Tuesday, May 15, 2007

Perceraian dalam Media

Munculnya pemberitaan-pemberitaan mengenai perceraian dan perselingkuhan akhir-akhir ini telah memunculkan sebuah pertanyaan apakah hubungan antara perceraian dan peran media – baik televisi maupun majalah-majalah infotainmen? Dua hal ini seolah-olah berada pada enclave yang berbeda. Perceraian berada dalam ranah moralitas yang mengangkat aspek-apek, nilai-nilai dan tatanan kehidupan khususnya dalam keluarga, sedangkan media berada dalam ranah komunikasi yang mengedepankan peran artistik, virtualitas dan estetik. Sejak lama keduanya berjalan secara linear dan tidak ingin menyentuh satu dengan yang lainnya. Namun sejalan dengan waktu telah terjadi sebuah perselingkuhan diantara keduanya yang dimotori oleh peran kapitalisme. Dari sisi ini dimensi tubuh – yang mewakili pasangan suami istri – dianggap sebagai komoditi untuk memuaskan hasrat dari kapitalisme melalui peran media. Atau dengan kata lain peran media telah menjadikan tubuh sebagai produk yang dapat dipasarkan guna memperoleh keuntungan.

Persekutuan media dan kapitalisme akhir-akhir ini ini telah berjalan ke arah yang sangat membahayakan. Eksplorasi terhadap masalah-masalah kemasyarakatan sering tidak lagi dilihat sebagai usaha menciptakan perdamaian dan keutuhan tetapi justru memprovokasi ke arah perpecahan dan disintegrasi. Hal ini nampak dengan jelas dalam pemberitaan mengenai kasus-kasus perceraian. Pemberitaan yang diangkat lebih didominasi oleh pemberitaan tentang usaha perceraian dari pada pemberitaan tentang usaha ke arah perdamaian dan kesatuan serta keutuhan rumah tangga. Hal ini kemudian diekspos sedemikian rupa guna memperoleh rating pemberitaan yang tinggi atau oplah yang tinggi bagi penjulan majalah. Bahkan sering terjadi duplikasi pemberitaan karena dianggap tetap menarik untuk diberitakan. Dalam kasus seperti ini dapat dikatakan bahwa perselingkuhan antara media dan kapitalisme telah menunjukan wajahnya yang buruk dengan cara mengeksplorasi dan mengeksploitasi salah satu dimensi privat (keluarga) secara berlebihan dan dijual ke ranah publik untuk kepentingan pasar. Dari sisi ini kapitalisme telah memainkan peran yang sangat tidak ramah dengan menggunakan media dan pada sisi lain media juga telah banyak kehilangan dimensi moralitasnya demi demi meraup keuntungan semata-mata.

Wajah buruk seperti ini mengingatkan kita akan anjuran dari Rich DeVos (1995) mengenai compassionate capitalism (kapitalisme yang berbela rasa). Kapitalisme tidak saja memiliki karakter yang semata-mata ingin meraup keuntungan yang berlebihan tetapi di dalamnya juga harus memiliki belas kasih dan berbela rasa. Wajah buruk yang ditampilkan melalui pemberitaan-pemberitaan media yang semata-mata mengksploitasi perceraian tanpa memfoksukan pada pemberitaan terhadap usaha-usaha perdamaian, kerukunan, kesatuan keluarga, merupakan passionate capitalism (kapitalisme penuh nafsu) yang hanya berorientasi pada keuntungan semata-mata. DeVos dalam compassionate capitalism-nya melihat bahwa usaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya adalah sama pentingnya dengan usaha melakukan kebajikan-kebajikan sosial. Dalam bahasa komunikasi hal ini tercermin dari bagiamana pemberitaan tersebut menjadi sebuah pemberitaan yang seimbang, dimana perceraian sebagai sebuah realitas sosial yang – mungkin – tidak dapat dihindari oleh pasangan suami istri namun dapat diusahakan semaksimal mungkin pemberitaan yangmengarah pada terciptanya keutuhan rumah tangga. Atau dengan kata lain dimensi kapitalisme sebagai usaha mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan menggunakan media seharusnya juga memfokuskan perhatian mengenai usaha perdamaian bagi keutuhan ciptaan dan keluarga. Sudah saatnya – dan sangat diharapkan oleh masyarakat yang sudah bosan dengan pemberitaan-pemberitaan seperti itu - media mempertimbangkan sebuah gerakan compassionate capitalism dan bukan hanya passionate capitalism.

Sunday, May 13, 2007

Kaja -Kelod

Kaja -Kelod

Sebuah Film remaja yang akhir-akhir ini terkenal diberi judul: Ada Apa dengan Cinta. Mungkin sekarang kita juga bisa bertanya, “Ada apa dengan Kaja-Kelod?”. Orang Bali menyebut utara sebagai Kaja yang artinya gunung. Sedangkan lawan arahnya adalah Selatan atau Kelod yang artinya laut. Gunung bagi orang Bali (Hindu) merupakan sebuah tempat yang bersifat mistis. Itulah sebabnya bayak sekali tempat-tempat pemujaan terkenal di Bali berada di ‘gunung’, misalnya Pura Pulaki, Pura Batukau, dan terutama Pura Besakih yang terletak di kaki gunung Agung. Konsep mistis atau agung dalam dunia Kaja-Kelod juga terefleksi di dalam penempatan bangunan-bangunan rumah atau desa. Hal-hal yang bersifat keramat dari harta milik masyarakat biasanya diletakan di bagian kaja, sedangkan hal-hal yang biasa diletakan di bagian kelod. Pura keluarga biasanya ditempatkan di bagian kaja, sedangkan rumah tempat tinggal di bagian kelod. Dalam konteks pura desa yang bersifat kayangan tiga kita dapat melihat bahwa Pura desa diletakan di arah kaja sedangkan pada arah laut (kelod) diletakan Pura dalem (pura yang berhubungan dengan kuburan dan kematian).

Dari pemahaman sederhana ini kita dapat menyimpulkan sementara bahwa bagian utara merupakan tempat-tempat yang dianggap ‘sakral’ sedangkan bagian selatan sering dilihat sebagai bagian yang ‘sekuler’. Dalam dunia sosiologis konsep ini kemudian berkembang demikian: masayarakat yang ada di daerah pegunungan adalah masyarakat yang identik dengan pedesaan dan pertanian. Sedangkan masyarakat di pesisir pantai identik dengan perkotaan dan industri. Masyarakat desa cendrung komunal dan statis sedangkan masyarakat kota bersifat dinamis dan individualis.

Jika kita mencoba merefleksikan hal-hal di atas maka kita sekarang dapat menyadari bahwa ada sesuatu yang ironis yang sedang terjadi di dalam perkembangan kehidupan masyarakat di Bali yaitu bahwa sesuatu yang di utara (kaja) yang diagungkan tetapi secara sosiologis dianggap statis dan tidak dapat berkembang. Akan tetapi sesuatu yang bersifat sekuler di bagian selatan (kelod) bersifat dinamis dan berkembang. Pertanyaannya tentu: “Tidakkah ini merupakan sebuah proses sekularisasi kehidupan masyarakat di Bali yang sudah sampai pada titik yang paling parah?”. Bukti sejarah yang tidak bisa dipungkiri adalah pindahnya ibukota ‘propinsi’ Bali dari Singaraja (Utara) ke Denpasar (Selatan) adalah sebuah ironi yang menunjukan bahwa terjadi proses sekularisasi dalam kehidupan masyarakat Bali secara massif. Ironis!

Sekarang apa yang harus kita lakukan dengan melihat catatan-catatan kecil di atas dalam hubungannya dengan gereja di Bali? Dalam perkembangana gereja di Bali tentu hal ini juga sangat berpengaruh karena sebagain besar perkembangan gereja berada di selatan. Tidak mengherankan karena sejarah mencatat bahwa orang-orang Kristen ‘pertama’ di babtis dibagian selatan. Tetapi kalau melihat sejarah awal kekristenan di Bali tentu bukan orang-orang yang dibabtis di selatan yang dianggap sebagai proto kekristenan di Bali. Tetapi adalah seorang I Gusti Karangasem yang pada tahun 1873 dibatis menjadi orang Kristen pertama di Bali oleh Van Eck dan dia berasal dari bagian Timur (kangin). Dalam tradisi orang Bali sifat kangin disamakan dengan sifat kaja sedangkan sifat kauh (barat) disamakan dengan sifat kelod! Artinya sejarah gereja di Bali juga di mulai dari ‘utara’ yang besifat sakral. Hal ini dapat ditegaskan dengan melihat sejarah yang mencatat bahwa setelah ditinggalkan oleh Van Eck, I Gusti Karangasem berjumpa dengan de Vroom di Singaraja yang kemudian menjadi ‘gurunya’. Tidakkah lagi-lagi sejarah kekristenan berada di utara yang berisifat sakaral itu? Tetapi pertanyaannya mengapa sejarah Gereja Bali tidak mencatat ini sebagai permulaan munculnya gereja di Bali? Apakah karena I Gusti Karangasem kemudian membunuh de Vroom yang ‘bersifat anarkis’ lantas kita tidak mencatat sejarah keimanannya sebagai proto sejarah gereja di Bali, khususnya GKPB? Tidakah yang ingin ditampakkan adalah dominasi selatan yang sekuler terhadap utara yang sakral? Jika betul demikian maka kelihatannya kita berada di dalam sebuah kesalahan besar di dalam membaca sejarah gereja di Bali. Khususnya penetapan tanggal 11 November sebagai hari Ulang tahun GKPB. Gereja Kemah Injil juga menjadikan hari tersebut sebagai hari lahirnya Gereja Kemah Injil di Bali, karena memang misionaris yang membabtis adalah dari Kemah Injil. Tidakkah ini membingungkan, karena kita dianggap ‘mendompleng’ hari ulang tahun gereja lain? Akan tetapi dalam kajian kaja-kelod tentu hal ini bisa dipahami, karena sesuatu yang dari utara yang bersifat sakral telah mengalami abrasi nilai yaitu sesuatu yang miskin, tidak dapat berkembang, kering dan tidak mempunyai arti apa-apa. Ironis!

Potensi di Kaja

Secara umum geografi daerah utara (kaja) di Bali merupakan daerah yang berada pada kondisi yang sangat minus. Tanah kering, curah hujan paling sedikit, sehingga dianggap sulit untuk mengembangkan sebuah sistem pertanian yang baik. Bahkan pendapatan dan pengembangan ekonomi jemaat yang tentu tidak sebanding dengan saudara-saudara yang ada di bagian selatan telah membuat kondisi kehidupan jemaat (masyaralat) harus terus berjuang dan mampu bertahan dalam kondisi yang demikian. Dan kelihatannya bernarlah pendapat orang yang mengatakan bahwa tidak ada yang bisa dikembangkan di bagian utara. Bagi saya ini hanyalah mitos. Mitos ini merupakan “kemasan politis” sebagai sebuah persaingan utara selatan (kaja-kelod). Padahal sudah barang tentu konteks geografi yang demikian dapat saja dipatahkan dengan sedikit pemanfaatan teknologi tepat guna baik dalam bidang pertanian dan kelautan yang menjadi inspirator pengembangan jemaat dan masyarakat. Belum lagi kalau kita berbicara tentang potensi kelautannya yang luar biasa. Tahukah kita bahwa di sepanjang pesisir pantai utara tersebut terbentang potensi kelautan yang luar biasa dari mulai pembibitan ikan kerapu, kerang mutiara sampai dengan keramba-keramba ikan bandeng (nener)? Dan tahukah kita bahwa potensi alam bawah laut di utara merupakan potensi terbaik yang dimiliki oleh Bali (Indonesia)? Sayang, potensi ini belum sepenuhnya termanfaatkan oleh gerak pelayanan gereja. Gerak pelayanan gereja sebagian besar masih terorintasi di selatan yang, katanya, lebih mudah berkembang.

