Friday, June 8, 2007

Melali ke Peken

(Jalan-Jalan ke Pasar)

Seperti biasanya, saya senang setiap kali ada kesempatan untuk menghantar istri saya belanja ke pasar. Dan saya selalu bersemangat untuk membawa belanjaan, meskipun kadang-kadang berat. Tapi saya tahu di dalamnya pasti ada jajan pasar dan be guling kesukaan saya. Ehm…sedap…! Apalagi kalau musim panas, istri saya selalu membelikan es daluman, segar kali bah!

Satu waktu istri saya mengajak ke pasar di kota Negara. Di pasar karena terlalu ramai, saya hanya menunggu dan memperhatikan kegiatan-kegiatan yang terjadi di pasar tersebut. Dan saya mulai mengamati setiap interaksi yang terjadi di pasar tersebut dari depan sampai ke bagian yang paling dalam. Saya mulai dari depan. Ketika masuk di pintu pasar kita akan disambut dengan melihat sebuah pelangkiran yang di dalamnya terdapat banyak sekali canang. Tentu setiap pedagang (Hindu) yang ada di pasar tersebut memberikan persembahannya di altar nya. Harapannya jelas: hari ini dapat untuk banyak! Saya melewati bagian itu dan kemudian memperhatikan interaksi antara pembeli dan penjual yang ada di pasar tersebut.

Seorang perempuan muda sederhana, kelihatannya bukan orang berada dan pasti juga bukan orang Kristen karena di dahinya ada bija, tanda ia baru sembahyang. Ia datang ke penjual tomat: “Buk.. buk, kuda tomat ene ekilo”, perempuan muda itu bertanya. Si ibu tidak menjawab. “Buk, kuda tomat ene ekilo?” , ulang si perempuan muda. “Kenken dagange ene, kel medagang apa kel pules…”, Si perempuan muda hanya heran, tanpa marah sedikitpun. Kemudian dia ngeloyor pergi begitu saja karena si ibu dagang tetap saja tidak bangun-bangun. Tetapi yang pasti perempuan itu tidak menggerutu, bahkan tertawa cekikikan. Begitu juga dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, mereka tertawa bersama-sama. Senang juga ada hiburan pagi-pagi. Tertawa meskipun tidak dapat membeli buah tomat.

Di sudut toko penjual baju-baju seorang perempuan cantik setengah baya kelihatannya sedang sibuk menawar. Kelihatan dari penampilannya sepertinya orang yang ber-ada. Dengan rambut sedikit di blow, dahi nonong yang mengkilat, jam tangan yang berkilau (tapi saya lihat dari dekat jamnya menunjukan pukul 12.30, padahal pada waktu itu masih pagi) dan tentunya make up yang tidak kalah menyilaukannya. Baju warna putih tanpa kerah leher, dan….ada kalung salib nggantung di dadanya. Kristen, pasti Kristen menurut pikiran saya. Saya lebih mendekat lagi dan coba untuk mendengar perbincangan mereka. “ Kuda ajin baju duwuran ne gek…?” tanya si perempuan setengah baya. “Eh…empat puluh ribu bu” kata si penjual. “ Peh mahal sajaan…., dasa tali beee…?” Si penjual tersenyum, katanya, “Sing maan modal ne monto, jeg sampun ngepas sajan…”. Dibilang begitu si perempuan cantik itu lantas menggerutu dan sambil berjalan meninggalkan si penjual menggerumel, “Baju mudah… jeg ajin dagange mahal sajaaan…! Si penjual terpaku dan orang-orang di sekitarnya juga terpaku. Heran. Waktu saya berpikir mengapa mereka heran, saya akhirnya mendapat jawabannya. Mereka merasa heran karena: pertama, aneh melihat orang ke pasar dengan pakaian yang aujubilah noraknya. Kedua, kelihatannya kaya tetapi ternyata tidak bisa membeli plus marah-marah. Ketiga¸ masyaalah…gelang dan kalungnya…mengkilat eui!

