGKINKAH?

Pendahuluan

Diskursus mengenai hubungan gereja (agama) dan negara bukanlah merupakan diskursus yang baru saja terjadi pada era sekarang ini. Sejarah membuktikan kepada dunia bahwa hubungan gereja (agama) dan negara selalu saja diwarnai dengan berbagai persoalan. Persoalan utama yang muncul tentunya pada atas nilai dari pemahaman tentang gereja dan negara di dalam kerangka kesatuan atau keterpisahan. Persoalan ini bukan hanya untuk menjawa “ya” atau “tidak” dalam hubungannya dengan kesatuan dan keterpisahan dari gereja (agama) dan negara tersebut. Akan tetapi lebih pada bagaimana hakekat dan eksitensi keduanya jika saling terjadi kesatuan dan keterpisahan, yang tentunya tidak saja memiliki konsekwensi teologis (bagi gereja) tetapi juga juga berkonsekewnsi sosial politis (bagi negara). Dan kenyataan semacam inilah, dimananya, telah menjadikan diskursus mengenai hubungan gereja (agama) dan negara tidak pernah luntur di telan zaman. Dia selalu menjadi bagian yang aktual didalam kenyataan hidup bergereja dan hidup bernegara selaras dengan konteks dimana keduanya ada.

Gereja dan Politik

Pemahaman tentang gereja yang sejati tidaklah selalu diletakkan di dalam pemahaman tentang gereja sebagai sesuatu yang bersifat “religious institution” semata akan tetapi adalah juga sebaga suatu the social religious institution. Pemahaman semacam ini tidak dapat dihindarkan manakala gereja menyadari bahwa dia berhadapan dengan persoalan-persoalan dan nilai-nilai yang ada di sekitar dan lingkungannya, yang secara langsung akan mempengaruh dalam mengambil keputusan atas nama teologi. Dalam hubungan dengan negara, maka gereja sebagai bagian dari kehidupan sosial bernegara, secara langsung akan di (ter) pengaruh oleh kebijakan-kebijakan negara yang diaktualisasikan di dalam realita politik atas nama ideologi. Persoalan yang muncul adalah sejauh mana gereja mampu menanggapi serta memformulasikan persoalan-persoalan kebijakan negara tersebut secara praksis di dalam realita kehidupan bergereja tanpa harus mengurangi nilai-nilai secara interpretatif teologis-dogmatif. Karena tidak dapat disangkal pula bahwa kekuatan politik lewat kebijakan-kebijakan yang diambil, yang merupakan seperangkat makna yang diambil di dalam masyarakat untuk membenarkan fungsi tatanan masyakarat (Lih. YB. Sudarmanto, Agama dan Politik Anti Kekerasan, Yogyakarta, 1989, hal. 18), merupakan sebuah nilai yang juga diarahkan kepada perwujudan masyarakat yang tertata dengan baik (dalam konteks Indonesia : mewujudkan masyarakat adil dan makmur).


Secara tegas saya menyatakan bahwa tulisan ini tidak lagi bermaksud untuk membicarakan apakah Gereja harus berpolitik atau tidak di dalam kerangka pemahaman gereja sebagai the social religious institusion. Karena persoalan tersebut sudah banyak dan sering sekali dibicarakan dan secara umum dan tegas telah disepakati bahwa gereja tidak berpolitik. Akan tetapi, dalam kerangka hubungannya dengan gereja-politik, maka disepakati bahwa hubungan tersebut lebih diarahkan kepada tanggung jawab gereja kepada persoalan-persoalan politik. Kesepakatan semacam ini tentunya sangat didasarkan pada dua aspek utamanya yaitu dengan meilihat sisi sejarah gereja dalam hubungannya dengan negara (politik) pada masa yanga lalu yang akhirnya mengakibatkan marginalisasi peran gereja dari baik secara institusi dan teologi dan persoalan hermeunetis / intepretatif alkitabiah yang sebenarnya lebih mengarahkan persoalan hubungan gereja dan negara (politik) pada arus politik yang bersifat etis.

Dengan melihat pernyataan di atas maka yang menjadi tekanan yang paling utama pada saat ini dalam membicarakan hubungan gereja dan negara (dalam artian peranan gereja secara politik) adalah bagaimana sebenarnya wujud dan perealisasian tanggungjawab gereja terhadap persoalan-persoalan politik yang ada dan melingkupinya tersebut? pertanyaan ini menjadi mengingat ketika keterpisahan gereja dan negara (politik) terjadi secara mutlak, maka pada akhirnya hal itu memiliki dampak yang cukup jelas. Dampak yang paling ditakuti adalah manakal negara dengan segala otonomi praksis politisnya kehilangan dimensi etisnya untuk menentukan norma-norma politiknya (bdk. Eka Darmaputra, “Fungsi Sosial Politik (jabat) Gereja” dalam Penuntun, Vol.I.No. 3 1995, hal 286) yang sebenarnya hal tersebut dapat di “atasi” oleh peran gereja terhadap negara (politik). Itu berarti pada saat ini kita harus memahami bahwa tanggungjawab gereja terhadap negara (politik) tidak dapat diartikan sebagai keterpisahan mutlak gereja dari negera (politik).

Peranan Gereja sebagai “Kekuatan Politik yang Bersifat Moral”

Dalam kerangka pembicaraan mengenai persoalan demokratisasi, dalam hubungannya dengan eksistensi sebuah negara, maka tidak dapat disangkal bahwa peranan dan kehadiran sebuah “lembaga” kontrol sosial itu menjadi sesuatu yang penting. Hal tersebut menjadi penting tentu dalam hubungannya dengan mekanisme kedaulatan rakyat sebagai supreme power. Tanpa adanya kontrol sosial dapat dipastikan akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan, dan pada gilirannya selanjutnya akan terjadi pemusatan kekuasaan pada kalangan yang terbatas (Lih. Nazaruddin Syamsudin, Dinamika Sistem Politik Indonesia, Gramedia Jakarta, 1993, hal. 185). Selajutnya dia mengatakan bahwa kenyataan semacam ini sebagian besar terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia di dalamnya.

Terlepas dari diskursus mengenai benar tidaknya pernyataan yang terakhir di atas maka yang terpenting adalah bagaimana kita memahami betapa pentingnya kehadiran sebuah “lembaga” kontrol sosial sebagai suatu kekuatan yang antisipatif terhadap gejala-gejala yang bersifat memusatkan kekuasaan dalam lingkup yang terbatas dalam satu negara. Persoalan yang mendasar-dasar sekarang adalah sejauh mana peranan “lembaga” kontrol sosial tersebut dapat menjalankan fungsinya dengan baik?

Sebagai sebuah catatan bahwa pemahaman mengenai “lembaga” kontrol sosial itu tidak harus selalu diartikan atau disamakan dengan hadirnya lembaga wakil rakyat dalam arti yang bersifat institusional. Meskipun tak dapat disangkal bahwa parameter kedemokratisan sebuah negara ditandai dengan hadirnya lembaga-lembaga wakil rakyat tersebut. Akan tetapi yang harus diingat pula bahwa pembicaraan mengenai demokrasi bukanlah sekedar masalah simbol dan formalisme institusional melainkan lebih mengutamakan bagaimana setiap unsur yang ada di dalam masyarakat dapat mencerminkan nilai-nilai kedemokratisan tersebut (bdk. Franz Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi, Gramedia Jakarta, 1985, hal.75)

Berdasarkan pada catatan di atas dalam hubungannya dengan gereja negara (politik) maka kehadiran geraja sebagai bagian dari unsur yang ada di dalam masyarakat (social religious institusion) adalah kehadiran yang seharusnya memiliki kekuatan kontrol sosial vis a vis negara dengan segala praksis politisnya. Akan tetapi kekuatan gereja sebagai sebuah lembaga kontrol sosial seharusnya memiliki ciri khas yang membedakannya dengan yang lainnya. Dan ciri tersebut adalah pada aras moral.

Gereja harus mampu menjadi sebuha kekuatan politik yang bersifat moral sebagai wujud dari tanggungjawab gereja terhadap negara (politik). Dalam pengertian bahwa apa yang dilihat dan diamati di dalam realitas dan konteks dimana gereja ada, hal itu harus memampukan gereja untuk mengambil sikap yang jelas terhadap apa yang dialami pada realitas dan konteks tersebut. Dan sikap tersebut, jika dihubungkan dengan persoalan gereja-negara (politik), gereja harus mampu pula menjadi sebuah kekuatan politik yang moralis untuk bisa mempengaruhi kebijakan negara yang bersifat politis. Karena inilah bagian dari tanggung jawab kehadiran gereja dalam hubungannya dengan negara (politik).

Jika pemahaman hubungan gereja dan negara lebih ditekankan pada unsur lebih ditekankan pada unsur tanggung jawab politis yang bersifat moral tersebut, maka tidak dapat disangkal bahwa untuk hal tersebut gereja harus menyiapkan dirinya dengan lebih seksama. Secara khusus mengenai unsur kesatuan di dalam visi dan misi gereja di bumi ini. Gereja hanya dapat menjadi sebuah kekuatan politik yang bersifat moral hanya jika dia di dalam kesadaran akan didirinya sebagai the social religius institusion memiliki kesamaan visi dan misinya di dalam dunia ini.