Persoalan kita sekarang adalah bagiamana merubah image tentang kaja yang miskin dan kering menjadi kaja yang potensial. Sehingga gerak gereja juga merupakan gerak yang simetris di antara kaja, kelod, kangin dan kauh. Tidak saja terpusat di salah satu arah mata angin. Tentu tidak mudah untuk melakukannya, tetapi harus berubah.

Dalam konteks kaja dan Bali secara keseluruhan: Kita hanya punya tanah yaitu ibu pertiwi dan laut. Kembalilah kepada tanah dan laut karena ia adalah ibu kita. Sekian tahun kita telah terbuai dengan pariwisata yang sebagain besar dinikmati oleh ‘selatan’, yang sekarang bangkrut dan tidak tahu apa yang yang harus dilakukan. Tetapi sekian tahun ibu yang adalah tanah dan laut kita juga menangis karena tidak dihiraukan sama sekali. Orang sibuk dengan pariwisata dan lupa pada sang ibu yaitu tanah dan laut kita. Kalaupun di ingat maka pemerasan terjadi pada sang ibu. Ia mengalami kehancuran dan sedikit-demi sedikit tubuhnya hancur atas nama pastisida, portas, obat-obatan kimia, limbah rumah tangga (plastik) dan sebagainya. Oleh sebab itu konservasi lahan-lahan kritis dengan pemanfaatan teknologi tepat guna serta pemberdayaan kelautan menjadi sangat penting artinya di utara. Tidakkah ini juga pelayanan gereja?


“Kaja adalah kehidupan yang sakral. Ia ada dan sama pentingnya untuk menjadi arah mata angin kehidupan manusia bersama-sama dengan Kangin, Kauh dan Kelod”.

Ibuku: Bumi yang Menangis

Ibuku: Bumi yang Menangis

Rentetan konflik yang terjadi di bumi pertiwi dan duniamerupakan sebuah hal yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Kebringasan bangsa yang terkenal lemah lembut dan memiliki hati selembut ibu, tiba-tiba sirna seketika ternoda oleh darah dan kebengisan manusia. Krisis ini menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Krisis ekonomi membawa orang pada kesulitan-kesulitan ekonomi. Krisisi politik telah mengahncurkan nilai-nilai keadilan dan kebersamaan untuk membangun bangsa. Krisis sosial telah membawa orang pada susut-sudut primordialisme sempit yang terwujud di dalam penghancuran nilai-nilai kepelbagaian.

Bumiku…ibuku…ia menangis melihat kehancuran akhlak manusia! Kehancuran akhlak itu disebabkan oleh kuasa-kuasan yang berusaha untuk menguasai manusia. Kuasa itu adalah kesombongan, kemunafikan, kebencian, kerakusan, keirihatian, ketidaksetiaan, perselisihan, kebengisan…Bumiku…ibuku…ia menginginkan manusia dibersihkan dari noda-noda kuasa jahat itu. Ruwatan Bumi itulah hal yang penting bagi kita saat ini. Manusia hancur lebur, karena perbuatan manusia itu sendiri. Mereka telah melupakan engkau sebagai ibu. Ibu dari kasih sayang semua bangsa. Ibu kebahagiaan. Mereka telah menghancurkan dirinya sendiri!

Ruwatan adalah sebuah ritus religius bagi usaha untuk membersihkan bumi ini dari kekotoran yang yang ada. Bermula dari sebuah tradisi kuno di Jawa dan Bali yang meruwat orang yang lahir pada Wuku Wayang dan atau pada hari Saniscara, Keliwon, Wuku Wayang alias Tumpek Wayang. Selain itu juga di Jawa ruwatan dilakukanbagi orang yang lahir dengan status ‘untang-anting’ (anak tunggal), kedono-kedini (bersaudara dua laki-perempuan), ‘sendang apit pancoran’ (bersaudara tiga orang yang laki lahir sebagai anak nomor dua),’pandowo limo (lima bersaudara) dan lain-lain. Dalam konteks ini hal yang paling penting adalah bahwa pembersihan dari kuasa-kuasa jahat merupakan hal yang penting dilakukan demi kelanggengan dan kesejahteraan kehidupan. Nilai ritual ini juga mempunyai nilai yang sama di dalam kehidupan setiap agama-agama yang lain. Bahwa bumi merupakan hal yang perlu dijaga kelestariannya dan setiap mahluk yang ada perlu dijaga kebersamaannya adalah suatu kata yang dapat dirumuskan di dalam konsep kasih sebagai sebuah manifestasi universal.

Pada sisi inilah kita dapat mengambil nilai-nilai membersihkan bumi dari kekotoran filosofis sebagai sebuah nilai yang dapat dilantunkan di dalam puji-pujian kepada sang Pencipta. Puji-Pujian adalah sumber inspirasi bagi pemujaan kepada Sang Pencipta karena dia adalah Satu yang senang untuk dipuji dan di sembah. Makna pujian mempunyai arti yang kuat di dalam membersihkan bumi sebagi sebuah rapal-rapal rohani yang membawa orang pada kesadaran kehumanitasan manusia yang rendah dan tak berarti apa-apa di hadapan Sang Pencipta. Dan kesadaran bahwa melalui pujian ini manusia mengakui bahwa ia telah terjebak pada proses dehumanisasi bagi diri dan alam sekitarnya.

Bumi adalah ibuku yang bersih dan tidak tercela. Anak bangsa inilah yang perlu dibersihkan dari kehidupan cemar. Pujilah Dia dan mohon agar kehadiranNya mengilangkan kekotoran yang ada yang menghancurkan bumi. Menghilangkan kekuatan ‘Bhatara Kala’ yang adalah symbol kekuatan yang menghancurkan bagi bumi dan manusia.

“Gereja Suweg”

“Gereja Suweg”: Belajar dari Sekitar Kita!

Suatu waktu penulis sedang berkunjung kepada seorang jemaat yang merupakan pendiri gereja di GKPB Patas (Bpk. Mathias). Dan setelah berbincang-bincang beliau menyuguhkan makanan yang sangat enak: kukusan Suweg! Hanya dengan tambahan kelapa yang diparut dan segelas teh hangat…hmm enak sekali! Mungkin kebanyakan diantara kita belum tahu bagaimana bentuk dan enaknya ‘buah’ ini. Khususnya kebanyakan generasi muda pasti belum tahu salah satu jenis umbi-umbian ini (penulis juga baru tahu koq!). Tetapi yang pasti jenis umbi ini memiliki kekhasannya sendiri. Ia merupakan keluarga dari umbi-umbian dan tumbuh di bawah tanah dengan daun berada diatasnya. Berkhasiat untuk beberapa macam penyakit seperti melancarkan buang air kencing, menghaluskan kulit kaki yang pecah-pecah dan beberapa yang lainnya juga. Yang menarik juga bahwa jenis umbian ini dapat ditanam kembali dengan cara yang unik. Jika buahnya telah kita ambil dan membelahnya menjadi dua maka kita dapat menanam kembali bagian belahan yang satu dengan cara terbalik. Dan hasilnya akan bertambah besar. Begitu seterusnya, diambil ditanam sebagian dan tumbuh bertambah besar! Bahkan kulitnyapun dapat ditanam dan bertumbuh. Meskipun jarang diperhatikan, tetapi ia adalah satu buah yang menarik dan sangat banyak tumbuh (baik ditanam maupun tumbuh sendiri) di sekitar rumah kita.

Teologi Buah Suweg: Sebuah Refleksi Kontekstual!

Munculnya semangat Asia di dalam kehidupan berteologi telah menjadikan teologi kontekstualisasi sebagai bagian yang utuh dalam hidup beriman di Asia. Berteologi di Asia bukan lagi sebagai theology in Asia tetapi menjadikannya sebuah theology of Asia. Dan hal itu sangat membutuhkan pemikiran serta usaha untuk berani merefleksikan diri ke dalam dunia Asia itu secara total. Seperti diketahui bahwa hanya ada dua realitas sosial di jagad kehidupan Asia yaitu pluralitas dan kemikskinan yang merajalela (Pieris, 1995). Sudah menjadi kenyataan dalam konteks Indonesia, pluralitas atau kemajemukan dan kemiskinan merupakan realitas yang tidak bisa dihindari. Dalam dunia seperti inilah kita harus hidup dan mengembangkan hidup berteologi dan beriman kita sebagai orang Kristen. Dalam konteks kemajemukan kita harus menyadari bahwa tologi yang dikembangkan adalah sebuah teologi dialog yang jujur dan bersahaja. Mengapa demikian? Apa yang dikatakan oleh Samuel P.Hutington bahwa dalam era global ini saat ini akan terjadi semacam ‘benturan’ antar peradaban khususnya antara Barat (baca: Kristen) dan non Barat secara khusus Islam, Konfusianisme, Budhisme dan Hinduisme. Banyak orang menganggap tesis ini mengada-ada, tetapi pada kenyataannya jika kita perhatikan konflik mondial yang ada di muka bumi ini dapat di kategorikan dari apa yang dikatakan oleh Samuel P. Hutington.

Terlepas dari usaha untuk melihat sebab musabab dari konflik tersebut, maka hal penting yang harus disadari dan dilakukan adalah bagaimana dialog yang jujur dalam berteologi dan berekspresi demi dan untuk perkembangan bersama di dalam masyarakat majemuk adalah hal yang sangat penting. Hal ini karena dialog hubungan antar agama bukanlah hubungan asimilasi atau hubungan subtitusi, melainkan suatu hubungan yang saling menyuburkan. Dalam dunia yang mejemuk ini tujuan dialog adalah untuk menekankan kesinambungan dalam kedalaman yang dapat ditemukan di antara agama-agama dan komunitas-komunitas” (Panikar, 1981). Dalam kenyataan semacam ini hal-hal yang bersifat eksklusif (tertutup) dalam hidup keagamaan dibuang dan diganti dengan hidup bersama dalam sebuah komunitas yang inklusif (terbuka) yang saling menumbuhkan satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain bahwa konsep Basic Christian Community (Komunitas Basis Kristen) sudah seharusnya dibarengi dengan konsep Basic Human Community (Komunitas Basis Kemanusiaan) sebagai tiang penopang hidup beragama dan bergereja.

Apa yang kita sebut selama ini sebagai Family Church (dan akhir-akhir ini ada konsep lain yang katanya melengkapi: Underground Church) dalam kehidupan beragama di Bali (khususnya untuk GKPB) merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dibahas. Hal itu muncul sebagai sebuah reaksi dari konflik simbol yang terjadi di Bali belakangan ini. Hanya sayangnya konsep-konsep ini belum ter-sistematisasi dengan jelas dan hanya masih berupa wacana lepas, sehingga sulit untuk melacak benang merah dari model familiy church dan underground church ala GKPB. Oleh karena itu mungkin kita perlu tetap setia dengan model berkontekstualisasi dan belajar dari ibu bumi kita sendiri tanpa harus selalu melihat dan mencontoh orang lain. Istilah-istilah itu saja sudah membuat kepala kita pusing apalagi kalau harus menjabarkan sesuatu konsep yang belum jelas keberadaannya.

Idenya memang dapat dimengerti yaitu bahwa dengan model family church diharapkan kita dapat hidup sebagai sebuah keluarga yang hidup bersama di dalam suatu komunitas yang berbeda. Disini sebenarnya sudah nampak sebuah model yang jujur dan bersahaja di dalam kehidupan beragama. Dengan munculnya ide bahwa kita adalah sebuah komunitas keluarga maka diharapkan hidup di dalam kedamaian menjadi kata kunci yang harus diutamakan di dalam percakapan-percakapan lintas kultur dan agama. Tetapi sayang, ide ini kemudian semakin kabur dengan munculnya konsep underground church yang sebenarnya merupakan counter productive dari model family church yang sangat bersahaja.