Masuk lagi ke bagian utara kita akan disambut dengan bau amis daging ayam dan kotorannya, daging sapi dan ikan-ikan. Tetapi tepat di sebelah para penjual itu ada pura tempat persembahyangan. Setiap orang bisa sewaktu-waktu ke sana untuk bersembahyang, meskipun bau amis dan kotoran ayam, daging sapi dan ikan telah menghilangkan bau kemenyan yang dibakar. Saya memperhatikan sebagian dari mereka dengan hikmatnya menunaikan ibadahnya tanpa terganggu: tentu bau kotoran ayam.

Tiba-tiba dari belakang ada orang yang memukul punggung saya. Ah, ternyata istri saya dengan belanjaan yang seaberek-abrek. Tak apalah….. yang penting, ada jajan pasar dan be guling dan tentu es daluman. …..

Refleksi

Sadar atau tidak sadar, pasar rakyat adalah sebuah simbol dari konteks pluralitas masyarakat. Di dalamnya terjadi interaksi multikultural dan kepentingan yang oleh Herbert Mead di sebut dengan Interaksi Simbolik: Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.

Pasar adalah realitas simbolik akan arti pertukaran nilai dan makna melalui komunikasi. Komunikasi adalah universal. Dia bisa hadir melalui kata-kata (komunikasi verbal, misalnya menawar, tertawa bersama), simbol-simbol (pelangkiran, pura, warna, dll), perilaku (perhatikan sikap ibu muda yang sederhana dan ibu cantik yang sok kaya), bahkan nilai-nilai (kekhusukan dalam ibadah). Semua ini adalah realitas komunikatif yang pluralistik yang jika dibangun dengan baik maka akan menghasilkan tatanan-tatanan sosial yang kuat sebagai landasan hidup bersama (Commond ground). Dan dasar dari semua itu adalah kemauan untuk hidup bersama dan saling bertutur sapa.

Hidup bersama adalah sebuah kehidupan yang tidak membedakan kelas, SARA, status sosial, dimana semuanya itu oleh Marx dicap sebagai akar dari penyakit sosial. Pasar Negara tidak membedakan setiap orang yang datang untuk berbelanja ke sana. Sama seperti Gereja adalah ‘Pasar Rakyat”. Di dalamya ada begitu banyak manusia dari berbagai latar belakang sosial. Pertanyaannya tentu sejauh mana komunikasi pluralistik telah dibangun melalui gereja? Dalam kenyataannya tidakkah kita lebih sering mementingkan diri kita sendiri. Pembangunan sering dilihat sebagai gengsi para pemimpin gereja. Eksklusifitas rohani sering dilihat sebagai ukuran menilai orang lain atau gereja lain yang dianggap tidak rohani. Kekayaan adalah buah rohani sedangkan kemiskinan adalah buah dosa. Besarnya sumbangan pembangunan adalah ukuran kehormatan dan status rohani di gereja. KKR di gereja adalah indikasi jemaat yang hidup padahal Pembinaan Warga Gereja yang utuh terabaikan. Kepintaran sering dijadikan kesombongan dan menganggap kesederhanaan berpikir adalah kebodohan. Karismatik adalah kesalehan, kekritisan dianggap sekularisme. Familiy succsesfull adalah target kehidupan keluarga Kristiani. Yang tidak sukses…apakah tidak Kristiani? Utara adalah kesulitan, selatan adalah kemakmuran. Ada anggapan (sesat) lebih enak di gereja kota dari pada di gereja desa. Kompetisi adalah barang haram tetapi KKN adalah sebuah tawaran. Kedudukan adalah kenikmatan, oleh karenanya menjadi tujuan. Semuanya ini tentu tidak lebih dari bau kotoran ayam!

Saya hanya terhenyak ketika melihat Pura di dalam pasar didatangi umatnya yang tidak terkontaminasi dan terpengaruh oleh baunya kotoran ayam. Saya membayangkan jika setiap pemimpin umat dan seluruh umat Tuhan yang ada di gereja datang dengan kerendahanan hati serta penuh hikmat dan pulang dalam sikap hidup saling menghargai satu dengan yang lainnya dalam tegur sapa dan saling mengenal, tidakkah ‘bau’ dosa (iblis) itu akan hilang hilang? Yang adalah adalah kehikmatan, kesukacitaan dan perdamaian.