Dalam konteks ke Indonesiaan, geraja di Indonesia mampu menjadi sebuah kekuatan politik yang bersifat moral vis a vis negara, hanya jika gereja-gereja di Indonesia memiliki kesamaan di dalam visi dan misi mereka di dalam melihat realitas politis dalam konteks keindonesiaan. Hal ini menjadi penting bagi gereja-gereja di Indonesia mengingat persoalan-persoalan yang tumbuh dan berkembang akhir-akhir ini membutuhkan pernyataan-pernyataan dan sikap-sikap politis yang tegas secara moral dari lingkungan agama secara khusus gereja-gereja di Indonesia.

Menjadi gereja yang politis hanya dimungkinkan manakala gereja menyadari dengan sungguh-sungguh kehadirannya di dunia ini sebagai yang menghadirkan keselamatan dan damai sejahtera dalam wujud tanggung jawabnya terhadapnya terhadap kenyataan yang ada disekitarnya. Dan bertanggung jawab untuk menghadiri keselamatan dan damai sejahtera itu, dalam hubungan gereja-negara (politik), direalisasikan melalui kekuatan sikap dan tindakan gereja secara politis dalam pengertian dan pemahaman yang didasarkan pada nilai-nilai moral.

Gereja dan Perempuan

Dalam pembicaraan kajian politik identitas pasca kolonialisme yang sedang marak akhir-akhir ini tema perempuan juga mendapat perhatian yang serius. Dalam kajian ini persoalannya tidak sekedar bicara soal emansipasi tetapi lebih pada pemaknaan diri manusia sebagai ciptaaan Tuhan. Jadi, agakalah aneh kalau dalam masa sekarang ini ada perempuan-perempuan masih berpikir dirinya masih merupakan budak dari laki-laki. Mungkin kata ini tidak disenangi meskipun dalam prakteknya kata ini berganti dengan kata yang lebih njawani yaitu perempuan harus tunduk, setia pada suami dan sebagainya. Apakah hal ini salah? Tentu tidak. Apalagi “jelas-jelas” Aliktab juga berbicara demikian. Meskipun sering pula penafsirannya selalu keliru. Sikap setia dan tunduk selalu diartikan berdiri terlepas dari konsep laki-laki yang seharusnya menghormati istrinya. Jadi kelihatannya perempuan memang harus tunduk dan setia kepada suaminya tetapi tentu kepada suami-suami yang menghormati istrinya. Kalau suami tidak menghormati istrinya apakah ia juga harus tunduk dan setia? Sebaiknya tidak usah. Karena laki-laki yang demikian harusnya berada di tong sampah! Masihkah perempuan harus memberi hormat pada laki-laki yang menampar istrinya hanya untuk secangkir kopi? Atau masih perlukah perempuan tunduk pada laki-laki yang bangun dengan malas pada siang hari sementara istrinya telah berkerja sejak subuh. Perlukah seorang perempuan menghargai laki-laki yang hanya tahu memberi nafkah tetapi tidak tahu menghargai jerih lelah perempuan dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya?

Dalam pembacaan teks-teks Alkitab secara eksplisit kelihatannya koq masih laki-laki yang lebih tinggi derajatnya Karena perempuan harus lebih dulu setia dan tunduk. Banyak diskusi di sekitar masalah ini. Tetapi menarik kalau membaca kitan Kejadian bahwa pada mulanya Allah menciptakan manusia segambar dengan Allah yaitu dia laki-laki dan perempuan. Jadi sudah barang tentu Allah tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Semua punya hak yang sama karena laki-laki dan perempuan adalah sebagai gambar Allah. Sayangnya banyak teologi yang berkembang sekarang melupakan mengenai konsep ini. Mereka lebih senang untuk manafsirkan ayat-ayat yang justru menempatkan perempuan dalam posisi subordinat atau orang kedua (dan biasanya yang selalu berbicara mengenai model penafsiran yang demikian ini adalah laki-laki dalam rangka menjaga status quo dalam berteologi!). Sayangnnya dalam liturgi-liturgi gereja khususnya dalam liturgy pernikahanpun pertanyaan-pertanyaan masih mengarahkan perempuan justru bukan sebagai mitra laki-laki dalam hidup pernikahan tetapi justru hanya sebagai orang kedua (cobalah cek teks-teks dalam liturgy pernikahan di GKPB dan beberapa gereja lainnya).

Hal ini tentu tidak usah dipersoalkan siapa yang membuat liturgy tersebut tetapi yang perlu diketahui bahwa sejarah gereja telah membuktikan bahwa persoalan penindasan terhadap kaum perempuan itu bukan saja terjadi dalam konteks sosial masyarakat. Tetapi yang lebih parah justru terjadi juga di dalam gereja. Gereja yang harusya menciptakan suasana laki-laki dan perempuan adalah gambar atau citra Allah malah menempatkan laki-laki lebih dari segalanya. Dan kalau kita melihat secara jeli maka hal itu sebenarnya sudah terjadi sejak seorang anak masuk dalam sekolah minggu. Pernahkah kita memperhatikan bahwa seorang guru sekolah minggu atau pendeta selalu mengatakan bahwa orang-orang yang kuat di dalam Alkitab adalah selalu digambarkan dengan laki-laki. Pernakah kita mengatakan kepada anak-anak sekolah minggu mengenai kokohnya karakter, emosi bahkan fisik dari Ester, Deborah, perempuan yang mengurapi Tuhan Yesus, Naomi, perempuan Kanaan, perempuan yang mengalami pendarahan, dan sebagainya? Jawabannya mungkin ada atau mungkin tidak ada sama sekali! Seorang guru sekolah minggu kadang menasehati anak laki-laki yang menangis dengan mengatakan, “eeeh…nggak boleh cengeng, kaya` anak perempuan aja…”. Hal ini seolah-olah mengatakan bahwa stereotype dari anak perempuan itu pasti cengeng. Atau ada yang mengatakan demikian: “Jangan lupa berdoa untuk papanya yang mencari nafkah dan ibu yang mengasuh kita di rumah”. Mungkin sekilas kita tidak perlu mempersoalkan hal itu. Tetapi cobalah simak betapa tidak adilnya sebuah doa kepada Tuhan. Seorang anak pernah protes kepada saya waktu guru sekolah minggunya meminta ia berdoa syafaat tetang hal itu. Ia mengatakan bahwa ibunya tidak saja mengasuh dirinya tetapi juga bekerja dan mencari nafkah seperti ayahnya. Wow…tidakkah ini sebuah tamparan bagi kita. Dengan meminta seorang anak berdoa seperti itu sebenarnya kita telah mencipatakan stereotip-stereotip bagi anak-anak mengenai peran laki-laki dan perempuan, yaitu laki-laki sebagai pencari nafkah dan hal itu tentu akan dianggap sebagao bos dan perempuan sebagai penjaga rumah, memperhatikan serta merawat anak-anak--dan itu tidak lebih dari pekerjaan seorang pembantu. Kata ini yang sering ditafsirkan secara salah oleh para teolog maskulinis dengan mengatakan bahwa perempuan diciptakan sebagai penolong sehingga salah satu tugasnya adalah menolong, khususuknya laki-laki. Padahal ayat ini berbicara menjadi seorang penolong yang sepadan. Artinya meskipun ia diciptakan sebagai seorang penolong tetapi ia bukanlah seorang pembantu atau seorang budak. Dalam kesepadanan tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi. Yang ada adalah kebersamaan dalam membangun hidup yang lebih baik khususnya dalam rumah tangga. Pernakah kita melihat bahwa seorang anak ketika ia bertumbuh dewasa lebih menghargai ayahnya sebagai seorang bos dari pada ibunya yang tentu tidak lebih dari seorang pembantu? Jangan cari sebabnya kemana-mana mengapa ia demikian. Cari saja pada pengalaman masa kecilnya ketika ia sekolah minggu. Pernakah ia diajarkan dengan cara-cara yang demikian?

Mungkih saya salah dalam hal ini tetapi paling tidak sudah banyak pengalaman yang semacam ini. Oleh sebab itu tidak ada salahnya kita kembali lagi untuk membicarakan masasalah kesederajatan laki-laki dan perempuan khususnya dalam perhatian kita yang sungguh-sungguh di dalam pembinaan warga gereja.

Gereja (Agama) dan Konflik: Belajar dari Sejarah Konflik Pulau Kei di Maluku

Pendahuluan

Kemajemukan (pluralisme) adalah kata yang ternyata dalam konteks Maluku bukanlah ‘barang baru’. Data-data kependudukan secara jelas memperlihatkan bahwa pluralitas penduduk menjadi sebuah bagian yang tidak bisa dihindarkan dalam konteks kependudukan di Maluku, khususnya pluralitasa agama. Dalam kasus Kei yang diangkat oleh P.M.Laksono nampak dengan jelas adanya pluralitas kependudukan berdasarkan agama yang secara presentase tidak memiliki dominasi satu terhadap yang lainnya. Meskipun disadari akibat semuanya ini adalah munculnya daerah atau kantong-kantong eksklusif dari setiap agama: kampung Islam, Kristen, Katolik dan Hindu[1]. Dan disadari pula ada ketegangan semu yang selama ini dapat dihindari berdasarkan landasan bersama (commond ground[2]) di antara masyarakat yang berbeda tersebut melalui sebuah pertukaran sosial. Yang menjadi persoalan dalam tulisan ini adalah bagaimana kondisi semacam ini kemudian menjadi sumber konflik yang tidak terselesaikan sampai saat ini di Maluku?