Mungkin kita harus sedikit kembali melihat kepada sejarah gereja khususnya sejarah gereja di negara-negara komunis. Dalam konteks negara komunis gereja tidak mendapat tempat yang selayaknya sehingga pergerakan gereja menjadi sangat hati-hati dan menjadi sangat terselubung. Kondisi pergerakan gereja yang demikian inilah yang oleh orang komunis disebut dan dicap sebagai underground church. Sejarah gereja sampai saat ini mencatat bahwa yang memberikan nama underground church bukanlah orang-orang Kristen tetapi adalah orang-orang komunis yang anti gereja dan TUHAN. (Lha, sekarang koq malah kita yang mau memberikan nama itu bagi model pengembangan gereja kita?). Catatan lain adalah bahwa konteks gereja-gereja bawah tanah adalah mereka semua berhadapan dengan orang-orang yang anti agama dan tidak percaya kepada Tuhan (komunis). Penggunaan kata ini di kehidupan bergereja di GKPB menjadi sangat ironis karena orang-orang yang ada di sekitar kita adalah orang-orang yang beragama dan sangat meyakini akan kehadiran Tuhan dalam hidupnya dan tidak mustahil bahwa mereka adalah bagian dari saudara-saudara kita toch!. Oleh sebab itu penggunaan istilah ini di dalam pengembangan model dan hidup bergereja di GKPB sebaiknya dipikirkan kembali.

Mengapa kita tidak mengembangkan sebuah teologi dari ibu bumi Bali yang sangat kaya akan keindahan nilai-nilai kulturalnya. Seperti apa yang dikatakan Geertz dalam Negara Teater”- nya: “Bali adalah negara teater yang di dalamnya raja-raja dan pangeran-pangeran adalah impresario-impresario, para pendetanya adalah sutradara dan para petaninya adalah aktor pendukung, penata panggung dan penontonSeremonialisme istana adalah daya gerak dari perpolitikan istana; dan ritual massa bukanlah alat untuk mendukung negara, tetapi negaralah sebagai alat untuk menggelar ritual massa” (Geertz, 2000).

Dari ungkapan itu nampak independensi dari nilai-nilai ritual tanpa harus takut dengan segala macam tetek bengek persoalan-persoalan sosial politis. Dan kuncinya hanya satu : Hidup dalam kesatuan yang jujur dan utuh di tengah-tengah komunitas basis hidup masyarakat. Seperti apa yang dikatakan dalam kritik Marx terhadap kritik agama Feurbach: “kritik surga berubah menjadi kritik dunia, kritik agama menjadi kritik hukum dan kritik teologi menjadi kritik politik (Franz Magnis, 1999). Artinya sangat sederhana: agama menjadi bagian yang jujur dan utuh dalam kehidupan bermasyarakat. Inilah FAMILY CHURCH (dan kata yang paling tepat adalah Menyama Braya): Hidup dalam komunitas basis kehidupan kekristenan tetapi sekaligus juga (bersamaan) hidup di dalam komunitas basis bermasyarakat yang utuh! Bertumbuh bersama, belajar bersama, memperjuangkan nilai-nilai kehidupan kemanusia yang lebih baik secara bersama dan menjadi besar secara bersama, meskipun di dalam kesulitan yang dialami bersama pula.

Seperti buah suweg yang banyak tumbuh di sekitar kehidupan masyarakat Bali, dinikmati oleh setiap orang dari berbagai golongan. Diambil buahnya, dibelah dan sebagian ditanam kembali di tanah ibu bumi Bali dan menyatu dengannya tetapi (anehnya) terus bertumbuh semakin besar, meskipun untuk itu daunnya harus layu terlebih dahulu. Teologia buah Suweg mungkin adalah implementasi nilai-nilai kehidupan keberagamaan Kristen di Bali (baca GKPB) yang apa adanya, sedikit “urakan dan amburadul”, jujur dan mungkin juga sedikit ndeso tetapi…kaya akan makna hidup bersama dalam kebijaksanaan terang Ilahi. Walahualam!

Friday, May 4, 2007

Nasi Jinggo

Nasi Jinggo

Suatu hari saya berjalan dalam malam yang kelam. Berjalan degan perut yang lapar dengan harapan akan mendapatkan warung makan. Tidaklah mudah dalam malam yangkelam mencari sebuah rumahmakan. Ketika lapar semakin melilit perut, saya melihat ada begitu banyak anak muda yang sedang nongkrong di pinggir jalan. Saya berharap inilah akhir dari perjuangan untuk mencari makanan pada malam hari ini. Ternyata benar, inilah jajanan pinggir jalan, NASI JANGGO!

Tadinya saya berpikir, mengapa saya harus makan makanan yang disebut nasi janggo. Tetapi setelah saya duduk dan ada bersama dengan yang lainnya, yang kemudian setelah saya ketahui datang dari berbagai lapisan masyarakat. Ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang tua,para janda dan pelacur kota bahkan seorang pendeta sekalipun. Akhirnya saya mengerti warung pinggir jalan ini adalah warung kebebasan yang dapat di datangi oleh siapapun.

Sesaat saya tak peduli akan setiap pembicaraan yang berlangsung di dalam kumpulan kebebasan itu. Saya lapar dan haus…makan dan minum, setalah itu pulang! Begitulah pikiran saya. Tetapi setelah saya makan ada seorang pemuda yang datang kepada saya dan bertanya, “Anda baru pertama kali ini ya kemari?”. Saya menjawab : “ Hmm..dari mana anda tahu?” . Pemuda itu berkata, “Oh gampang kalau mau tahu orang baru datang ketempat ini. Bisa dilihat dari cara makannya…karena cara makan nasi janggo anda salah. Makan nasi janggo itu harus dicampur semuanya dan kemudian menyantapnya dengan lahap!”. Akhirnya saya mengaku bahwa saya memang baru pertama kali ke warung kebebasan tersebut.

Tetapi apa yang terjadi kemudian, ketika saya hendak pulang, anak muda ini menahan saya supaya jangan pulang dulu. Katanya, “Jangan pulang dulu lah bli…berceritalah tentang apa saja. Karena tempat ini adalah kebebasan”. Kemudian kami bercerita tentang apa saja. Dari masalah sosial, politik, budaya, agama bahkan masalah pribadi. Semua boleh berpendapat, semua boleh menyangga dan tidak setuju, semua boleh mengritik dan boleh tertwa sepuasnya. Semua ada di dalam kesederhanaan kata dan bahasa, semua ada untuk bersama. Semua ada untuk berbagi rasa, tanpa batas social dan ketersinggungan. Warung nasi jinggo adalah warung kebebasan dan nasi janggo adalah simbol kebebasan. Lho mengapa begitu?

Warung nasi janggo adalah sebuah realitas anti kemapanan. Dia ada sebagai sebuah relaita yang menghantam kesombongan rumah-rumah makan yang sudah tidak dapat lagi dijangkau oleh masyarakat biasa yang ada di kota. Rumah-rumah makan itu hanya dapat dijangkau oleh orang-orang kaya yang punya banyak uang dan kalau makanannya tidak enak dapat dibuang dengan seenaknya. Tetapi warungnasijanggo adalah warung kebebasan, siapa boleh datang dan menikmati kesederhanaannya. Hanya dengan nasi segumpal, ikan teri dan sambal ditambah dengan kacang dan kalau mujur ada sedikit be sisit, ah….sedap sekali! Kesederhaan menu dan penampilan warung nasi janggo membawa orang pada nilai-nilai kebersamaan, persatuan, keadilan dan nilai-nilai keobjektifan. Kesederhanaan adalah kata kunci dari sebuah kebebasan. Tanpa kesederhanaan tidak akanmungkin ada kebebasan.

Yesus ada di dalam kesederhanaan-Nya di dunia ini. Ia ada untuk sebuah kebebeasan, yaitu kebebasan bagi dosa manusia! Kesederhanaan-Nya menempatkan diriNya bagi siapa saja. Dia bukan hanya ada untuk orang kota, tetapi juga bagi orang desa, bagi orang miskin, tua-muda, bahkan bagi seorang perempuan yang dianggap berdosa seperti Maria Magdalena. Dan tentunya Dia ada bagi saya dan saudara. Dia ada di dalam kesederhanaanNya. Dan dengan kesederhanaanNya telah membebaskan manusia dari belenggu dosa.

Menjadi gereja yang hidup adalah menjadi gereja yang sederhana, yang ada bagi jemaat dan masyarakat. Siapapun, dalam latar belakang seperti apapun dan untuk siapapun. Itulah pelayanan yang sederhana tetapi memiliki kekuatan yang luar biasa. Seperti Yesus yang sederhana begitu pulalah pelayanan kita sebagai gereja yang hidup.

Gereja Yang Hidup

Gereja Yang Hidup Itu Apa yaa?

Ada sebuah narasi yang menarik untuk dibaca:

Gereja! Kata ini selalu saja ada di telinga kita. Tetapi apakah arti dan hekekat gereja? Si Amin anak Pak Doel penjual kambing lebaran selalu mengatakan, “…gereja itu lho Pak, tempat orang-orang pake jas dan baju yang cantik-cantik dan orang yang banyak uang…dan yang aku selalu dapat sumbangan…”

Tapi dagang jamu di sebelah gereja selalu mengatakan “…bukan, gereja itu punyanya Pak Anu yang selalu minum jamu di sini, dia orang kaya yang tinggal di sebelah timur jalan!”

“Lho, kenken ne…”, jawab si Ketut anak men canang yang biasa jualan canang di pasar Goris, “…gereja itu setahu tiang cuma tempat nongkrong anak-anak pemuda yang saban hari kerjanya megendiiiiing terus…”

“Oh bukaan…gereja itu adalah tempat berkumpulnya orang beriman dan yang menunju pada keselamatan dan terang yang ajaib, bla-bla-bla…” Itu kata Pak Majelis B dari gereja C .

“Yang artinya Pak?” Tanya anak katekisasinya.

Pak majelis menjawab, “eh…eh…eh…ya itu…pokoknya itu saja seperti yang di buku katekisasi yang saya pinjam dari pak pendeta…kalau begitu sebentar saya tanya dulu sama pak pendeta”.

Majelis B tanya sama pendeta D, dan dijawab katanya, ”Memang sudah begitu dan tidak boleh diganggu gugat, itu rumusan resmi dari Heidelberg! Ingat rumusan resmi dari Heidelberg, dari Jerman tau…!

Pak majelis pulang dan mengatakan kepada anak-anak: “Anak-anak itu dari Heidelbereg! Anak-anak melanjutkan dengan koor: “Oooo dari ”Heidelberouug3x” (meski mengucapkannya salah tetapi mereka senang sekali dengan kesalahannya…)


Gereja itu apa ya?

Wajah gereja kacau balau saat itu. Dan mungkin bertambah suram! Sebab tidak ada yang dapat menjelaskan secara tahu pasti apa itu hekekat gereja …mulai dari si Doel sampai dengan pendeta jemaat! Atau mungkin pembaca juga kan? Tidakkah Yesus akan menjadi sedih akan hal itu?

Gereja itu apa ya?

Sebenarnya dia adalah wajah seorang putri kecil yang cantik, yang dititipkan di sebuah keluarga kaya raya, yaitu bumi dan kita saat ini! Wajahnya sangat polos, sederhana, dan sangat rendah hati. Tetapi “orang tua asuhnya”, yaitu kita, semakin lama mendandaninya dengan berbagai hiasan kepentingan, hiasan-hiasan kecongkakan, hiasan-hiasan kerakusan, hiasan-hiasan kemunafikan dan hiasan-hiasan lainnya yang membuat wajahnya semakin tua dari umur yang sebenarnya!