Saya terhenyak juga ketika melihat Pura berada di tengah-tengah pasar dengan bau kotoran ayam. Dimasuki oleh orang dengan dengan kaki telanjang. Tetapi terbuka dan selalu terbuka. Terbayang bahwa gereja tidak pernah berada di dalam pasar. Selalu berdiri dengan megah dan ornamen kemewahan. Tiada bau kotoran ayam tapi parfum wangi yang harganya sering dilebih-lebihkan oleh pengurus gereja. Tak ada orang datang dengan kaki telanjang, tetapi dengan sepatu dan baju yang terkesan baru. Ibadah dengan suara hingar bingar Band tanda Roh Kudus hadir, selalu begitu katanya. Setelah itu gereja akan ditutup sampai minggu depan. Silahkan mengambil kunci gereja di rumah koster gereja kalau ingin masuk, sebab pintu gereja tertutup! Tetutup: Jangan-jangan inikah kondisi gereja masa depan? Tetutup dari dunianya dan hanya melihat dunia “di atas” sebagai harapannya. Tertutup untuk mengenal orang lain, tertutup untuk melihat perbedaan sebagai keindahan, tertutup bagi ketidaksepahaman, tertutup bagi iman yang berlainan, tertutup untuk belajar dari orang lain, tertutup terus…sampai kapan gereja akan maju! Mungkin itulah sebabnya sekali waktu kita perlu melali ke peken!

Doa dan Penyembahan

Doa dan Penyembahan

A. Doa dan Penyembahan: Suatu Relasi dalam Kesetiaan Umat dan Allah

Akhir-akhir ini dalam pergerakan gereja di banyak kawasan dunia ini menghadapi sebuah gerakan yang sangat luar biasa di dalam doa dan penyembahan. Namun sering beberapa kalangan menilai bahwa gerakan doa dan penyembahan ini hanyalah sebuah kenyataan yang bersifat ekstase. Gerakan kuasa doa dan penyembahan di anggap sebagai sebuah gerakan yang membawa orang pada kesenangan sesaat. Mungkin hal ini yang di sebut oleh Karl Marx sebagai gereja atau agama adalah candu masyarakat. Sebagai candu ia hanya terasa nikmat ketika digunakan setalah itu akan membawa malapetaka. Mungkin dalam hal-hal tertentu ada benarnya juga. Akan tetapi kita ingin melihat bahwa gerakan doa dan penyembahan tidaklah semata-mata sebagai sebuah gerakan yang bersifat ekstase. Gerakan doa dan penyembahan pada intinya adalah hati Allah itu pada dirinya sendiri. Alkitab mencatat dengan jelas bahwa Allah yang kita sembah adalah suatu pribadi yang menginginkan umatnya untuk menyembah-Nya secara utuh. Dalam Mazmur 81:10 secara tegas dikatakan bahwa :

“Jangan ada diantaramu allah lain, dan janganlah engkau menyembah kepada allah asing”.

Kata allah asing dalam Mazmur ini menunjukan dengan tegas bahwa hanya ada Allah yang Satu / Esa (Primus Inter Pares) yang disembah oleh Israel. Allah yang Satu (lih. Ulangan 6:4) itu telah mengangkat Israel dari kegelapan menuju terang-Nya yang ajaib. Oleh karena itu sepenuhnya Israel harus menyembah kepada Allah yang Satu yang telah memilih mereka. Namun demikian dalam perjalan kehidupan umat Israel sebagai bangsa pilihan Allah mereka tidak selalu setia di dalam penyembahannya kepada Allah. Dalam Alkitab perjanjian lama -- khususnya dalam kitab nabi-nabi besar dan kecil : Yesaya hingga Maleakhi -- kita dapat melihat perjalanan yang jatuh bangun di dalam mewujudkan kesetiaan Umat Israel kepada Allah. Namun demikan Alkitab juga mencatat bahwa Allah yang telah memilih Israel adalah Allah yang penuh dengan kasih setianya yang tidak terhingga. Kata kasih setia Allah yang tidak terhingga ini dalam bahasa Ibrani sering diterjemahkan dengan istilah khesed. Kata ini hanya diperuntukan oleh Allah yang setia kepada umat pilihanNya. Kata khesed ini sering digunakan untuk menjelaskan bagaimana Allah yang murka kepada umat Israel karena ketidaksetiaannya tetapi kembali menyayangi umatnya tersebut dengan belas kasihan dan kasihNya[1].