Kebijakan Pemerintah dan Eksklusivisme Keagamaan

Munculnya kantong-kantong eksklusif dari setiap daerah yang berdasarkan pada agama tidak bisa dihindari sebagai akibat dari berkembangnnya agama sebagai prasyarat hidup ber-Indonesia. Dan dalam konteks sosiologis antropologis sebenarnya kondisi ini tidak menjadi persoalan yang begitu rumit. Adalah hal biasa jika seorang ingin berkumpul bersama orang-orang yang memiliki ide, perasaan atau pemikiran yang sama. Artinya bahwa sejak semula sebenanrya faktor agama bukanlah variabel utama di dalam konflik yang sering terjadi. Ada variabel-variabel lain yang dapat dilihat misalnya adat dan sumber-sumber ekonomi yang dapat dilihat juga sebagai sumber konflik (misalnya dalam kasus Kei). Tetapi yang menarik adalah justru agama menjadi dasar di dalam persoalan-persoalan yang muncul akhir-akhir ini ketika kita mengamati konflik yang terjadi di Maluku. Dua faktor yang mungkin dapat di kaji dalam hal ini adalah: Kebijakan pemerintah yang bersifat sepihak dan faktor lain adalah eksklusifisme dari ajaran-ajaran agama tersbut.

P.M. Laksono mencatat bahwa terjadi pola-pola pergeseran keberpihakan terhadap kelompok-kelompok agama dalam kasus Kei yang ditandai dengan kepeberpihakan Belanda kepada orang Kristen dan Katolik. Subsidi pembangunan atas 17 sekolah Katolik dan 14 sekolah Kristen tidak sebanding dengan subsidi pembangunan yang hanya diberikan kepada 4 sekolah Islam. Hal ini secara psikologis tentu berdampak pada cara pandang masyarakat terhadap pemerintah. Dalam hal ini pandangan orang Islam terhadap pemerintah Hindia Belanda yang mengakibatkan kecurigaan terhadap orang-orang Kristen dan Katolik.

Masuknya Jepang merubah suasana tersebut, dimana Islam lebih mudah untuk menerima akses yang lebih dari pemeritahan Jepang. Bahkan dikatakan bahwa Jepang memakai mata-mata Muslim untuk operasi militer mereka. Dampak yang paling parah adalah kehilangan hak istimewa dari Kristen dan Katolik untukmemiliki akses di pemerintahan. Hal ini ditandai dengan dibunuhnya 13 orang misionaris Belanda dan Uskup Katolik[3]. Hal ini secara psikologis juga menjadi semacam trauma dari masyarakat Kristen-Katolik melihat pemerintahan Jepang yang mengakibatkan kecurigaan terhadap orang-orang Muslim.

Refleksi dari kondisi ini adalah nampak dengan jelas bahwa kebijakan pemerintah sangat berpengaruh di dalam proses integrasi kehidupan bermasyarakat. Kasus keberpihakan Belanda dan Jepang memiliki akibat yang sangat besar terhadap friksi sosial yang ada dalam masyarakat Islam dan Kristen/Katolik pada saat itu. Dalam konteks Indonesia merdeka friksi ini diperparah lagi melalui konstelasi politik “pusat” melalui partai-partai yang secara langsung memperbesar jurang pemisah yang ditandai dengan partisipasi politik Islam dalam Masyumi dan Kristen/Katolik dalam Parkindo.

Jadi nampak dengan jelas bahwa munculnya isu (proses) disintegrasi bangsa ini sebenarnya tidak dimulai dari disintegrasi yang ada di dalam masyarakat akan tetapi tetapi lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang bersifat tidak adil terhadap kondisi sosial kemasyarakatan yang ada di Indonesia. Kasus-kasus yang terjadi pada masa orde lama misalnya DII-TII, PRRI-Permesta, Dewan Banteng di Sumatra (dll) dan dan dalam masa orde baru munculnya kasus-kasus Aceh, Tanjung Priok, Borobudur dan lain sebagainya; bahkan permohonan untuk membuat negara sendiri dari Aceh Merdeka, Timor-Timur, Riau Merdeka dan sebagainya, secara umum dapat dilihat dalam konteks kebijakan-kebijakan pemerintah yang sangat berpihak. Tulisan dari beberapa pakar, salah satunya Ichlasul Amal secara tegas mematahkan pendapat beberapa ilmuwan-ilmuwan lain yang mengatakan bahwa tidak ada persoalan antara pusat dan daerah di Indonesia yang berbau primordialisme. Menurutnya, dalam kajian mengenai pergolakan politik di Selawesi Selatan dan Sumatra Barat., terlihat dengan jelas bahwa faktor etnis (bahkan agama) memegang peranan penting di dalam pergolakan tersebut. Hal ini kemudian 'teredam' sedemikian rupa dalam konteks politik orde baru, yang menurutnya disebabkan adanya perhatian dan akomodasi kepentingan daerah-daerah tersebut atas nama agama dan juga etnik, yang oleh pemerintah orde baru diberikan dalam bentuk dana pembangunan daerah yang lebih besar[4]. Begitu pula Compton yang menganalisa perkataan dari Mohamad Hatta yang mengatakan bahwa konflik di Indonesia era tahun 50-an bukanlah persoalan Jawa dan luar Jawa tetapi Jakarta dan daerah. Tetapi ia mengatakan bahwa harus diuji perkataan tersebut, karena (dalam analisisinya yang panjang lebar ) ia mendapatkan fakta bahwa memang terjadi proses diskriminasi regional tetapi juga kultural[5].

Kondisi semacam ini tentunya sangat memacu resistensi masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan tersebut yang karena gap terlalu besar antara masyarakat dan pemerintah (apalagi pemerintah menggunakan kekuatan Militer untuk menghadapi masyarakat) maka keputusasaan tersebut dilampiaskan menjadi konflik horizontal antar kelompok masyarakat (baik atas dasar agama maupun daerah). Resistensi primordialisme semacam inilah yang harusnya dicermati oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang ternyata melihat konsep-konsep primordialisme tersebut sebagai sesuatu yang pasif dan a historis, seperti apa yang dikatakan oleh Geertz. Hal ini juga merupakan tinjauan kritis terhadap Geertz bahwa kekuatan lokal yang bersifat primordialis itu bukanlah sesuatu yang a historis dan bersifat mengalir begitu saja secara alamiah serta hanya memiliki kekuatan yang bersifat lokal saja[6]. Akan tetapi resistensi horizontal di atas membuktikan bahwa kekuatan-kekuatan primodialisme itu merupakan kekuatan yang sangat potensial. Oleh karena itu adalah suatu yang salah jika kekuatan-kekuatan primordialisme ini diabaikan atau eksistensinya ditekan secara kuat atas nama kekuasaan.

Belajar dari kondisi ini maka konsep “dari Sabang Sampai Merauke” kiranya tidak lagi menjadi sebuah konsep yang bernuansa eksploitatif tetapi menjadi sebuah konsep kebersamaan di dalam pembangunan negara yang disebut Indonesia. Bahwa Indonesia adalah Sabang sampai Merauke bukan hanya di Jawa dan sekitarnya [7]. Dan untuk itu kebijakan pemerintah yang adil menjadi kata kunci dalam menghindari konflik horizontal tersebut. Oleh Hatta kata adil atau demokrasi dalam kebijakan ini dapat diwujudkan melalui konsep demokrasi asli Indonesia[8] yaitu: rapat, mufakat, tolong menolong, hak mengadakan protes bersama dan hak menyingkirkan diri dari kekuasaan raja. Konsep ini tentu sangat idealis akan tetapi hal yang patut dicermati adalah penghargaan terhadap kekuatan lokal sebagai sesuatu yang patut dihargai sebagai bagian dari kekuatan nasional.

Pada sisi lain eksklusifisme keaagamaan memainkan peranan yang penting juga dalam membangun konflik sosial. Segmentasi yang bersifat ‘arogan’ atas nama kampung, rukun, mata rumah atau mungkin hanya sebuah keluarga inti dalam peranan liturgi ibadah, telah membawa kesan eksklusif bagi kehadiran agama itu pada dirinya sendiri. Teologi (baca: Ibadah) tidak lagi dilihat sebagai sebuah nilai yang universal dan pluralis tetapi cenderung lebih menekankan nilai-nilai yang eksklusif dan monolitik[9]. Ajaran-ajaran agama cenderung melihat keselamatan sebagai sesuatu yang individualis bukan sebagai sesuatu yang universal dan melintasi batas-batas serta nilai-nilai kebersamaan yang pluralis dan membebaskan[10]. Kondisi semacam ini tentunya berakibat pada pemahaman dari arti kebersamaan itu. Kebersamaan diidentikan dengan apa yang sama dengan saya. Ketidakpedulian terhadap orang lain adalah disebabkan bukan karena ketidakperdulian an sich tetapi lebih disebabkan oleh perasaan lain atau berbeda dari orang lain dan ingin menonjolkan kelebihan yang ada dalam kelompoknya. Jika konsep ini menjadi sebuah ‘premis’ di dalam sebuah komunitas interen kehidupan beragama apalagi dalam melihat kondisi eksteren disekitarnya. Kondisi eksklusifisme yang berasal dari nilai-nilai pengajaran yang hanya mementingkan diri sendiri ini yang kemudian dapat menjadi sumber konflik, baik konflik interen maupun konflik eksteren. Apalagi kecenderungan eksklusifisme ini sudah diperparah melalui simbol-simbol keagamaan yang dikedepankan secara berlebihan. Kasus pembangunan gereja di Kei oleh tiga paroki menunjukan dengan jelas bahwa simbol gedung gereja bukan lagi menjadi simbol persahabatan antar umat dan juga merupakan tempat berkumpulnya orang percaya dari berbagai macam suku bangsa dan golongan, tetapi sudah bergeser menjadi simbol-simbol ‘arogan’ yang menampilkan nilai-nilai sebatas fisik semata-mata. Pergeseran peran simbol ke arah fisik inilah yang kemudian menjadi trauma sosial bagi ‘orang yang lain’ ketika ia melihat bahwa simbol-simbol itu secara psikologis telah menekan, memarginalisasikan, meremehkan…dari simbol yang sama yang ia miliki. Misalnya pertanyaan mengapa ‘gerejanya lebih bagus dari gereja saya’? Mengapa sekolah-sekolah kristen lebih baik mutunya dari sekolah-sekolah lainnya? Pertanyaan ini tentu sangat sederhana, tetapi di dalamnya sebenarnya memuat sebuah ungkapan sinis bahwa ada rasa iri yang kemudian secara akumulatif terluapkan ketika ada kesempatan untuk melampiaskannya. Padahal seharusnya simbol-simbol keagamaan, dalam bahasa Clifford Geertz adalah yang berlaku untuk menetapkan suasana hati dan motivasi yang kuat, yang meresapi dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga suasana hati dan motivasi itu tampak khas realistis[11] (Geertz, 1974). Artinya simbol-simbol keagamaan membawa orang pada suatu situasi yang menyejukan dan menjadi sebuah nilai yang universal.