Tetapi syukurlah ‘Orang tua’ kandungnya, yaitu Kristus selalu berpesan: Rendah hatilah agar engkau tetap menjadi gereja yang hidup di tengah bumi yang semakin redup! Meskipun wajahmu telah dirusak oleh manusia, tetapi kalau engkau rendah hati pasti kecantikanmu akan bersinar seperti sang mentari di fajar timur ibunda bumi Bali!

Sederhana saja rupanya: Menjadi gereja yang hidup adalah menjadi gereja yang rendah hati. Jemaat yang rendah hati, majelis yang rendah hati, dan pendeta yang rendah hati, dan tentunya orang Kristen yang rendah hati …seperti Yesus yang rendah hati!

Thursday, May 3, 2007

Desa Pekraman dan Pengaruhnya Terhadap Pluralitas Masyarakat di Bali

Perda Nomor 3 Tahun 2001 (2003) Tentang Desa Pekraman dan Pengaruhnya Terhadap Pluralitas Masyarakat di Bali

A. Bali : Dari Inklusifitas menuju Ekslusifitas

Bali! Kata ini selalu menjadi sebuah kata yang menakjubkan. Sejak zaman Majapahit hingga kini dia tak pernah luntur dengan nilai-nilai keagungannya. Mungkin inilah yang membuat orang selalu terpesona dengan Bali. Bungkusan nilai-nilai budaya dan adat-istiadat bersatu dengan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang dimaknai melalui dogma-dogma religius yang bersifat hinduistik. Perpaduan di antaranya telah menghasilkan sebuah tatanan masyarakat yang unik dengan segala realitas local genius-nya dan kearifannya. Mulai dari tari-tarian, lukisan, ibadah dan para raja hingga persembahan pada Sang Dewa baik di Griya maupun di Pura, semuanya telah menghasilkan realitas yang menakjubkan sebagi sebuah masyarakat yang kemudian diberi nama: BALI.

Sejarah Bali bukanlah sejarah ratusan tahun. Ia telah beradaptasi sebagai sebuah masyarakat sejak ribuan tahun yang lalu. Proses ini tidak saja mematangkan nilai-nilai yang berkembang secara sosial namun lebih dari pada itu telah menghasilkan sebuah identitas yang kuat sejalan dengan perubahan-perubahan yang cepat di dalam masyarakat. Di sana-sini tentu terdapat perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian searah dengan perkembangan zaman, namun esensi dari ke-Bali-an itu tetap menjadi suatu ketakjuban bagi dunia. Itulah sebabnya tidak salah jika semua orang, khususya masyarakat Bali, tetap harus mempertahankan nilai-nilai keluhuran ini sebagai sebuah kekayaan budaya yang tiada taranya. Persoalannya menjadi rumit ketika moderninsasi di segala bidang telah menjadi semacam gejala global yang juga mengenai seluruh aspek kehidupan – khususnya masyarakat Bali. Dalam konteks inilah persoalan budaya, agama dan modernisasi menjadi isu yang selalu aktual di bicarakan di Bali. Tema utamanya adalah bagaimana di tengah-tengah arus modernisasi ini aktualisasi nilai-nilai budaya tetap terjaga dan tertata dengan baik. Persoalan modernisasi yang dimaksudkan di sini adalah munculnya pengaruh-pengaruh dari luar Bali melalui dimensi-dimensi sosial, ekonomi, politik, budaya bahkan agama (khususnya Kristen).

Atas dasar di atas maka saat ini orientasi pemerintahan daerah Bali bersama dengan masyarakat adat adalah menjaga Bali agara tetap kokoh berdiri dengan tetap menjaga nilai-nilai kebudayaan yang dianggap luhur dengan segala adat – istiadat yang dimilikinya. Isu otonomi daerah, pada sisi lain telah menjadi salah satu variable yang menguatkan orientasi tersebut. Keluarnya Perda No. 3 Tahun 2001 – yang kemudian disempurnakan menjadi Perda No. 3 Tahun 2003 - mengenai Desa Pekraman yang saat ini telah ‘menjadi dasar’ bagi menguatnya kembali gerakan-gerakan fundamentalisme kebudayaan dan agama (baca Hindu) di Bali yang dengan mudah mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dalam segala bidang. Dalam bidang ekonomi ditandai dengan munculnya konsep Koprasi Krama Bali yang bertujuan untuk menjadi kompetitor di bidang ekonomi kecil dan menengah yang selama ini dikuasai oleh pendatang. Gerakan ini secara langsung memberikan bantuan modal bagi pengusaha kecil di Bali dan membina pengusaha-pengusaha tersebut untuk bisa menyaingi usaha-usaha yang banyak dilakukan oleh para pendatang (Jawa). Misalnya dengan memberikan pembinaan dan modal untuk bersaing dalam usaha dagang bakso, sate, potong rambut, dll (bakso, sate, potong rambut Krama Bali – identitas perlawanan terhadap bakso Muslim, Bakso Jawa, potong rambut Madura, dll). Pada sisi lain munculnya gerakan anti kebudayaan luar atas nama Ajeg Bali juga semakin memperparah kondisi sosial kemasyarakatan. Hal ini secara langsung berkaitan erat dengan persoalan keagamaan khususnya Islam dan Kristen. Tentu hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa agama Islam dan Kristen tidak berasal dari Bali. Oleh sebab itu gerakan ini telah menjadi semacam alat bagi munculnya sentimen anti masyarakat pendatang.
Situasi semacam ini secara perlahan telah menempatkan Bali sebagai sebuah kantong ekskluif bagi persoalan multikultural. Padahal sejarah ke Bali-an adalah sejarah multikultur. Secara historis hal ini ditandai dengan hadirnya masyarakat Islam Bali sejak tahun 1800-an di pesisir pantai Barat (Jembrana), Utara (Buleleng), Timur (Karangasem) dan di Selatan (Denpasar). Secara khusus di daerah Gitgit terdapat kampung Islam Bali (orang Bali yang telah menjadi Islam dengan nama-nama tetap menggunakan Wayan, Made, dll). Relasi antara Hindu dan Islam telah menciptakan simbol-simbol yang kuat secara kultural dan agama. Begitu juga sejarah Kekeristenan telah menjadi bagian yang kuat dalam konteks ke Balian. Sejarah orang Kristen Bali telah menjadi tanda bahwa Bali bukanlah suatu daerah yang homogen seperti yang selama ini banyak dipahami.

B. Perda No. 3 Tahun 2001 (2003) tentang Desa Pekraman
1. Proses Legislasi
Persoalan Desa Adat di Bali sebelumnya memang telah diberi payung hukum pada Perda No. 06 tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Namun demikian menurut Pansus Ranperda Desa Pekraman keberadaan Perda tersebut perlu disempurnakan. Hal ini terkait dengan eksistensi masyarakat Bali yang dahulunya bersifat homogen kini melalui berbagai proses cenderung menjadi semakin heterogen. Demikian juga perubahan corak masyarakat agraris yang dahulu sangat kental kini berubah menuju masyarakat industri dan jasa yang bersifat sangat dinamis. Hal ini tentu mengakibatkan perubahan-perubahan secara sosio-kultural maupun sosio-religius dari konteks yang sangat komunal menjadi sangat individualistik dan materialistik. Kondisi semacam ini tentu akan berpengaruh terhadap eksistensi desa adat khususnya dalam konflik-konflik yang bernuansa adat di Bali[1]. Persoalan heterogenitas dan perubahan-perubahan sosio-kultural dan sosio-religius di Bali inilah sebagai salah satu pendorong munculnya usaha untuk menyempurnakan Perda No.06 Tahun 1986 yang dinilai akan sulit menjawab persoalan-persoalan adat pada saat ini. Hal ini karena Perda 06 tahun 1985 masih berorientasi pada konteks ke-Balian yang cenderung bersifat homogen[2]. Selain itu juga konsep pembaharuan terhadap Perda No.06 tahun 1985 tersebut didasarkan pada diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 dan Permendagri No.3 Tahun 1977 yang berisi tentang pemberdayaan dan pelestarian dan pengembangan adat istiadat – kebijasaan masyarakat dan lembaga adat daerah.
Selanjutnya bahwa tujuan utama dari keluarnya Perda No.3 Tahun 2001 / 2003 adalah dengan mengingat adanya beberapa hal yang perlu disempurnakan khususnya menyangkut masalah kekuasaan Desa Pekraman sejalan dengan semangat UU No. 22 Tahun 1999. Penyempurnaan itu secara khusus berkaitan dengan tugas dan kewenangan lingkup kekuasaan Pemerintahan Desa Pekraman yang meliputi[3]:

a. Kekuasaan untuk menetapkan aturan-aturan yang mengikat seluruh warganya, guna menjaga kehidupan organisasi secara tertib dan tentram. Kekuasaan ini diselenggarakan bersama dan disepakati dalam rapat desa (paruman/sankepan), seperti upaya menjaga ketertiban masyarakat. Mewujudkan hubungan yang harmonis antar sesama warga dengan lingkungan alam dan dengan Tuhan yang Maha Esa, sebagai perwujudan ajaran Tri Hita Karana.

b. Kekuasaan untuk meneyelenggarakan kehidupan organisasi yang bersifat keagamaan, sosial
budaya dan ekonomi, seperti membina dan mengembangkan nilai-nilai agama Hindu, mengembangkan kebudayaan, memelihara dan melestarikan adat istiadat yang hidup dan bermanfaat untuk pembangunan bangsa, mengembangkan ekonomi kerakyatan, memelihara kelestarian Kahyangan Tiga.

c. Kekuasaan untuk menyelesaikan sengketa, kasus atau konflik karena berbagai hal seperti kepentingan yang bertentangan, tindakan yang menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan, perbuatan yang mengganggu ketertiban warga dan lain-lain, yang umumnya ditempuh melalui perdamaian maupun sanksi adat yang pada umumnya bersifat mendidik.d. Kekuasaan untuk menjaga keamanan dalam wilayah pelemahan desa pekraman, mewujudkan pertahanan dan keamanan bersama dalam menghadapi kondisi tertentu. Secara keorganisasian disebut Pecalang.

2. Produk Politik
Sebagai sebuah produk kebijakan publik maka Perda Desa Pekraman ini tidak bisa dilepaskan dari persoalan politik. Tidak dapat disangkal bahwa dengan Perda ini maka kekuatan politik Desa Pekraman menjadi kuat. Hal ini secara positif dapat dilihat sebagai usaha penataan di dalam kehidupan kemasyarakatan di Bali. Panataan keberadaan Desa Pekraman melalui Perda ini telah memberikan Payung hukum bagi keberadaan Desa Pekraman di Bali sejajar dengan keberadaan Desa Dinas. Persoalannya adalah bahwa posisi politis yang semacam ini telah memberikan kedudukan Desa adat memiliki kekuatan secara politis. Kondisi semacam ini – dalam prakteknya – telah menyebabkan politisasi terhadap Desa Pekraman ini menjadi sangat kuat. Kedudukan yang kuat secara hukum dan politik menyebabkan kepemimpinan di Desa Pekraman saat ini juga tidak bisa dilepaskan dari kepentingan-kepentingan politik yang ada. Kebijakan-kebijakan yang dibuat di dalam konteks Desa Pekraman sering terlihat bersifat politis dari pada kepentingan adat itu sendiri.