Masakan Aku membiarkan engkau seperti Admah, membuat engkau seperti Zeboim? Hatiku berbalik di dalam diri Ku, belas kasihan Ku bangkit serentak. Aku tidak akn melaksanakan murka Ku yang bernyala-nyala itu, tidak akan membinarkan Efraim kembali. Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia, Yang Kudus di tengah-tengah mu, dan Aku tidak datang untuk menghanguskan (Hosea 11: 8-9).

Dari gambaran hubungan umat dan Allah di atas nampak dengan jelas bahwa Allah menghendaki umatNya untuk tetap setia kepada Nya dan hal ini terjadi karena Allah lebih dahulu memiliki kasih setia yang tidak terhingga (khesed) kepada umatNya. Salah satu unsur terpenting di dalam mewujudkan hubungan yang baik di antara manusia dengan Allah adalah di dalam kesetiaan umat untuk menyembah Dia.

Jadi, jelaslah bahwa gerakan doa dan penyembahan bukanlah sebuah ritual yang bersifat ekstase semata-mata tetapi merupakan inti hidup orang yang beriman kepada Allah. Dan sebaiknya juga kita harus memiliki hikmat yang besar untuk dapat membedakan apakah gerakan doa dan penyembahan itu hanya bersifat ekstase semata-mata atau memang benar-benar diilhami oleh kuasa Roh Kudus Allah. Dalam hal inilah pengetahuan dan pemahaman serta penghayatan yang benar tentang konsep doa dan penyembahan itu menjadi sangat pentinga artinya.

B. Doa dan Penyembahan: Refleksi atas Konsep Mezbah Pembakaran Ukupan[2]

B.1. Konteks Perjanjian Lama

Sejarah perjalanan umat Israel dari Mesir menuju tanah perjanjian telah menjadi dasar di dalam membentuk pola ibadah umat kepada Allah. Dalam kitab Keluaran dicatat banyak sekali hal-hal yang berkaitan peraturan dan pola-pola ibadah tersebut. Salah satu pola yang digunakan adalah pembuatan kemah suci atau tabernakel untuk tempat penyembahan kepada Allah (Lih. Keluaran 25). Dasar dari pembuatan kemah suci / tabernakel ini adalah bahwa Allah menghendaki adanya suatu tempat kudus agar Ia dapat bersemayam bersama-sama dengan umat Nya.

Dan mereka harus membuat tempat kudus bagi-Ku, supaya Aku akan diam di tengah-tengah mereka. Menurut segala apa yang Ku tunjukkan kepadamu sebagai contoh segala perabotannya, demikianlah harus kamu membuatnya (Kel. 25: 8-9).

Dalam Keluaran 25 terdapat sekian banyak perabotan yang harus disiapkan untuk mengisi kemah suci tersebut. Salah satu dari benda tersebut adalah mezbah pembakaran ukupan atau mezbah dupa emas. Tempatnya dalam kemah suci berada di depan pintu tirai yang menghubungkan antara ruang kudus dan ruang maha kudus (Lih. Lampiran 1). Pertanyaan mendasar mengenai mezbah pembakaran ukupan ini adalah apa maknanya benda ini diletakkan dalam kemah suci?

Tradisi wewangian telah muncul sejak zaman dahulu kala. Dalam tradisi timur tengah wewangian ini digunakan dalam berbagai cara. Ada yang menggunakannya sebagai pengaharum ruangan, obat-obatan tradisional (sekarang dikenal dengan aroma terapi) dan juga untuk penyembahan. Kegunaan yang terakhir ini lebih banyak dipakai di dalam ritual-ritual keagamaan. Kata asli yang digunakan di dalam Alkitab untuk menunjuk pada dupa / incence (Ingg.) adalah lebona yang berarti wewangian yang sangat harum (kualitas yang sangat baik. Dan yang kedua diterjemahkan sebagai qetoret yang berarti “sweet smoke”[3] (dupa yang sangat harum: terjemahan bebas).