Oleh karena agama seharusnya berani untuk me-re-intepretasikan kembali ajaran-ajaran dan dogma-dogma yang dianggap tidak lagi bersifat kontekstual dan cenderung mengajakarkan nilai-nilai yang eksklusif. Agama hendaknya berada pada dataran universal dan untuk sebuah kehidupan yang mengeliminir konflik dan menjadi solusi bagi sebuah konflik multidimensi. Bukan justru agama menjadi sumber konflik akibat eksklusifitas pemahaman dan pengajarannya.

Refleksi

Belajar dari refleksi kasus Kei di atas nampaknya beberapa hal perlu di sepakati sebagai sebuah upaya untuk mengeliminir konflik pluralitas atas nama SARA:

  1. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menangani konflik hendaknya mendasarkan dirinya pada nilai-nilai yang bersifat kontekstual dan berakar dari kondisi dan situasi yang ada. Penghargaan terhadap nilai-nilai yang berkembang secara lokal/primordial tidak dapat diabaikan karena hal tersebut adalah sebuah local genius yang dapat menjadi sarana di dalam proses pengambilan keputusan di dalam kebijakan. Keberpihakan kepada suatu golongan akan membawa akibat yang sangat parah pada masa yang akan datang.
  2. Universalisme dan pluralisme adalah sebuah kata kunci yang tidak dapat diabaikan di dalam pengembangan ajaran dan nilai-nilai keagamaan. Agama hendaknya tidak lagi menjadi kaki tangan penguasa teologi (Barat) yang bersifat monolitik, tetapi hendaknya mengembangan nilai-nilai yang kontekstual yang didasarkan pada pemahaman persaudaraan kemanusiaan yang universal (konteks Asia yang plural). Agama hendaknya mengajarkan totalitas nilai-nilai kerendahan hati dalam menghargai dan mengapresiasi perbedaan yang ada dalam konteks ke-Indonesiaan. Perbedaan hendaknya jangan dilihat sebagai persoalan aku dan dia yang cenderung bersifat alienatif , tetapi -- seperti yang diungkapkan Gabriel Marcel -- merupakan bagian dari kita yang eksistensial secara utuh[12].

Daftar Pustaka

Andrews, Collin.Mac, dan Ichlasul Amal, Hubungan Pusat dan Daerah dalam Pembangunan, Rajawali Pers, Jakarta, 2000.

Boyd R.Compton, Kemelut Demokrasi, LP3ES, Jakarta, 1993.

Feith. Herbert, dan Lance Castle (ed), Indonesia Political Thingking -1945-1965, Cornel University Press, London, 1970

Geertz, Clifford, , Kebudayaan dan Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1992.

-------------------, The Interpretation of Culture, Basic Books, 1973

Guiterrez, Gustavo, A Theology of Liberation, Orbis Books, Maryknoll, 1979

Laksono, P.M. (dkk, ed), Kekayaan, Agama dan kekuasaan, Kanisius, Yogyakarta, 1998, h. 92-93.

------------------, The Common Ground in The Kei Island, Galang Printika, Yogyakarta, 2002..

Lombard, Dennys, Nusa Jawa: Silang Budaya-Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris (3), Gramedia, Jakarta, 1996.

Miceli, Vincent P., Ascent to Being, Gabriel Marcel’s Philosophy of Communion, New York, 1965.

Pieris, Pieris, An Asian Theolgy of Liberation, Orbis Books, Maryknoll, 1988.



[1] P.M.Laksono, “Pertukaran dan Sisi Lainnya: Sebuah Refleksi tentang Landasan Bersama Orang-orang Kei” dalam P.M Laksono (dkk, ed), Kekayaan, Agama dan kekuasaan, Kanisius, Yogyakarta, 1998, h. 92-93.

[2] Lih. Tulisan P.M.Laksono, The Common Ground in The Kei Island, Galang Printika, Yogyakarta, 2002.. Menggambarkan peta konflik yang sangat rumit di Kei tetapi ada landasan bersama yang merasuk dalam system kehidupan masyarakat yang pada akhirnya dapat melupakan perbedaan-perbedaan yang ada.

[3] P.M. Laksono, op.cit., 1998, h. 94-96

[4] Ichlasul Amal, "Dimensi Politik Hubungan Pusat – Daerah: Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan" dalam Collin Mac Andrews dan Ichlasul Amal, Hubungan Pusat dan Daerah dalam Pembangunan, Rajawali Pers, Jakarta, 2000, h.160-162.

[5] Lih. Boyd R.Compton, Kemelut Demokrasi, LP3ES, Jakarta, 1993, h.87-106

[6] Lih. Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, Basic Books, 1973

[7] Kasus ini misalnya dapat dilihat dalam dari hasil penelitian Denys Lombard yang mencoba menemukan satu kekuatan pongah, yaitu Jawa sebagai motor besar bagi terbentuknya negara besar Indonesia. Menurutnya telah terjadilah proses Jawanisasi Indonesia.

Lih. Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya-Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris (3), Gramedia, Jakarta, 1996, h. 168-176.

[8] Mohammad Hatta, “Masyarakat Kolonial dan Cita-Cita Demokrasi Sosial” (1956), dalam Herbert Feith dan Lance Castle (ed), Indonesia Political Thingking -1945-1965, Cornel University Press, London, 1970, h. 37-38.

[9] Baca tulisan Aloysius Pieris, An Asian Theolgy of Liberation, Orbis Books, Maryknoll, 1988.

[10] Bdk. Gustavo Guiterrez, A Theology of Liberation, Orbis Books, Maryknoll, 1979, h. 13.

[11] Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1992, h. 5.

[12] Lih. Vincent P.Miceli, Ascent to Being, Gabriel Marcel’s Philosophy of Communion, New York, 1965.

PERSATUAN DIDALAM KEPELBAGIAN JEMAAT :


A. Pendahuluan

Realitas politik dan ekonomi yang berkembang di dalam konstelasi masyarakat Indonesia di tahun belakang ini telah tergiring kepada suatu situasi yang sangat parah. Dalam perkembangan politik ditandai dengan hancurnya legitimasi kekuasaan orde baru dan digantikan dengan orde reformasi yang sarat dengan politik kekerasan serta disintegrasi sosial. Kehancuran dalam bidang ekonomi yang ditandai dengan melemahnya kemampuan sektor ekonomi riil berhadapan dengan kekuatan ekonomi pasar global telah memperburuk kinerja sistem ekonomi bangsa ini. Buruknya kondisi politik dan ekonomi tersebut telah menghasilkan dampak yang paling parah adalah disintegrasi sosial atas nama agama dan budaya. Kasus-kasus pembakaran gereja-gereja dan mesjid di beberapa daerah di Indonesia, konflik etnis di Kalimantan, “Perang Salib”, di Ambon, kasus Aceh dan kemerdekaan Timor-Timur, semuanya menandai sedang berjalannya proses disintegrasi bangsa. Pertanyaannya adalah apa yang harus kita lakukan saat ini? Gereja hendak berbuat apa mengenai masalah besar ini? Akankah dis-harmonisasi pluralitas kultural dan agama ini kita biarkan terjadi pada bangsa ini ?

Tulisan ini tentunya tidak ingin menyelesaikan persoalan-persoalan besar tersebut. Persoalan sederhana yang ingin diangkat adalah bagaimana gereja mampu menghargai pluralitas yang ada didalam konteks kehidupan berjemaat sebagai sebuah realitas mikro bangsa. Kecurigaan yang muncul adalah jangan-jangan proses disintegrasi yang terjadi dalam konteks makro (bangsa) juga akan terjadi didalam konteks mikro berjemaat (gereja). Hal ini dengan mengingat bahwa pluralitas kehidupan berjemaat merupakan realitas yang tidak bisa diabaikan. Jika hal ini benar-benar terjadi bagaimana dengan proses misi yang harus diemban oleh gereja sebagai sebuah institusi sosial dan keagamaan?