3. Bias Sosial - Agama
Perda ini secara materi normatif terlihat tidak memiliki dimensi bias agama. Hal ini dapat dilihat dalam pasal-pasal yang ada sama sekali tidak membahas mengenai agama. Namun justru persoalannya adalah bahwa memahami ke-Balian adalah memahamai persoalan adat dan budaya yang sekaligus adalah agama itu sendiri. Dalam hal ini agama Hindu. Sejak awal dalam pasal-pasalnya telah ditegaskan bahwa Desa Pekraman adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli, hak asal-usul yang bersifat istimewa bersumber dari pada Hindu, kebudayaan Bali, berdasarkan Tri Hita Karana, mempunyai Kahyangan (lihat pejelasan umum angka 4 -lampiran). Oleh sebab itu sudah dapat dipastikan bahwa Perda ini tidak mengatur bagi keberadaan masyarakat non Hindu. Persoalannya adalah bagaimana kedudukan masyarakat non Hindu dalam konteks Desa Pekraman? Hal ini memang telah diatur dalam pasal 3 angka 6 yang menyatakan bahwa krama desa / krama banjar Pekraman yang bukan beragama Hindu hanya mempunyai ikatan pawongan dan palemahan di dalam wilayah desa Pekraman yang hak dan kewajibannya diatur dalam awig-awig desa Pekraman masing-masing. Hal ini jelas karena yang berkaitan dengan parhyangan (bagian yang berkaitan dengan keagamaan) dianggap telah dimilki oleh masyarakat non Hindu tersebut (misalnya gereja, mesjid, Wihara dll). Dalam konteks ini tidak menjadi sebuah persoalan. Hal yang menjadi persoalan adalah bahwa sejak awal Perda ini merupakan Perda yang mengatur tentang persoalan adat atau Desa Pekraman dimana kebijakan-kebijakan ini mengatur sepenuhnya mengenai persoalan adat dan kebudayaan di Bali. Pertanyaanya tentu adalah siapakah masyarakat non Hindu tersebut? Masyarakat non Hindu dalam hal ini dianggap adalah masyarakat yang bukan berasal dari Bali. Atau dengan kata lain dapat dikatakan sebagai pendatang. Dalam konteks ini jelas bahwa Perda ini telah mengaturnya dengan baik. Namun bagaimanakah dengan masyarakat Bali non Hindu misalnya orang Bali Kristen atau orang Bali Islam. Seperti diketahui bahwa esksitensi masyarakat Bali non Hindu ini telah ada sejak puluhan dan ratusan tahun di Bali dan hidup berdasarkan nilai-nilai ke-Balian yang sangat khas. Nama-nama seperti Wayan Immanuel, Ketut Suyaga Ayub, Pdt. Ida Bagus Kemenuh, Nyoman Islami, Ni Ketut Jubaedah, bukanlah nama-nama asing di kalangan masyarakat Bali non Hindu. Adanya Desa Bali Kristen seperti Blimbingsari, Ambyarsari dan desa Bali Islam di Pegayaman Buleleng, menunjukan dengan jelas bahwa esksistensi masyarakat Bali non Hindu merupakan satu hal yang tidak dapat disangkal.
Seperti sudah dikatakan di atas memang dalam tahapan tertentu – khususnya di dalam Palemahan dan Pawongan eksistensi masyarakat non Bali dan orang Bali non Hindu tetap diakui. Namun demikian harus dipahami bahwa masyarakat Bali non Hindu adalah sebuah masyarakat yang hidup di dalam kebiasaan serta adat istiadat Bali meskipun tidak lagi menganut agama Hindu. Esksistensi masyarakat Bali non Hindu adalah orang Bali. Dalam hal ini apakah mereka dianggap sebagai masyarakat Bali ataukah hanya sebagai pendatang atau krama tamiu (tamu atau pendatang). Kalau dianggap sebagai pendatang, tentu menjadi sesuatu yang agak naïf karena mereka adalah orang-orang Bali asli yang hanya berbeda agama. Meskipun eksistensi mereka telah diatur didalam pawongan dan palemahan, itu artinya kedudukan warga desa yang berasal dari Bali tetapi non Hindu hanya terbatas pada kegiatan informal di dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Mereka tidak dapat terlibat secara formal karena memang sejak semula Perda ini hanya mengatur tatatan ke-Balian yang didasarkan pada nilai-nilai ke-Hinduan. Secara praktis dapat dikatakan bahwa orang non Hindu – baik orang Bali maupun bukan orang Bali – tidak mungkin berada dalam struktur-struktur formal di Desa Pekraman. Tentu alasan utamanya adalah karena Desa Pekraman hanya mengatur bagi kehidupan masyarakat Hindu Bali. Namun di sinilah persoalannya bahwa pengaruh yang paling kuat dari Perda ini adalah semakin dikotomisnya hubungan antara masyarakat Bali dan masyarakat non Bali termasuk orang Bali non Hindu. Jika dahulu dikenal adanya nyama Selam (saudara yang beragama Islam) atau nyama Srani / Kristen (saudara yang beragama Kristen), maka saat ini istilah ini semakin pudar karena kategori yang dipakai adalah masyarakat non Hindu atau krama tamiu. Hal yang paling berdampak dari munculnya Perda ini secara sosiologis adalah semakin ‘tidak diakuinya’ eksistensi masyarakat Bali non Hindu di tengah-tengah masyarakat Bali. Konsep Menyama Braya (persaudaraan) yang selama ini kuat di Bali telah mengalami pergeseran ke arah yang bersifat dikotomis penduduk asli - tidak asli, Bali – bukan Bali, Hindu – non Hindu, pendatang – masyarat asli, krama Bali – krama tamiu, dll.
Konteks semacam ini secara sosiologis berdampak pada banyak hal. Munculnya sentimen-sentimen anti masyarakat non Bali terlihat dalam beberapa aktifitas kemasyarakatan. Misalnya pasca bom Bali I dan II sentimen terhadap masayarakat Islam semakin kuat. Razia-razia kependudukan yang dilakukan lebih bersifat rasialis-agamis dari pada bersifat administratif kependudukan. Pencegahan masuknya pendatang dari Jawa dan Lombok dilakukan dengan pemeriksaan yang super ketat melalui pengecekan KTP dan pemeriksaan-pemeriksaan lainnya. Dalam batas-bata tertentu hal ini dapat dipahami dalam konteks pencegahan dan keamanan.
Pada sisi lain munculnya konflik simbol di Bali beberapa tahun belakangan ini telah memberikan indikasi yang jelas bahwa terjadi korelasi yang signifikan antara meningkatnya eksklusifitas ke-Hinduan – sebagai dampak dari munculnya kekuatan hukum melalui Perda Desa Pekraman – terhadap simbol-simbol yang digunakan oleh masyarakat non Hindu. Misalnya dalam beberapa tahun terakhir ini masyarakat non Hindu, khususnya Kristen tidak dibenarkan menggunakan nama-nama lembaga dengan istilah yang digunakan di dalam ke-Hinduan. Misalnya nama sekolah Kristen milik GKPB yang sebelumnya bernama Sekolah Widhya Pura telah diganti saat ini dengan nama Sekolah Harapan. Sekolah Katolik yang sebelumnya bernama Sekolah Swastiastu telah diganti saat ini dengan nama Sekolah St. Yoseph. Begitu juga pada beberapa tahun terakhir ini ada diskusi yang kuat mengenai usaha untuk mengganti kata Sang Hyang Widhi Wasa untuk menyebut Allah yang Esa di dalam Alkitab bahasa Bali dan sebutan untuk Allah dalam bahasa ibadah Kristen. Persoalan ini muncul karena kata ini dipahami sebagai kata yang berasal dari bahasa Sansekerta yang notabene adalah bahasa yang digunakan oleh umat Hindu. Sehingga kata ini tidak bisa digunakan oleh orang atau agama lain selain Hindu. Meskipun hingga saat ini kata Sang Hyang Widhi Wasa tidak diganti – karena memang memiliki sejarahnya tersendiri bagi umat Kristen – tetapi isu ini telah menunjukan adanya indikasi munculnya ekslusifitas keagamaan – dan dengan demikian juga adat - di dalam memahami konteks ke-Balian saat ini.
Selain itu, masih dalam konteks simbol, bangunan-bangunan yang sejak awal dilihat sebagai proses kontekstualisasi di Bali saat ini mendapatkan perhatiannya yang cukup serius. Bangunan-bangunan seperti Gereja diharapkan tidak lagi menggunakan model atau gaya Bali. Hal ini dianggap meniru dan menjebak masyarakat Bali untuk datang ke gereja yang sejak awal memiliki gaya seperti layaknya sebuah Pura. Perda No.5 Tahun 2005 mengenai persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung menunjukan dengan jelas bahwa simbol-simbol yang digunakan untuk bangunan di Bali seharusnya ditempatkan pada tempat yang semestinya atau sesuai degan norma keagamaan (Pasal 20 angka 1). Pertanyaannya tentu adalah agama mana yang menjadi norma dalam menempatkan simbol-simbol tersebut. Tentu jawabannya adalah norma yang terdapat di dalam agama Hindu. Konsekuensi dari hal tersebut adalah tidak terdapatnya ruang ruang bagi agama lain untuk menempatkan simbol-simbol yang bernuansa ke-Balian dalam rumah ibadahnya. Hal ini karena simbol-simbol tersebut dianggap bernuansa ke-Hinduan atau ke-Bali-an. Hal ini menjadi persoalan manakala diperhadapkan dengan model gereja – khususnya di Gereja Kristen Protestan di Bali – yang nota bene dan sejak lama telah menggumuli proses kontekstualisasi dengan penerapan simbol-simbol yang digunakan di dalam kehidupan beriman dari umat Kristen Bali. Proses kontekstualisasi ini dilakukan tidak saja sebagai sebuah usaha menciptakan proses bangunan secaa fisik tetapi lebih pada pemahaman hidup beriman secara kontekstualisasi sebagai orang Bali Kristen. Persoalan yang terpenting adalah simbol yang mana yang tidak boleh digunakan dan mana yang boleh digunakan - dalam hal ini kedua agama ini belum dapat memberikan jawaban yang pasti mengenai hal tersebut. Namun dengan munculnya Perda mengenai arsitektur bangunan ini maka bentuk-bentuk bangunan rumah ibadah (khusunya rumah ibadah Kristen) di Bali sedikit banyak saat ini telah mengalami pergeseran ke arah yang tidak lagi memiliki nuansa yang kental dengan unsur-unsur ke-Balian. Bahkan cendrung tidak menggunakan bentuk bangunan Bali. Kalaupun masih terdapat hal ini sangat dipertimbangkan agar tidak membuat kerisauan dari umat Hindu di Bali.
Konsekuensi dari pergeseran terhadap simbol-simbol ini memiliki dampak sosio-psikologis bagi umat Kristen secara khusus yaitu semakin merasa bahwa mereka bukanlah bagian dari masyarakat Bali. Dan dampak yang paling parah adalah semakin pudarnya nilai-nilai ke-Balian yang dimiliki oleh generasi-generasi muda Kristen Bali. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya anak-anak Kristen Bali yang tidak lagi mampu berbahasa Bali dengan baik, kurangnya kemampuan menari, bermain musik Bali / gong, mekidung Bali (menyanyi), dsb. Hal ini semua merupakan dampak dari dikotomis yang terjadi secara kuat dan sebagai dampak dari kebijakan pemerintah daerah terhadap tatanan kemasyarakatan di Bali.

C. Kesimpulan

1. Bali dan Identitas Masa Depan
Dari uraian di dalam penelitian ini nampak dengan jelas bahwa identitas ke-Balian mengalami sebuah persoalan ketika berhadapan dengan proses modernisasi. Wacana mengenai budaya dan modernisasi telah menjadi bagian yang paling sulit ketika berhadapan dengan berbagai persoalan yang saat ini sedang dihadapi di Bali. Secara khusus ketika identitas untuk kembali kepada Bali sebagai bayangan tentang masa lalu yang indah, harmoni, berbudaya, tanpa gesekan, dan mengandung nilai-nilai magis yang kuat. Identitas yang demikian kemudian menjadi persoalan ketika dihadapkan pada pertanyaan apakah mungkin identitas yang demikian tersebut dapat diraih kembali oleh Bali. Pertanyaan inilah yang kemudian hendak dijawab melalui berbagai konsep dan kebijakan yang salah satunya adalah diwujudkan melalui Perda desa Pekraman dan konsep Ajeg Bali yang saat ini menjadi wacana utama di Bali. Pergulatan antara mazhab identitas Bali sebagai bayangan indah dan identitas Bali yang menghargai pluralitas dengan segala macam persoalannya terus bergulir saat ini. Tetapi yang pasti bahwa identitas Bali di masa depan adalah sebuah identitas yang tidak dapat dipungkiri telah mengalami perkembangan yang bersifat pluralistik dan multikulturalistik. Akan tetapi sebaliknya melalui Perda tentang Desa Pekraman ini arah dan identitas Bali justru akan semakin menuju kepada identitas yang cenderung bersifat ‘monolitik’ dan tentunya sangat rentan terhadap konflik SARA. Kondisi ini sebenarnya telah terjadi di dalam beberapa kasus-kasus SARA seperti yang dituangkan dalam penelitian ini khususnya mengenai konflik SARA yang terjadi di daerah Katung berupa pembakaran Gereja – yang jika ditelusuri akar permasalahannya berkaitan dengan persoalan identitas orang Bali Hindu berhadapan dengan identitas orang Bali Kristen. Kondisi konflik semacam ini akhir-akhir ini dapat terjadi setiap saat dengan dilegitimasikan melalui kekuatan yang ada di dalam Perda mengenai Desa Pekraman ini.

2. Perda No. 3 Tahun 2003: Memacu Kekuatan Lokalitas yang Ekslusif
Sejak awal dikatakan bahwa Perda ini sama sekali tidak bermaksud untuk mewujudkan Bali sebagai sebuah daerah yang menghendaki agama Hindu sebagai dasar bagi kehidupan bermasyarakat. Sejarah pemerintahan Indonesia dengan tujuan negara sebagai kesatuan telah memberikan tatanan yang kuat mengenai sistem pemerintahan modern yan harus dibangun di setiap derah atau propinsi di Indonesia. Oleh karenanya tatanan pemerintahan modern ini sekaligus menjadi acuan bagi kehidupan masyarakat yang terdiri dari beragam etnik, agama dan budaya. Namun demikian pemerintah tetap mengakui adanya tatanan pemerintahan tradisional seperti yang ada di beberapa daerah – khususnya Bali. Namun demikian persoalan yang muncul adalah ketika Perda ini berada dalam tahapan implementasi maka terjadi bias-bias baik di dalam pemahamannya maupun di dalam pelaksanaannya. Hal ini terkait erat dengan berbagai faktor. Dalam konteks Bali faktor-faktor eksternal seperti Bom Bali I dan II, wacana identitas, otonomi daerah, geresekan-gesekan atau konflik adat, agama, telah memberikan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk membicarakan secara lebih luas dan membuat kebijakan yang berkaitan dengan hal tersebut. Perda No.3 Tahun 2003 merupakan salah satu produk yang dipahami atas dasar faktor-faktor itu. Atas dasar ini maka jargon-jargon yang dikembangkan didalam implementasi kebijakan ini lebih pada nuansa penguatan akan nilai-nilai lokal yang diasumsikan telah mengalami keretakan-keretakan dan yang dianggap akan menghancurkan nilai-nilai ke-Balian. Namun sayangnya – dalam konteks implementasi - Perda ini justru telah menjerumuskan masyarakat Bali dalam dikotomi-dikotomi yang semakin kuat atas.nama krama tamiu - krama Bali, Jawa – Bali, dan sebagainya. Hal ini terjadi sebagai akibat menguatnya dimensi lokalitas yang telah dikukuhkan secara formal dan pada akhirnya cenderung bersifat membentuk masyarakat lokal yang bersifat eksklusif. Ekslusifitas tersebut tidak dapat disangkal –pada akhirnya – dapat menghasilkan konflik yang semaki kuat diantara masyarakat Bali dan masyarakat pendatang yang memiliki latar belakang baik etnis maupun agama yang berbeda. Dengan kata lain situasi di Bali saat ini dengan adanya Perda ini sebenarya berada dalam sebuah kondisi seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat terjadi konflik yang bernuansa SARA. Jika ini terjadi maka tujuan yang hendak dicapai melalui Perda ini dan dengan segala konsep lokal yang didengungkan – seperti Ajeg Bali - akan mengalami kegagalan. Ke depan harus dipahami bahwa membangun Bali adalah membangun Bali adalah membangun sebuah masyarakat Bali yang berdimensi pluralistik dan multikulturalistik.

[1] Wawancara dengan I Made Wirya,anggota DPRD Propinsi Tk. I Bali, salah satu perumus Raperda Desa Pekrman.
[2] Laporan Pansus Ranperda Desa Pekraman dalam Risalah Resmi Rapat Paripurna ke-3 masa Persidangan II DPRD Propinsi Bali, 4 September 2000, h. 18.
[3] Ibid, h. 20.

Tuesday, May 1, 2007

“Perempuan Oh Perempuan”

“Perempuan Oh Perempuan”

(Refleksi Atas Tafsir Ideologis Matius 15: 21-28)

* Perempuan! Ia sering dianggap seorang yang tak berarti. Dalam tradisi dimana laki-laki menjadi sangat dominan, seorang perempuan seperti dia bukanlah apa-apa. Hanya seorang perempuan, dengan harapan dan angan-angan. Haknya sering di tiadakan, kemampuannya sering diabaikan, bahkan hidupnya tercampakkan.

Perempuan…ia sering dianggap tak berarti!

* Kanaan! Ia adalah negri tak bertuan. Sebuah perselingkuhan budaya dan peradaban yang menghasilkan kemurkaan. Ia hanya remah-remah tak berharga dan teraniaya, yang jatuh ke tanah dan dimakan oleh anjing-anjing lapar dan dahaga. Padanya segala sesuatu dianggap berdosa, tak berarti dan hampa. Kenajisan adalah buah hidupnya, kemurkaan adalah bagian nafasnya. Orang berkata, “di Kanaan kutuk adalah takdirnya”.

Kanaan! Ia negri tak bertuan, tak berarti dan dianggap tiada.

* Perempuan Kanaan! Ia adalah seorang najis yang tak berarti apa-apa. Sangat hina dan dianggap tak berguna. Tersesat dalam keangkuhan laki-laki dan cemooh manusia yang menganggap dirinya sejati. Perempuan Kanaan adalah sosok kematian tanpa makna. Hidupnya adalah kematian masa lalu, kini dan sepanjang masa! Lahir, hidup dan mati hanyalah seperti angin yang tidak pernah bertujuan, menghembus sepoi tetapi terasa panas. Panas, karena api yang selalu membakar sang jiwa perempuan dengan keangkuhan: Keangkuhan laki-laki, keangkuhan peradaban, keangkuhan budaya, keangkuhan dunia dan jagat raya.


* Perempuan Kanaan, tetapi ia mempunyai iman! Iman akan kuasa kebenaran yang mengalahkan kemunafikan peradaban, keangkuhan budaya, dan kebiadaban moral tradisi patriakal! Ia mempunyai semangat kehidupan dan tanpa takut keluar dari kesesatan dan kesombongan budaya laki-laki yang sudah dianggap sebagai budaya Ilahi. Ia mempunyai iman yang mengalahkan dunia: dunia yang menganggap perempuan tak berdaya. Ia mempunyai iman yang mengalahkan dunia: dunia yang menganggap keselamatan hanya milik kita saja.


* Perempuan Kanaan, ia adalah sosok perempuan masa depan! Mampu mengatasi kekerasan dengan kelembutan, mengatasi kemunafikan dengan kebenaran, mengatasi keangkuhan dengan kerendahan hati, mengatasi keinginan dengan kesabaran, mengatasi cercaan dengan senyuman, mengatasi tangisan tanpa air mata dan mengatasi seluruh kesulitan dengan Cahaya Keuripan-Cahaya Kristus-Dian Kristawati.


* Hai Ibu, besar imanmu,maka jadilah kepadamu seperti yang kau kehendaki”!

* Hai perempuan masa kini dan masa depan: besar imanmu, jadilah seperti yang kau kehendaki, atas persamaan hak mu, hidup keluargamu, hidup suami dan anak-anakmu dan hidup keluarga gereja Tuhan di sini dan sepanjang masa!

Wasalam, dari negri seribu pura!

Dialog Keagamaan yang Multikultural

Dialog Keagamaan yang Multikultural
(Usaha Membangun Kembali Dialog Keagamaan dan Perdamaian)

Subaltern: Refleksi dan Relasinya dalam Persoalan Hubungan Antar agama

Persoalan subaltern sebagai anak kandung kolonialisme telah menciptakan sebuah ‘kawasan sosial’ dalam lingkup kehidupan masyarakat bangsa. Kawasan itu adalah munculnya enclave masyarakat elit dan masyarakat bawah. Ranajit Guha mencatat bahwa heterogenitas masyarakat elit – khususnya dalam konteks India – terwujud dalam kelompok-kelompok pejabat, misionaris dan para industrialis kolonialis dan para subaltern terwujud dalam konteks kelompok-kelompok indigenous yang mayoritas berkerja dalam tingkat regional dan lokal. Dalam perjalanan sosial selanjutnya konflik di antara kedua kelompok ini adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindarkan berdasarkan kepentingan kelas. Kelompok elit berusaha untuk mempertahankan ‘tatatan kolonialisme’ dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia dari kelompok subaltern dan sebaliknya kelompok subaltern berusaha untuk melakukan resistensi langsung dalam kerangka menciptakan kesejajaran dalam kedudukan sosial dan kemasyarakatan yang selama ini tertundukan.

Dimensi ‘pemberontakan’ yang dibangun oleh kelompok subaltern dalam kerangka menciptakan ‘suara kaum marginal’ cenderung dilihat dari kaca mata elit dalam stigma pemberontak, kelompok ekstrim, kelompok kiri dan sebagainya. Dalam konteks pemahaman yang demikian inilah kemudian – biasanya - pendekatan yang dilakukan penguasa adalah dengan melakukan tindakan ketertiban dan keamanan.

Apa yang terjadi dalam konteks Indonesia – khususnya dalam konteks Orde Baru – dapat dilihat dalam kerangka pemahaman yang demikian. Konsep pembangunan yang merupakan tujuan nasional dilihat sebagai tuan yag mempekerjakan budak-budak. Budak-budak ini harus mengikuti apa yang dikatakan sang tuan meskipun perkataaan itu telah menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan dari budak tersebut. Pelanggaran terhadap ‘perkataan’ sang tuan adalah tindakan pemberontakan yang harus ditertibkan dan diamankan demi terciptanya stabilitas nasional. Posisi masyarakat adalah sebuah posisi yang marginal (subaltern) yang merupakan sumber eksploitasi kepentingan negara atas nama pembangunan. Pertanyaannya dimanakah peran agama dan kaum agawan pada waktu itu?