B. Refleksi Teologis

1. Amanat I Korintus 12 : 12-31

Sengaja saya mengambil surat I Konrintus 12 : 12-31 sebagai landasan didalam merefleksikan kondisi Gereja yang hadir ditengah situasi dan kondisi keterpurukan bangsa. Saya menyadari bahwa latar belakang surat tersebut tentunya tidak memiliki latar belakang yang politis maupun ekonomis. Tetapi sebaliknya adalah konflik perpecahan intern didalam jemaat korintus. Paulus dengan tegas memiliki suatu sikap untuk mempersatukan jemaat di Korintus. Akan tetapi persatuan yang dimaksud oleh Paulus adalah dengan memperhatikan dan tanpa mengadakan perbedaan-perbedaan yang ada didalam jemaat, dalam hal ini adalah karunia-karunia yang dimiliki oleh jemaat. Oleh sebab itu amanat yang terpenting dari perikop ini adalah persatuan didalam kepelbagian yang ada di dalam jemaat. Kepelbagian yang ada tersebut, sebenarnya merupakan karunia-karunia “potensial”. Oleh sebab itu karunia-karunia “potensial” tersebut seharusnya ditingkatkan keberadaannya didalam rangka kesatuan dn pembangunan Tubuh Kristus dan Jemaat-Nya, agar tetap memiliki eksistensi yang nyata dan kuat di dalam dunia ini.

2. Gereja Sebagai Fungsi Dari Keselamatan

Tidak dapat disangkal bahwa kehadiran gereja di dalam dunia ini merupakan sebuah “karya besar” di dalam rangka pembebasan umat secara universal. Karya Allah dalam misinya di dunia ini, yang diwujudkan di dalam pengutusan anak-Nya yang tunggal, pada akhirnya mewujudkan gereja.

Karena misi Allah adalah menyelamatkan dan membebaskan umat manusia dari belenggu penjajahan (Kel. 3: 7-8) dan dosa yang mengakibatkan kebinasaan (Yoh. 3: 16) serta memberitakan Tahun Rahmat Tuhan kepada sekalian orang (Luk. 4: 18-19), maka Gereja sebenarnya adalah fungsi dari keselamatan tersebut. Sebagai fungsi, maka keberadaan Gereja lebih ditekankan pada persoalan tugas dan panggilannya di dunia ini untuk menyelamatkan umat manusia yang berdosa. Pemahaman semacam ini tentunya tidak dapat diartikan bahwa gereja adalah sama dengan keselamatan itu sendiri.

Karena gereja dipahami sebagai fungsi dari keselamatan tersebut, maka gereja pada akhirnya harus memiliki unsur-unsur yang fungsional. Jika unsur-unsur yang fungsional tersebut dipahami sebagai bagian dari gereja, persoalannya sekarang adalah bagaimana unsur-unsur yang fungsional tersebut mampu mengarahkan dirinya kepada pemahaman gereja sebagai sebuah fungsi dari keselamatan tersebut.

Jika kita bandingkan dengan apa yang terdapat di dalam surat Paulus kepada Jemaat di Korintus (I Kor. 12: 12-31), maka Paulus mau mengatakan bagaimana seharusnya setiap anggota jemaat mampu mengarahkan dirinya kepada kesatuan di dalam perbedaan-perbedaan yang ada di didalam jemaat. Jadi, Paulus dalam hal ini belum berbicara mengenai persoalan bagaimana unsur-unsur yang fungsional, dalam hal ini adalah jemaat, untuk mengarahkan dirinya kepada pemahaman “gereja” sebagai fungsi dari keselamatan. Tetapi baru berbicara pada dataran persoalan mengenai eksistensi dari unsur-unsur yang fungsional tersebut. Apakah itu berarti bahwa Paulus tidak mengartikan gereja sebagai fungsi dari keselamatan terhadap manusia secara universal? Jawabannya tentu TIDAK! Karena Paulus sendiri mengatakan bahwa jemaat adalah sebagai persekutuan yang dikuduskan dan diselamatkan (bkd. I Kor. 1:2; Gal. 1: 3-4; Rom. 1:7). Karena gereja/jemaat adalah suatu persekutuan orang percaya yang dikuduskan dan diselamatkan oleh Allah, maka sebagai konsekwensinya gereja memiliki tugas (fungsi) terhadap keselamatan yang universal. Tetapi sebelum sampai kepada kesimpulan bahwa gereja adalah sebagai fungsi dari keselamatan, menurut Paulus yang pertama-tama adalah bagaimana gereja (dimana jemaat berkumpul di didalamnya) terlebih dahulu menyadari secara sungguh-sungguh akan fungsinya tersebut.

Jika kita kembali kepada pertanyaan bagaimana unsur-unsur yang fungsional tersebut mampu mengarahkan dirinya kepada pemahaman gereja sebagai fungsi dari keselamatan, maka jawabnya tentu tidak terlepas dari kesadaran terhadap kesatuan di dalam kepelbagian tersebut. Artinya bahwa gereja tidak akan mampu menjadi gereja yang mempunyai fungsi dari keselamatan jika unsur-unsur yang fungsionalnya tidak memiliki kesadaran akan kesatuan di dalam kepelbagian tersebut.

3. Gereja Misioner Sebagai Sebuah Kesaksian Sosial: Aplikasi dari Pemahaman Gereja sebagai Fungsi dari Keselamatan

Jika kita melihat kepada sejarah gereja mula-mula, maka tidak dapat diragukan bahwa gereja sebenarnya adalah sebuah gereja yang misioner. Dimana tekanannya tentu pada proses pelipatgandaan warga jemaat-jemaat baru. Dan Alkitab menyaksikan akan hal tersebut merupakan suatu perkembangan yang sangat pesat.

Pemahaman gereja yang misioner seperti di atas tentunya sesuatu yang tidak dapat disangkal. Dan itu berarti bahwa pemahaman seperti itu juga merupakan bagian dari keberadaan gereja saat ini. Meskipun harus dicatat bahwa pemahaman semacam itu tidak bisa lagi dipahami secara statis. Hal ini tentu merupakan akibat langsung dari situasi gereja yang berkembang kesegala arah dengan situasi dan kondisi yang sangat berbeda. Apalagi dalam konteks di Indonesia yang sangat pluralis, tentunya jika gereja misioner dipahami secara statis begitu saja seperti di atas maka akan terbentur pada nilai-nilai kepentingan yang lain (baca : agama lain).

Oleh sebab itu yang diperlukan saat ini adalah pentingnya sebuah “strategi baru” terhadap pemahaman gereja yang misioner, yaitu bagaimana, “melatih agar mereka mampu menghubungkan iman Kristiani dengan membina jemaat yang misioner yang juga melibatkan dan mengkoorganisasikan kegiatan warga gereja serta melengkapi masalah-masalah dan tantangan di dalam masyarakat”. Strategi ini dipakai karena jika memahami misi itu bukan berarti hanya didominasi oleh para pemimpin-pemimpin jemaat, tetapi juga adalah warga jemaat. Artinya bahwa pemahaman misioner adalah pemahaman yang melibatkan jemaat secara utuh dengan melihat potensi-potensi yang ada di dalam jemaat yang tidak hanya dalam rangka sebuah misi yang konvensional akan tetapi juga berbagai sebuah kesaksian sosial.

4. Fungsi Warga Jemaat Yang Misioner : Peningkatan Kualitas

Disadari bahwa gereja tidak bisa melepaskan dirinya sebagai gereja yang berperan sebagai fungsi dari keselamatan. Akan tetapi pemahaman yang terpenting di dalam konteks misi ini adalah dengan memulainya dalam kehidupan bergereja itu sendiri. Itu berarti gereja harus terus meningkatkan dan mempersiapkan setiap warga gereja dalam fungsinya sebagai bagian dari gereja yang misioner (peningkatan kualitas hidup berjemaat).

Jika hal tersebut dipahami sebagi sesuatu yang meningkatkan dan mempersiapkan warga jemaat sebagai bagian dalam fungsi gereja yang misioner, maka hal tersebut sebenarnya lebih dititik beratkan pada peningkatan kehidupan secara potensial dari setiap warga jemaat. Hal ini menjadi sesuatu yang penting, karena yang terjadi selama ini adalah tekanannya hanya bertumpu kepada “golongan elite” di gereja saja. Untuk saat ini hal tersebut sebaiknya lebih diarahkan kepada warga jemaat secara utuh. Karena warga jemaat ini inilah yang selalu hadir di dalam proses sosialiasi kehidupan bermasyarakat secara luas. Hal itu berarti peranan Pembinaan Warga Gereja menjadi sesuatu yang penting di dalam mewujudkan misi Allah di dunia.

Persoalan yang muncul tentunya adalah apakah proses tersebut nantinya juga akan mengarahkan kepada perwujudan nilai-nilai Kristiani di dalam masyarakat sosial (Kristen Kultural)? Dari satu sisi hal ini bisa terjadi dan dengan demikian pada akhirnya akan jatuh pada persoalan Kristenisasi kembali, yang tentunya akan menghasilkan sikap konfrontatif dari golongan kepentingan yang lain. Untuk tidak terjatuh pada persoalan tersebut, perwujudan gereja misioner yang mengarahkan kepada kesaksian sosial, sebaliknya merupakan sebuah kesaksian sosial yang dilandasi benar-benar oleh konsep KASIH (bdk. I Kor. 13 :13). Konsep kasih di sini tentunya dipahami sebagai konsep kasih yang universal dan bukan sebagai sesuatu yang ekslusif. Seperti Yesus yang memerintahkan untuk mengasihi sesama manusia (universal). Demikian juga Paulus yang ternyata sangat menghargai dan menghormati prinsip ini di di dalam kehidupan berjemaat.

Kembali kepada situasi bangsa Indonesia saat ini, maka ada dua keuntungan jika ke- Kristenan menerapkan konsep misi yang demikian, yaitu :

1. Kesempatan bagi gereja untuk “memperbaharui” diri dalam kerangka kehidupannya di tengah dunia.

2. Peranan gereja di dalam kehidupan masyarakat sosial menjadi jelas.

Artinya dengan situasi bangsa saat ini, gereja sudah saatnya mampu menginventarisasikan kepelbagian “karunia-karunia” yang terdapat di dalam jemaat, untuk kemudian mengembangkannya dalam pola-pola kehidupan bermasyarakat yang pluraris. Sekali lagi tidak harus selalu diartikan dalam kerangka misi yang konvensional akan tetapi sebagai sebuah kesaksian sosial yang sungguh-sungguh di tengah dunia ini (baca : Indonesia). Meskipun harus diakui bahwa sering sekali muncul kesulitan-kesulitan di dalamnya, pertama tentu dari segi teologi dan kedua dari segi institusional.

Menurut saya, gereja saat ini harus mampu keluar dari kedua persoalan ini. Dari segi teologi, gereja harus mampu memperbaharui sikap berteologi yang pasif kepada kondisi yang aktif. Kondisi yang cenderung kepada sikap paternalistik di dalam gereja sudah seharusnya diarahkan kepada sikap “ gereja yang fungsional”. Meskipun tidak dapat disangkal bahwa pada akhirnya gereja harus memliki sistem yang “hirarkis”. Tetapi harus diingat bahwa sistem yang hirarkis tersebut bukan dalam pemahaman mengenai kepentingan, tetapi lebih ditujukan kepada persoalan fungsionalisasi (bkd. konsep satu, tubuh banyak anggota), yang mengarahkan kepada kesatuan dan pembangunan tubuh Kristus. Meskipun dalam bahasa Rasul Paulus dikatakan bahwa adanya Rasul, Nabi dan pengajar adalah sebagai dasar pembentukan Gereja yang adalah Tubuh Kristus (Ef. 2: 20;4: 12). Tetapi hal tersebut sebenarnya lebih diartikan kepada fungsi mereka untuk mengatur dan mengembangkan kehidupan jemaat (orang yang berkharisma untuk mengatur jemaat).

Jika hal yang pertama masih bersifat lokal, maka hal yang kedua sebenarnya sudah bersifat antar jemaat. Persoalan institusional muncul karena gereja masih sangat berfikir mengenai persoalan massa jemaat. Artinya gereja lebih jatuh pada persoalan organisatoris belaka. Dari satu sisi hal ini tentu bukan sesuatu yang bernilai kurang, akan tetapi pada akhirnya gereja cenderung jatuh pada persoalan kepentingan kelompok, pemisahan diri, (bersifat eksklusif) dan cenderung melihat yang lain sebagai saingan atau ancaman. Jika hal tersebut yang terjadi, maka sikap institusional yang demikian bukanlah sesuatu yang dapat dibenarkan.

C. Penutup

Kesadaran akan pluralitas yang ada di dalam jemaat dan berusaha untuk meningkatkan kualitas dari potensi kepelbagian karunia-karunia tersebut, maka secara langsung gereja telah terhindar dari proses disintegrasi kehidupan berjemaat. Kondisi yang integratif dari kehidupan plural yang berjemaat, yang ditandai dengan kualitas hidup setiap jemaat, merupakan kekuatan utama di dalam peran serta gereja bernegara. Dalam jangka panjang kondisi semacam itu akan memampukan gereja untuk ikut ambil bagian secara berani dan tegas di dalam menyelesaikan setiap persoalan yang ada di dalam bangsa ini.

Inklusifitas Kesadaran Hidup Beragama: Refleksi Kristen - Islam


Persoalan eksklusifitas keagamaan merupakan suatu hal yang secara historis telah menghasilkan konflik atas nama kekerasan. Dalam catatan sejarah dapat diurutkan daftar yang cukup panjang mengenai konflik antar dan inter agama. Tidak usah jauh-jauh sampai ke luar negri, di Indonesia saja dapat dicatat sekian banyak konflik yang didasarkan atas nama agama. Pertanyaan yang paling sederhana atas hal itu semua adalah mengapa agama justru menjadi sebuah sarana bagi legitimasi nilai-nilai kekerasan? Bukankah agama mengajarkan orang untuk saling mengasihi, berbela rasa, murah hati dan semua yang baik bagi kehidupan kemanusiaan? Dan kitapun sadar bahwa kebaikan yang diajarkan oleh agama merupakan kebaikan yang bersifat inklusif. Tidak ada agama yang hanya mengajarkan kebaikan hanya untuk saudara yang seagama saja (eksklusif). Tetapi pada kenyataannya terjadi “pergeseran-pergeseran pemahaman” yang secara praktis menghasilkan buahnya yaitu kekerasan. Tentu tidak mudah untuk menjawab mengapa hal ini bisa terjadi. Kita harus mencari terlebih dahulu akar-akar keeksklusifan dari pemahaman keagamaan tersebut.

Agama dan persoalan Interpretasi

Agama, secara sosiologis, tidak hanya dipahami sebagai perangkat dari perintah Tuhan yang diterima oleh para nabi, tetapi ia juga merupakan sebuah fenomena sosiologis yang memiliki kriteria-kriteria social. Kriteria-kriteria itu dipahami berdasarkan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga pemahaman keagamaan, secara sosiologis, berkembang sejalan dengan perkembangan dari masyarakat dimana agama itu ada. Di sinilah kita bias memahami mengapa bagi sebagian bangsa agama memainkan peran yang begitu kuat dalam kehidupan negara (politik) Hal ini karena sejak dari semula agama telah memainkan peranannya di dalam kehidupam masyarakat dan menjadi salah satu penentu di dalam kebijakan-kebijakan negara.

Karena agama berjalan searah dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat maka kecenderungan menempatkan kepentingan agama sebagai kepentingan masyarakat menjadi sangat besar pula. Sebagai suatu kepentingan maka konsekuensi yang diterima adalah bahwa pemahaman keagamaaan cenderung dilihat berdasarkan kepentingan segolongan ataupun sekelompok orang di dalam masyarakat. Dan dengan demikian interpretasi nilai-nilai keagamaan ‘disesuaikan’ dengan kepentingan kelompok di dalam masyarakat. Kondisi semacam ini secara political empiric (dalam beberapa kasus) telah menciptakan nilai-nilai keeksklusifan dan bersifat destruktif di dalam kehidupan masyarakat.

Contoh yang paling konkret untuk hal ini adalah ketika agama dipakai sebagai sebuah dasar bagi kepentingan politik atas nama seluruh bangsa Indonesia. Hal ini menjadi naif karena dalam masyarakat majemuk (baik agama maupun budaya) seperti Indonesia, tidaklah mungkin menciptakan nilai-nilai satu agama sebagai sebuah dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Mis-interpretasi terhadap ajaran-ajaran keagamaan telah membawa orang kepada kesimpulan-kesimpulan yang keliru tentang arti dari setiap ajaran yang harus diterapkan bagi pemeluk agama.

Iman dan Tindakan Tanpa Batas

Pemahaman tentang iman merupakan hal yang sangat penting artinya di dalam memahami nilai-nilai inklusifitas keagamaan. Dalam banyak hal terdapat banyak kesamaan pengertian tentang iman di dalam kehidupan beragama. Dalam hal ini catatan mengenai pengertian iman dari kaca mata ke-Kristenan dan Islam dapat membantu kita untuk melihat persamaan makna tersebut.

Ke-Islaman sendiri memahami iman sebagai suatu defenisi verbal yang menggambarkan orang beriman sebagai seorang yang sangat saleh, yang di dalam hatinya selalu disebutkan Asma Allah dan ini cukup untuk membangkitkan perasaan khidmat yang mendalam.

“Sesungguhnya Orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebutkan nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal, yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya” (Q.VIII:2-4)

Pada sisi lain pemhaman tentang orang yang saleh itu juga merupakan suatu manifestasi dari penampakan luar orang beriman seperti yang ditulis:

“Mereka itu (orang beriman) adalah orang-orang yang bertaubat,yang beribadat, yang memuji Allah, yang melawat, yang ruku dan sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf danmencegah berbuat munkar dan memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah oranmg-orang mu’min itu”. (Q.IX:112-113)

Dari kutipan-kutipan ini dapat dipahami bahwa terdapat dimensi holistik atas pemahaman iman dari ajaran Islam. Dimensi kesalehan untuk berbuat baik bagi diri sendiri merupakan titik awal untuk dapat melakukan kebaikan bagi orang lain. Usaha untuk berbuat ma’ruf dan mencegah yang bersifat munkar adalah suatu usaha demi dan untuk kebaikan yangbersifat menyeluruh dan tidak hanya bersifat partikularis.

Pada sisilain ke-Keristenan juga memahami iman sebagai sebuah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti akan segala sesuatu yang tidak kitalihat (Ibrani 11:1). Pemahaman iman yang seperti ini bukanlah merupakan sebuah pemahaman iman yang bersifat statis dan fatalis. Surat Ibrani ditujukan kepada orang-orang Kristen yang mengalami kelesuan dan frustasi. Oleh sebab itu iman yang sungguh-sungguh kepada Allah membawa orang agar mempunyai semangat menghadapi masa kini dan masa depan dengan optimis dan lebih baik. Orang beriman dalam konteks pemahaman yang demikian tidak bersifat fatalis tetapi justru merupakan transformator di dalam perjuangan mentransformasikan dunia yang semakin kacau. Yang dimaksud dengan perjuangan mentransformasikan dunia adalah perjuangan melawan sengsara, derita, kepahitan dan ketiadaan makna hidup bagi manusia (bukan hanya bagi orang Kristen) tanpa kekerasan. Di sinilah kitadapat memahami dengan lebih baik ungkapan bahwa “…Inilah kemenangan yang mengalahkan dunia: iman kita! (I Yohanes 5:4). Proses mengalahkan dunia tidak dapat dilihat hanya sebagai kemenangan orang Kriten atas orang yang bukan Kristen, melainkan dengan iman kita bersama mengalahkan dunia yang di dalamnya terdapat begitu banyak ketidakadilan, keserakahan, kemunafikan, kekerasan dan lain sebagainya yang bersifat munkar.