Tidak dapat disangkal bahwa agama (dan kaum agamawan), seperti yang dikatakan Guha, cenderung menempatkan dirinya sebagai kaum elit. Hal ini karena agama dianggap mampu menciptakan stabilitas nasional secara memadai. Namun secara tidak disadari bahwa agama dan kaum agamawan telah menciptakan pada dirinya sendiri sebuah enclave baru yaitu sebagai kaum elitis. Tafsir agama kemudian menjadi sebuah tafsir demi dan atas nama kepentingan negara dari pada kepentingan Tuhan. Hal ini dapat dilihat dengan munculnya mainstream-mainstream utama keagamaan yang dianggap sebagai yang benar. Munculnya ‘agama’ yang ada di luar mainstream agama tersebut dianggap sebagai yang bukan agama tetapi hanya sebagai aliran kepercayaan. Dalam konteks masyarakat beragama di Indonesia pemahaman yang demikian kemudian menciptakan stigma adanya agama yang diakui pemerintah dan agama yang tidak diakui pemerintah. Pertanyaannya adalah apakah ada relevansi antara agama yang diakui pemerintah dalam hubungannya dengan agama yang diakui Tuhan? Apakah agama yang diakui pemerintah adalah agama yang benar dimata Tuhan? Atau orang yang mengikuti agama yang diakui pemerintah akan selamat sedangkan orang yang tidak mengikuti agama yang diakui pemerintah tidak selamat? Pandangan semacam ini sebenarnya sudah harus dirubah karena merupakan sebuah warisan kolonialistik. Hal ini karena dengan konstruksi pemahaman yang demikian maka agama-agama yang disebut sebagai ‘agama mainstream’ telah menjadi kelompok elit yang justru menindas kepentingan agama-agama lokal. Dalam hal ini – mengacu pada teori subaltern – hubungan agama-agama pada akhirnya telah menjadi hubungan yang formal dan struktural dimana kekuasaan (pemerintah) telah menciptakan adanya agama resmi dan agama tidak resmi dan pada sisi lain agama resmi telah menjadikan agama tidak resmi tersebut sebagai sesuatu yang bukan agama.

Dalam perkembangan selanjutnya persoalan agama resmi ini juga menjadi persoalan tersendiri. Dimensi mayoritas dan minoritas yang secara eksplisit tidak diakui tetapi secara statistik selalu menjadi sebuah acuan telah menciptakan garis-garis psikologis di antara agama yang banyak pemeluknya dan agama yang sedikit pemeluknya – secara nasional Islam sebagai representasi mayoritas dan agama lainnya sebagai minoritas. Persoalannya menjadi rumit ketika garis-garis psikologi ini memasuki ruang-ruang politik kebijakan negara dimana tema mayoritas dan minoritas sempat terungkap. Sejarah Indonesia merdeka mencatat bahwa benturan kepentingan mayoritas dan minoritas telah menjadi sumber konflik sejak para founding father/mother merumuskan UUD 1945 hingga saat ini. Hal yang menarik adalah bahwa tema mayoritas dan minoritas ini selalu tidak diakui dalam konteks ke-Indonesiaan namun demikian dalam prakateknya selalu manjadi acuan dalam pembuatan kebijakan. Pemahaman yang demikian saat ini semakin nampak dalam konteks otonomi daerah dimana kepentingan mayoritas adalah hal yang utama bahkan cenderung menghegemoni kaum minoritas. Indikator mayoritas dan minoritas dalam persoalan otonomi daerah biasanya yang utama didasarkan pada etnik dan agama. Dalam konteks semacam ini lagi dijumpai sebuah komposisi elit dan subaltern atas nama mayoritas dan minoritas (etnik maupun agama).

Dialog Agama: Pendekatan Multikultural

Dialog agama-agama dalam pendekatan multikultural merupakan sebuah tawaran bagi pencarian kembali identitas keagamaan dan perdamaian di Indonesia. Hal ini tentu didasarkan pada pemahaman bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang bersifat permanen. Ia merupakan sebuah kontrak sosial yang senantiasa dapat selalu diberi pemaknaan yang baru melalui perjumpaan yang terjadi dengan kebudayaan yang berbeda. Proses perjumpaan ini akhirnya menghasilkan sebuah produk hibriditas yang juga senantiasa dipahami sebagai anak kandung kebudayaan. Oleh sebab itu yang diperlukan adalah keterbukaan terhadap proses hibridasi dan bukan ketertutupan. Demikian juga halnya dalam konteks dialog agama dalam mewujudkan perdamaian maka proses hibridasi adalah bagian dari kehidupan keagamaan yang senantiasa menjadikan agama ‘selalu memiliki makna baru” dalam pemahamannya. Dalam konteks dialog agama-agama di Indonesia yang sekian waktu lalu telah ‘terjerumus di dalam dosa’ pada kepentingan kekuasaan, maka beberapa hal yang perlu dielaborasi sebagai wacana membangun ‘model dialog agama-agama’ dan perdamaian dalam konteks multikultural antara lain sbb:

1. Berusaha untuk menempatkan agama sebagai sebuah agen perubahan dan tidak semata-mata sebagai agen kekuasaan. Sebagai agen kekuasan agama cenderung menempatkan tafsir agama didasarkan pada kepentingan kekuasaan. Sebagai contoh tafsir negara yang bersifat monolitik atas keperbedaan (demi menjaga kesatuan dan persatuan) harus berani didekonstruksi dengan merekonstruksi ulang tafsir agama atas nilai-nilai persatuan yang bersifat beragam bukan monolitik. Oleh sebabitu diperlukan adanya penafsiran-penafsiran yang lebih konprehensif di dalam membaca dan merenungkan teks-teks kitab suci dan teks-teks keagamaan lainnya.

2. Agama sudah seharusnya membangun sebuah hubungan yang bersifat multikultural. Dalam tema-tema pengajaran agama sudah selayaknya tema multikultural ini diajarkan dengan bijak dan rendah hati. Pendidikan multikultural ini akan membawa umat dalam pemahaman yang lebih mendasar mengenai hubungan dengan sesamanya yang berbeda agama, suku, status sosial, ras, bangsa dan sebagainya. Selain itu institusi keagamaan seharusnya berani menghancurkan tembok-tembok atas klaim identitas superior yang dimiliki oleh agama yang dianut dan menggantikannya dengan pemahaman yang lebih bersahaja atas nama kerendahan hati dan perdamaian.

3. Pada sisi lain agama-agama dan kaum agamawan harus melakukan ‘pertobatan nasional’ karena telah membawa agama dan seluruh pengajarannya menjadi bagian dari kepentingan industri kapitalisme. Citra agama yang humanis dan bersahaja bagi semua orang telah masuk dalam ruang-ruang media televisi yang bersifat kapitalis. Mimbar agama dirumah-rumah ibadah sebagi sarana perjumpaan antar umat dan masyarakat telah terkungkung dalam ruang tamu ataupun kamar pribadi. Dalam konteks ini secara psikologis ruang terbuka bagi dialog antar umat agama telah mengalami distorsi melalui kepentingan market capitalism. Kurangnya dialog antar umat akibat sempitnya ruang yag disediakan bagi sebuah dialog telah menimbulkan kecurigaan-kecurigaan di antara umat beragama. Pada sisi lain ajaran-ajaran agama yang dikembangkan melalui penyiaran televisi telah menciptakan sebuah produk instan yang tidak lebih sebagai usaha menjual agama secara masif dan tidak terkendali.

4. Doktrin-doktrin keagamaan yang bersifat misiologis sebagai akibat dari model penafsiran yang ekslusif dan cenderung bersifat kolonialistik sudah saatnya ditafsirkan ulang berdasarkan konteks pengalaman bersama (di Indonesia). Harus ada kepentingan bersama di antara umat beragama untuk mulai membaca teks-teks yang bersifat doktriner dari kaca mata ‘bersama’. Pentingnya teks ini dibaca bersama mengingat persoalan yang sama yang dihadapi masyarakat (Indonesia) yaitu masih terdapatnya persoalan demokrasi, HAM, bahaya diskriminasi, terorisme, etnonasionalisme, dan lain sebagainya. Pembacaan bersama mengenai teks-teks misiologi-eksklusif ini diharapkan akan menciptakan sebuah model misi bersama dalam kehidupan beragama yang holisitik dan konstruktif bagi Indonesia yang pluralistik.

5. Pendekatan keagamaan sudah seharusnya menempatkan nilai-nilai lokal genius sebagai materi pengajaran keagamaan. Pendidikan atas nalai-niali lokal ini seharusnya terbebas dari kepentingan kekuasaan. Dalam setiap daerah dimana agama berkembang pasti memiliki nilai-nilai bersama yang dapat dibangun sebagai sebuah konsesus kebudayaan yang dapat menjangkau setiap orang. Konsesus budaya ini, bagi agama, seharusnya dipahami pahami sebagai bagian yang utuh dari pemahaman tentang keagamaan itu sendiri. Bukan semata-mata hanya bagian dari ‘mimpi-mimpi’ teologi kontekstual.

6. Agama harus mengembalikan fungsi ‘hati nurani’ sebagai dasar dalam memahami Sang Ilahi. Kuatnya pendulum keagamaan ke arah institusi telah menghilangkan nilai-nilai hati nurani sebagai inti kehidupan keagamaan tersebut. Hati nurani adalah ibu keimanan setiap orang beragama. Hilangnya perdamaian sebagai akibat dari konflik sosial (agama) merupakan tanda hilangnya penghargaan yang dalam terhadap ibu keimanan kita yaitu hati nurani.

Damai di Bumi Damai di Hati: Salam Perdamaian dari Bumi Sejuk, Bedugul, Bali


***
Bahan-Bahan Bacaan:

- Richard King, Orientalism and Religion – Postcolonial Theory, India and the Mystic East, Routledge, London, 1999.
- Rajanit Guha, “On Some Aspects of the Historiography of colonial
India” dalam Subaltern Studies 1, Oxford University Press, Delhi, 1982.
- Gayatri Spivak, “Subaltern Studies: Deconstructing Historiography” dalam Ranajit Guha dan Gayatri Spivak (eds.), Selected Subaltern Studies, Oxford University Press,
Delhi, 1982.
- Homi K. Baba, “Of Mimicry and Man – The Ambivalence of Colonial Discourse” dalam Homi K. Baba, The Location of Culture, Routledge,
London, 1994.
- A.A.G.N. Ari Dwipyana, “Pendidikan Umat: Dari Pluralisme ke Multikulturalisme”.
- Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural-Menghargai Kemajemukan, Menjalin Kebersamaan, Kompas,
Jakarta, 2003.
- Stanley J. Samantha, “Masa Depan Dialog Antar Agama” dalam Majalah Rohani, Juli 1992.
araus





Menjadi Gereja Indonesia: Sebuah Pencarian Identitas Melalui Riset Kebudayaan

Pendahuluan

Studi mengenai gereja-gereja di Indonesia, khususnya gereja-gereja Protestan hingga saat ini dirasakan masih sangat bersifat parsial. Artinya penelitian-penelitian yang dilakukan sebagian besar lebih berorientasi pada pencarian identitas gereja lokal dari pada pencarian identitas gereja Indonesia. Hal ini tentu tidak perlu dikuatirkan dan mungkin dari satu sisi menjadi sebuah kekayaan yang tersendiri. Akan tetapi terkait dengan ke Indonesiaan itu pada dirinya sendiri maka sudah saatnya penelitian-penelitian mengenai gereja saat ini – khususnya mengenai gereja Prostestan – diarahkan demi membangun sebuah identitas Gereja Indonesia. Disadari bahwa tidaklah mudah untuk mencari sebuah identitas gereja Indonesiaan tersebut karena hal ini terkait dengan sejarah gereja Indonesia itu pada dirinya sendiri. Sejarah gereja Protestan di Indonesia didominasi oleh model penginjilan ala Zending yang sudah tentu sangat kuat berorientasi pada model barat. Pada sisi lain perkembangan gereja-gereja diluar Zending – sebagai akibat dari “perkembangan” dari gereja-gereja induknya juga masih kuat dipengaruhi oleh model-model yang dibawa oleh Zending. Klaim identitas bergereja ala barat ini seolah-olah telah melekat sebagai identitas gereja Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dalam persoalan tafsir gereja terhadap berbagai persolan bergereja maupun persoalan sosial di Indonesia. Secara umum gereja masih belum berani untuk membuat sebuah re-interpretasi baru terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi tersebut. Model tafsir ala Schleirmacher dan Dilthey yang cenderung untuk masuk dan memahami konteks (masa lalu) lebih mendominasi model tafsir teologis dari pada model tafsir ala Gadamer yang kental dengan benturan hermeneutika-nya yang akan menghasilakn sebuah fusi of horizon (percampurbauran cakrawala pandangan). Pada sisi lain referensi model tafsir pendidikan teologi juga belum terlalu berani untuk memasuki ruang-ruang tafsir sosial-politik yang cenderung mendekonstruksi nilai-nilai kemapanan. Kondisi ini semakin mengaburkan pemaknaan terhadap pencarian identitas gereja Indonesia itu pada dirinya sendiri. Pada sisi inilah kemudian dibutuhkan sebuah riset kebudayaan untuk mengkaji ulang dan menemukan nilai-nilai menjadi gereja Indonesia. Riset kebudayaan menjadi tawaran utamanya adalah karena pendekatan ini berusaha untuk menggali secara mendalam nilai-nilai lokal genius yang dimiliki oleh gereja-gereja di Indonesia dan kemudian berusaha untuk mencari simpul-simpul yang dapat menghubungkan (gereja) satu dengan yang lainnya.