Hal yang dapat dipahami dalam dua pandangan agama mengenai iman tersebut adalah bahwa keduanya berbicara mengenai lingkup kehidupan orang beriman yang melewati batas-batas keagamaan itu pada dirinya sendiri. Pada kenyataannya keagamaan sering dianggap sebagi satu-satunya manifestasi wahyu Ilahi dan karenanya orang dapat mengimani sang Ada tersebut hanya dalam batas-batas keagamaan yang diyakininya. Akan tetapi, dalam pemahaman iman yang demikian, bukan berarti bahwa agama merupakan nilai mutlak kehidupan orang beriman untuk tidak dapat melakukan tindakan yang melewati batas-batas keagamaan demi dan atasnama kebaikan hidup kemanusiaan di muka bumi ini.

Universalitas Ilahi

‘Ketakutan’ dari setiap pemeluk agama yang berbeda-beda untuk menyatakan universalitas Ilahi dari Sang Pencipta, telah membuat umat beragama terjebak pada penilaian-penilaian negatif antar umat beragama. Mengapa kita menjadi takut untuk menyatakan bahwa ada “Yang Satu”, yaitu Sang Pencipta alam semesta dan segala isinya, yang dipahami dan dimengerti dalam beragama perspektif oleh umat manusia yang beragama? Kedangkalan di dalam pemhaman yang bersifat teosentris inilah yang sering membuat orang merasa diri bahwa Allahnya lebih baik dari Allah agama yang lain. Padahal hakekatnya Sang Pencipta tersebut mengasihi semua orang yang berbeda-beda itu.

Disadari bahwa pemahaman yang teosentris ini tidak mengajak orang untuk beranggapan bahwa semua agama sama saja. Setiap agama harus dipahami sebagi sebuah ‘fenomena unik’ yang dianut oleh pemeluknya. Akan tetapi sebagai sebuah fenomena unik, ia tidak harus dipahami sebagi memiliki nilai- nilai yang eksklusif. Mengasihi sesama manusia, membenci ketidakadilan, memerangi kemiskinan, meniadakan pertikaian, menciptalan perdamaian bagi sesama; semuanya itu adalah contoh-contoh ajaran agama yang bersifat universal. Jika agama dipahami sebagai sebuah ‘hati nurani dari Sang Pencipta di dunia, maka universalitas sang Ilahi tersebut seharusnya dapat dipahami. Meskipun tetap harus ada kesadaran, sebagai mana tercermin dalam sejarah kehidupan keagamaan, bahwa wahyu-wahyu Ilahi diejawantahkan di dalam konteks dan latar belakang sosio-religius yang berbeda-beda. Akan tetapi kita dapat percaya bahwa Allah yang Esa sedang berkarya ‘mencetak pada jiwa manusia secara keseluruhan (pressing in upon the human spirit). Dalam pemahaman semacam inilah kerangka hidup bersama untuk mentransformasikan nilai-nilai keagamaan yang baik dan menyeluruh di dalam masyarakat dapat diciptakan.

Gereja dalam Budaya Satanik

Akhir-akhir ini media televisi marak dengan tayangan-tayangan mistik. Hampir semua stasiun TV di Indonesia menampilkan acara sejenis dengan berbagai macam ragamnya. Bahkan ada yang berani menyiarkannya secara langsung. Maraknya acara-acara tersebut tidak dapat dilepaskan dari banyaknya juga respon pemirsa televisi terhadap acara tersebut. Indikasi ini dapat dilihat dari jumlah iklan yang cukup banyak untuk acara-acara itu. Ditambah lagi dengan adanya sinetron-sinetron televisi yang juga menampilkan tema-tema sejenis. Bahkan film-film Indonesia di Bioskop juga tidak lepas dari tayangan yang demikian. Sehingga hampir sebagian besar waktu menonton -- yang parahnya sebagian besar adalah anak-anak dan remaja—telah dijejali dengan sajian mistik tersebut. Pertayaannya tentu mengapa stasiun televisi senang menyajikan hal yang demikian dan penonton televisi juga senang untuk menontonnya?

Gejala ini sebenarnya dengan mudah dapat dilacak secara sosiologis. Pasca orde baru bagi bangsa ini adalah suatu masa yang tidak pasti. Ekonomi hancur, politik yang carut marut, munculnya konflik horizontal (antar masyarakat) sebagai sebuah ledakan dahsyat akibat tekanan yang begitu lama dan kuat oleh rezim orde baru dan tentu kemiskinan yang semakin parah. Dalam suasana yang demikian orang hidup dalam suatu ketidakpastian. Kecenderungan mencari pemecahan masalah kehidupan secara cepat merupakan pilihan yag tidak dapat ditawar-tawar. Dalam kondisi yang demikian segala sesuatu menjadi rasional. Bahkan yang irasional menjadi sesuatu yang rasional. Pilihan hidup mejadi sangat simplisistik (sederhana) namun kebutuhan hidup menjadi sangat besar dan mahal. Mulai dari kebutuhan makan hingga pendidikan anak-anak. Pada sisi lain akibat dari kondisi yang demikian telah mengakibatkan tingkat pengangguran yang tinggi pula. Semuanya telah menumpuk menjadi satu yang kemudian menghasilkan mimpi-mimpi, harapan-harapan yang sebenarnya merupakan dampak dari kefrustasian. Dalam kondisi demikan segala sesuatu dapat dengan mudah mempengaruhi setiap orang. Termasuk mistik yang bukan lagi menjadi alternatif pemecahan masalah kehidupan tetapi telah menjadi pilihan utama masyarakat yang frustasi atau Eric Fromm menyebutnya “masyarakat yang gila” (1963).

Mistik dan Budaya Populer

Mistik dan budaya populer agaknya dua ruang yang sangat berbeda. Mistik berada dalam ruang eksklusif (tertutup) dan yang lainnya berada dalam ruang inklusif (terbuka). Mistik cenderung statis (pasif) dan budaya popular cenderung sangat dinamis (aktif). Keduanya seolah berjalan dalam dua jalan yang berbeda. Namun media televisi telah mempersatukan keduanya menjadi bagian yang utuh. Mistik tidak lagi berada di ruang eksklusif tapi sudah berada dalam ruang publik yang inklusif. Dia (mistik) akhirnya telah menjadi bagiaan yang utuh dalam dunia entertainment layaknya sebuah iklan. Sebagai sebuah iklan pesan apa yang hendak disampaikannya? Pesannya sangat jelas, bahwa mistik dalam segala bentuknya bukanlah sesuatu yang menakutkan. Ia adalah bagian dari

kehidupan alam sadar dan alam bawah sadar kita. Menempatkan mistik (dalam pengertian realitas alam gaib/setan) dalam konteks budaya popular berarti mengakui adanya eksistensi kekuatan mistik tersebut dalam dunia riil. Hal yang menarik adalah tawaran dalam dunia mistik merupakan tawaran yang selalu dianggap jelas dan cepat. Hal inilah yang kemudian dalam konteks masyarakat yang frustasi telah mendapatkan tempatnya tersendiri di hati pemirsa televisi. Orang senang dengan cara tersebut karena di dalamnya menyajikan jawaban-jawaban atas keadaan frustasi yang dihadapinya. Ungkapan-ungkapan bahwa setan itu baik, tidak mengganggu, saling bertenggang rasa, jangan saling mengganggu dan sebagaiannya, sebenarnya merupakan ungkapan-ungkapan yang meredakan patologi neurosis kita yang sedang sekarat. Satanic show adalah bagian yang tidak henti-hentinya menjejali kita dalam realita budaya populer melalui media televisi. Walahuallam….

Bagaimana dengan Warga Gereja?

Dalam pengamatan secara sepintas nampak dengan jelas bahwa sebagian warga gereja juga menyenangi acara-acara ini. Tentu tidak salah juga untuk melihatnya. Namun yang menjadi persoalan adalah bahwa dengan menonton tayangan-tayangan itu sebenarnya kita telah masuk dalam dunia popularitas mistik tersebut. Apa akibat dari semuanya itu bagi warga gereja (masyarakat)?