Identitas Bergerjea : Persoalan Oposisi Biner

Identitas dalam wacana kolonialistik telah menciptakan sebuah oposisi biner yang memberikan stigma bahwa segala yang ‘ada’ dari kaum kolonialis adalah sesuatu yang “sempurna”. Pemahaman ini dalam konteks kultural - secara langsung - telah menciptakan wacana keberpihakan – mengunggulkan yang satu melecehkan yang lain. Dalam hal ini kaum kolonialis adalah yang unggul dan kaum terjajah adalah yang dilecehkan dan ‘tidak beradab’. Disadari atau tidak pemahaman ini telah tercitra sekian lama di dalam konteks negara-negara terjajah. Pencitraan itu menghasilkan sebuah dikotomis sosial yang ada dalam konteks masyarakat terjajah seperti adanya kelompok elit/proletar, kaya/miskin, bangsawan/kebanyakan, dll. Bahkan dalam bidang keagamaan telah tercitra adanya kaum klerikal dan awam. Oposisi biner semacam ini pada akhirnya telah menciptakan sebuah status quo identitas atau sistem yang seolah-olah tidak dapat diganggu gugat. Persoalannya apakah memang hal itu telah menjadi sebuah takdir kultural sehingga tidak perlu mempertanyakan bahkan mendekonstruksi pemahaman tersebut? Pertanyaan ini dalam kaitannya dengan persoalan identitas gereja Indonesia tentu juga menjadi sangat penting. Apakah citra gereja-gereja Indonesia masih merupakan citra dari identitas kolonialistik yang sebagaian besar masih mengusung tema-tema oposisi biner yang justru menempatkan gereja jauh dari konteks?

Diakui atau tidak pendekatan oposisi biner ini masih sangat kuat dalam kehidupan bergereja baik secara teologis maupun dalam konteks sosial. Secara teologis konsep-konsep seperti gelap/terang, manusia duniawi/manusia rohani, kudus/tidak kudus, orang benar/orang tidak benar dan sebagainya, masih cenderung mendapatkan tafsir yang cenderung akhirnya menempatlan kekristenan (orang Kristen) sebagai suatu agama / manusia unggul dibanding yang lainnya. Dalam bidang sosial dan budaya hal serupa juga terlihat dengan jelas seperti Kristen kaya/ bukan Kristen miskin, ‘budaya Kristen’ beradab/ budaya ‘bukan Kristen’ tidak beradab, musik klasik adalah musik Kristen tetapi musik dangdut bukan musik Kristen, fashion sebagai citra Kristen dan pakaian lokal adalah identitas ‘belum Kristen’, dll.

Seluruh identitas tersebut kemudian seolah-olah telah menjadi idenitas kekristenan itu pada dirinya sendiri. Namun persoalannya adalah apakah identitas ini memiliki korelasi dalam konteks membangun Indonesia yang pluralistik secara utuh? Akhirnya kita harus mengakui bahwa identitas yang demikian telah membawa gereja pada sebuah kegamangan identitas. Oleh karena itu yang diperlukan saat ini adalah keberanian untuk mendekonstruksi konteks tersebut melalui sebuah pendekatan kultural.

Gereja Indonesia: Sebuah Dekonstruksi Identitas

Riset kebudyaan merupakan sebuah tawaran bagi pencarian kembali identitas bergereja di Indonesia. Hal ini tentu dididasarkan pada pemahaman bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang bersifat permanen. Ia merupakan sebuah kontrak sosial yang senantiasa dapat selalu diberi pemaknaan yang baru. Demikian juga dengan identitas bergereja yang merupakan sebuah bentukan di dalam proses sosiohistoris. Sebagai sebuah proses ia terus berjalan sepanjang masa. Oleh sebab itu tidak ada kata lain bahwa identitas bergereja harus terus menjadi sebuah wacana yang hidup.

Beberapa hal yang perlu dicermati dalam menggali kembali wacana identitas bergereja di Indonesia dalam riset kebudayaan ini adalah :
1. Teologi. Sudah saatnya gerakan teologi kontekstualisasi tidak saja merupakan sebuah wacana akademik tetapi merupakan sebuah wacana yang dibangun secara sistematik dalam model-model pengajaran jemaat. Selama ini model-model pengajaran masih di dominasi oleh sistimatika dogmatis yang berorientasi pada konsep-konsep yang dibangun sebagai karya dari anak zaman pencerahan – yang (katanya) selalu dibanggakan sebagai peradaban sejati (?). Orientasi katekismus sudah selayakanya juga menyerap teradisi-tradisi lokal genius sebagi bagian dari pengajaran bergereja.
2. Liturgi. Liturgi adalah sebuah ‘jembatan’ bagi proses perjumpaan antara manusia dengan Tuhan. Namun demikian dalam konteks kebanyakan gereja Indonesia, liturgi seolah-olah telah sesuatu yang baku dan kaku - yang secara historis sebenarnya telah menempatkan warga gereja pada posisi biner antara kaum klerikus dan awam. Penempatan dua polar ini dalam tradisi bergereja sebenarnya menunjukkan posisi hirarkis. Memang hal ini cenderung untuk tidak diakui secara teologis namun dalam prakteknya hal tersebut telah menjelma seperti model tuan dan hamba dalam konteks sosial. Oleh sebab itu nilai-nilai kolektivitas yang ada dalam kebudyaan lokal sering tercabut ketika orang masuk dalam sebuah ibadah di gereja. Tugas kita adalah membangun kembali kolektivitas itu dalam hidup bergeja khususnya dalam peribadahan.
3. Pemahaman Iman. Sebuah pemahaman iman gereja adalah sebuah sarana untuk membangun relasi antara manusia dan Tuhan. Dalam banyak hal pemahaman iman yang dibanggun oleh gereja-gereja di Indonesia belum mencerminkan sama sekali pemahaman iman yang sesungguhnya dari umat itu sendiri. Model pemhaman iman masih terbelenggu dengan tradisi-tradisi pengajaran bapa-bapa gereja dengan bahasa-bahasa yang sulit untuk dimengerti secara sedehana. Sudah saatnya gereja Indonesia harus mampu merumuskan konsep-konsep pemahaman iman secara kontekstual seperti pemahamn tentang Allah, gereja, ciptaan dan pemeliharaan, keselamatan, Alkitab, dll, dalam sebuah perenungan yang dalam melalui bahasa yang dipahami dan dihayati oleh umat. Dekonstruksi erhadap pemahaman iman ini secara pasti akan menghasilkan sebuah benturan heremeneutis. Tetapi hal ini tidak perlu dikuatirkan selama benturan ini dapat menghasilkan sebuah fusi of horizon yang bermakna dalam penghayatan bersama.
4. Simbol. Simbol-simbol gereja yang ada selama ini telah menjadi sangat sulit untuk dipahami oleh sebagian orang (mungkin juga oleh umat sendiri) karena sebagian besar terobsesi oleh simbol-simbol yang datang dari barat. Hal ini telah menempatkan gereja sebagai sebuah enclave yang sulit untuk dipahami dan dimengerti oleh kebanyakan orang. Dalam hal ini simbol-simbol teologi yang dibangun secara akademik dan simbol teologi bergereja telah menjadi agen bagi logosentrisme transenden yang eksklusif. Simbol-simbol semacam ini harus didekonstruksi agar kehadiran gereja dapat dipahami dengan sederhana.
5. Arsitektural. Arsitektur gereja adalah wajah gereja itu sendiri. Tidak dapat disangkal bahwa sebagian besar wajah gereja Indonesia adalah sebuah identitas tiruan (mimikri) dari apa yang ada di barat. Seperti layaknya geraja-gereja di barat yang berdinding tebal dan kaku guna menghindari keganasan salju demikian pula model sebagian besar gereja di Indonesia. Dalam konteks Indonesia hal ini tidak diartikan sebagai sebuah perlawanan terhadap alam (salju) tetapi cenderung merupakan sebuah ketertutupan terhadap orang lain dan alam. Bagaimana sebenarnya arsitektur gereja Indonesia itu pada dirinya sendiri adalah sebuah pergumulan yang terus-menerus harus dilakukan bersama-sama dengan manusia dan alam sekitarnya.

Dari kelima riset kebudayaan di atas - tentu ada lebih banyak hal yang dapat diteliti – dapat dipahami bahwa identitas gereja Indonesia masih merupakan sebuah wajah yang sangat barat yang dapat dikatakan sebagai sebuah warisan budaya kolonial. Penekanan terhadap riset kebudayaan ini tidak diartikan sebagai sebuah usaha untuk mencari sebuah model gereja Indonesia yang asli. Karena tidak mungkin untuk menemukan keaslian di dalam keIndonesiaan. Pada sisi lain hal itu juga menciptakan sebuah pencitraan yang terbatas bagi pencarian identitas gereja Indoensia. Hal yang terpenting dalam riset kebudayaan ini adalah bagaimana gereja Indonesia mampu menciptakan sebuah konstruksi yang baru dan tidak mempertahankan model posisi biner yang menjadi warisan budaya kolonialistik. Oleh sebab itu yang diperlukan saat ini adalah membangun sebuah global interconnectedness yang tidak melenyapkan satu dengan yang lainnya tetapi memberikan ruang bagi kesejajaran dalam merealisasikan nilai-nilai kehidupan.

Gereja Indonesia sudah seharusnya melakukan sebuah riset kebudayaan sebagai sebuah gerakan untuk menemukan kembali realitas-realitas yang telah terbelenggu selama ini. Simpul-simpul itu kemudian dapat disatukan di dalam sebuah eksplorasi yang mendalam terhadap data-data model bergereja di Indonesia. Hal ini seharusnya tidak dilihat hanya sebagai sebuah project tetapi lebih dalam adalah guna menemukan sebuah model gereja Indonesia. Perlu pengorbanan waktu, tenaga, dana dan sumber daya manusia bahkan lembaga yang baik untuk hal ini. Kita berharap ada yang memulai program ini guna mewujudkan arti Menjadi Gereja Indonesia.

Pdt. Victor Hamel
(Pendeta Gereja Kristen Protestan di Bali)