Satu tema yang tidak bisa dilepaskan dari seluruh tayangan mistik itu adalah munculnya tema kekerasan dalam bentuk korban. Apakah itu korban binatang yang menghasilkan darah ataupun korban manusia yang menjadi sarana dalam membuktikan keadaan gaib tersebut. Kita sering melihat orang diminta untuk tinggal sendirian dalam kegelapan untuk membuktikan apakah ada atau tidaknya nuansa alam gaib di sekitar tempat yang dianggap angker. Ini adalah salah satu model KEKERASAN yang oleh Galtung disebut dengan kekerasan structural (1980). Kekerasan model ini tidak secara fisik tetapi menghancurkan melalui proses batin. Ketika orang merasa terancam dalam pekerjaan, lingkungan, atau merasa takut karena sesuatu hal maka dalam dirinya orang tersebut telah mengalami proses kekerasan. Parahnya, suasana kekekerasan yang demikian itu ditonton oleh ribuan orang. Dengan demikian terjadi transfer kekerasan secara sosial yang tidak disadari oleh masyarakat. Sadarkah bahwa kita sekarang berada bahkan ada di dalam proses kekerasan tersebut? Akibat psikologis yang paling jelas dari transfer model kekerasan ini adalah munculnya mentalitas penakut dalam kehidupan masyarakat. Mentalitas yang tidak berani bertangung jawab dalam segala hal dan cenderung menyalahkan orang lain sehingga orang lain juga menjadi takut. Ketakutan ini mengakibatkan orang cenderung tidak dapat lagi memikirkan hal-hal yang positif di dalam kehidupannya. Orang selalu berusaha mencari jalan pintas bahkan sampai-sampai harus mengakhiri kehidupannya. Dalam harian Bali Pos pada akhir Desember 2004 memuat sebuah laporan yang mencengangkan bahwa tahun 2004 terjadi peningkatan yang signifikan terhadap kasus bunuh diri di Bali. Tentu ini menjadi sangat ironis jika dibandingkan dengan masyarakat yang katanya sudah semakin modern dan rasional. Dalam hal ini nampak dengan jelas bahwa kasus bunuh diri ini mengindikasikan adanya korelasi yang jelas antara kekerasan yang bersifat struktural dan kekerasan yang bersifat personal. Jika kekerasan struktural dianggap hanya mempengaruhi secara psikologis namun pada kenyataannya juga memiliki implikasi yang jelas terhadap kekerasan secara fisik. Menurut Galtung (1980) kekerasan personal dan kekekrasan struktural perbedaannya sebenarnya tidak terlalu tajam. Keduanya mempunyai hubungan kausal dan mungkin juga hubungan dialektis. Jika hal ini benar, maka apa yang disebutkan di atas sebagai transfer kekekerasan melalui media televisi mendapatkan legitimasinya.

Untuk semakin membutikan bahwa terjadi korelasi yang signifikan diantara kekerasan struktural dan kekerasan personal dapat juga dilihat dari berita-berita pada siang hari di televisi yang hampir 70% menayangkan berita kekerasan personal, baik itu pembunuhan, pemerkosaan, pemerasan, kriminalitas dan sebagainya.

Oleh karena itu betapa pentingnya pendidikan mengenai pemanfaatan televisi di dalam kehidupan masyarakat khususnya di dalam kehidupan bergereja. Jangan pernah menganggap tayangan-tayangan televisi tersebut tidak mempunyai makna secara sosiologis. Apa yang terjadi dalam penayangan-penayangan dunia gaib yang selama ini popular di masyarakat telah membuahkan hasilnya dalam konteks kekerasan secara personal. Mungkin bagi orang yang membela dan senang terhadap penayangan tersebut dapat mengatakan bahwa hal itu hanyalah sebagai tontonan yang bersifat refreshing semata-mata. Namun bagi banyak orang hal ini telah mempengaruhi kehidupan secara sosiologis. Dan sayangnya pengaruh tersebut bukan mengarah pada hal yang positif tetapi pada hal yang negatif.

Oleh karenanya saya menyarankan kepada warga jemaat untuk secara bertahap mengurangi bahkan tidak menonton sama sekali tayangan-tayangan yang berbau mistik kegelapan tersebut dan juga tayangan-tayangan kekerasan yang ada di televisi. Dan menggantikannnya dengan menontonton tayangan-tayangan yang membangun baik dari segi pendidikan maupun penambahan ketrampilan. Secara khusus bagi anak-anak kiranya diberikan pemahaman secara benar oleh orang tua agar memilih acara-acara yang sesuai dengan tingkatan umur dan pemahaman anak. Gereja sebaiknya dapat menjadi agen pembaharu dengan menciptakan slogan anti kekerasan dan anti tahayul-tahayul modernisme melalui wadah pendidikan sekolah, katekisasi atau pengajaran-pengajaran, bahkan korbah-kotbah di jemaat.

Tentu tidak mudah untuk memberitahukan kepada stasiun televisi untuk menyiarkan acara-acara yang bermutu bagi masyarakat. Namun secara moral sudah seharusnya televisi menyajikan acara-acara yang bermutu sebagai kesadaran bahwa televisi adalah media pendidikan bagi masyarakat.

Defenisi dan Konseptualisasi Simbol Keagamaan: Suatu Keharusan!

DEFINISI DAN KONSEPTUALISASI

SIMBOL KEAGAMAAN : Suatu Keharusan!

Maraknya polemik mengenai penggunaan simbol-simbol keagamaan suatu agama (Hindu di Bali) oleh agama lain (Kristen di Bali) merupakan suatu fenomena yang menarik bagi diskursus dialog keagamaan. Hal yang menarik terutama jika melihatnya dari kaca mata budaya Bali sebagai “pandangan dunia” (word view) dari masing-masing pemeluk agama tersebut. Sebagai suatu cara pandang maka kehidupan berbudaya secara praktis sebenarnya tidak dapat dilepas begitu saja meskipun di pengaruhi oleh nilai-nilai yang dipahaminya dari luar lingkungannya, apakah itu politik, sosial, ekonomi bahkan agama sekalipun. “Pandangan Dunia” sebagai bagian dari nilai-nilai kognitif murni dari masyarakat lokal merupakan suatu tindakan relektif-praksis yang bersifat konprehensif yang kemudian terealisasi di dalam simbol-simbol yang dianggap bermakna. Simbol-simbol inilah yang kemudian ditangkap oleh agama dan digunakan sebagai icon-icon untuk lebih mendekatkan umat (yang berbudaya) dengan sang Khlik. Persoalannya sekarang adalah sejauh mana agama mampu mendefenisikan dan mengkonseptualisasikan simbol-simbol budaya tersebut secara sitematis-telogis menjadi suatu tatanan keagamaan yang utuh. Pada dataran inilah peran kontekstualisasi keagamaan memainkan peranannya.

Pemahaman mengenai peran kotekstualisasi keagamaan sebenarnya tidak bermaksud untuk mencampuradukkan nilai-nilai budaya secara gegabah ke dalam lingkup keagamaan maupun sebaliknya. Dalam sejarah ke-Kristenan usaha kontekstualisasi sebenarnya hanya merupakan sebuah usaha untuk mendekatkan nilai-nilai “budaya Kristiani” yang telah bersifat Barat kepada nilai-nilai lokal yang bersifat timur. Sehingga terjadi apa yang dalam bahasa sosiologi sebagai proses asimilasi. Dalam model kontekstualisasi yang semacam ini tentunya kedua nilai yang bertemu tidak saling meniadakan tetapi lebih pada menyesuaikan diri satu dengan yang lainnya dan secara kritis dan dinamis melakukan suatu pembaharuan yang konstruktif.

Bagi orang Hindu Bali persoalan kontekstualisasi sebenarnya juga bukan hal yang baru. Nilai-nilai ke-Hinduan yang berasal dari India yang kemudian terintegrasi ke dalam kebudayaan Bali secara jelas merupakan usaha kontekstulisasi yang bersifat konstruktif-kritis yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama dan yang secara praktis sebenarnya sudah jauh berbeda dengan nilai-nilai Hindu di India. Dan simbol-simbol yang dipakai kebanyakan juga merupakan simbol-simbol yang bersifat kontekstual dari pandangan dunia atau budaya orang Bali sendiri.

Dari urian ini nampak dengan jelas bahwa persoalan kontekstualisasi sebenarnya merupakan respon keagamaan yang sangat natural sebagai reaksi terhadap usaha untuk mempertahankan nilai-nilai kebudayaan yang ada di dalam masyarakat lokal. Masyarakat lokal yang dimaksud dalam hal ini adalah masyarakat yang secara etnologis berada pada tingkatan kebudayaan yang sama, dan secara historis sebelum masuknya agama memiliki simbol-simbol yang sama pula. Ketika agama memasuki ruang-ruang kebudayaan di dalam suatu masyarakat lokal maka simbol-simbol ini secara otomatis terbawa juga. Apa yang terjadi kemudian adalah agama menjadi sarat akan simbol-simbol baik yang bersifat an sich agama maupun yang berasal dari proses kontekstualisasi nilai-nilai kebudayaan masyarakat lokal. Dalam bahasa Clifford Geertz disebutkan bahwa agama pada akhirnya merupakan sistem simbol-simbol yang berlaku untuk menetapkan suasana hati dan motivasi yang kuat, yang meresapi dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tantanan umum eksistensi dan membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga suasana hati dan motivasi itu tampak khas realitis (Geertz, 1974).

Pemahaman bahwa agama merupakan sistem simbol-simbol inilah yang harus dipahami di dalam polemik mengenai simbol-simnol keagamaan yang berkembang saat ini. Dalam kerangka dialog keagamaan persoalannya bukan pada mengapa orang atau agama lain menggunakan simbol-simbol yang dianggap khas suatu agama, tetapi sejauh mana orang atau agama tersebut memaknai simbol-simbol yang digunakan tersebut? pertanyaan ini penting karena menyangkut pada simbol sebagai suatu nilai kebudayaan umum pra Hindu di Bali dan pra Kristen di Bali yang kemudian dikontekstualisasikan menjadi simbol-simbol keagamaan baik pada agama Hindu maupun agama Kristen di Bali saat ini. Kejernihan di dalam berpikir semacam ini akan memudahkan untuk membuat definisi-definisi yang bersifat konseptual mengenai makna simbol-simbol tersebut bagi agama masing-masing. Ini tugas kita bersama, umat Hindu di Bali dan secara khusus umat Kristen di Bali.