Alkitab juga mencatat beberapa hal mengenai kegunaan wewangian ini dalam hubungannya dengan ritual keagamaan orang Israel. Dalam Imamat 16 nampak dengan jelas bahwa Musa diperintahkan untuk memberitahukan kepada Harun bahwa jangan sembarangan memasuki tempat kudus Tuhan. Ada beberapa hal yang harus dilakukan agar dapat masuk ke tempat kudus Tuhan tersebut. Dan kalau hal ini dibaikan maka akan terjadi kematian (Im. 16:2). Salah satu perintah yang harus dilakukan adalah dengan

“…mengambil perbaraan berisi penuh bara api dari atas mezbah yang dihadapan Tuhan, serta serangkup penuh ukupan dari wangi-wangian yang digiling sampai halus, lalu membawanya masuk ke belakang tabir”. Kemudian ia harus meletakkan ukupan itu di atas api yang dihadapan Tuhan, sehingga asap ukupan itu menutupi tutup pendamaian yang di atas hukum Allah, supaya ia jangan mati” (Im.6:12-13).

Dari ayat ini nampak dengan jelas bahwa wewangian memiliki hubungan yang sangat erat dalam kaitannya dengan ritual keagamaan. Allah, melalui Musa, memerintahkan agar ukupan wewangian itu diletakkan dekat dengan ruang maha kudus sehingga asap wewangian tersebut dapat meliputi ruangan dimana Allah hadir menjumpai umatNya melalui perantaraan seorang Imam Besar. Dengan kata lain Allah senang dengan wewangian yang dihantarkan kepadaNya yang merupakan salah satu persembahan yang diberikan oleh umat. Sebagai sebuah persembahan maka sifatnya adalah dibakar (lih. Lampiran 2). Media asap yang keluar sebagai hasil bakaran inilah yang kemudian menghasilkan wewangian yang disenangi oleh Allah. Jadi, dalam tradisi perjanjian lama hubungan doa (komunikasi) dan kehadiran Allah sangat ditentukan -- salah satunya -- oleh adanya wewangian yang dipersembahkan kepada Allah. Dalam konteks perjalanan Israel di padang gurun hal tersebut terealisasi di dalam perwujudan mezbah dupa emas atau mezbah pembakaran ukupan.

B.2. Konteks Perjanjian Baru

Dalam perjanjian baru konsep wewangian ini secara langsung dihubungkan dengan suasana simbolis melalui doa dan penyembahan. Suasana wewangian digambarkan secara langsung sebagai suasana doa.

Ketika ia mengambil gulungan kitab itu, tersungkurlah keempat mahluk dan kedua puluh empat tua-tua itu di hadapan Anak Domba itu, masing-masing memegang satu kecapi dan satu cawan emas, penuh dengan kemenyan: itulah doa orang-orang kudus (Wahyu 5:8).

Maka datanglah seorang malaikat lain, dan ia pergi berdiri dekat mezbah dengan sebuah pedupaan emas. Dan kepadanya diberikan banyak kemenyan untuk dipersembahkannya bersama-sama dengan doa semua orang kudus di atas mezbah emas di hadapan tahta itu. Maka naiklah asap kemenyan bersama-sama dengan doa orang-orang kudus itu dari tangan malaikat itu ke hadapan Allah (Wahyu 8:3-4)

Gambaran kitab Wahyu di atas mengenai kemenyan atau lebih baik diartikan sebagai benda yang menghasilkan wewangian secara langsung menunjuk kepada doa orang-orang kudus. Konsep ini kemungkinan besar terinspirasi dari Pemazmur yang mengatakan:

Biarlah doaku adalah bagi-Mu seperti persembahan ukupan, dan tanganku yang terangkat seperti persembahan korban pada waktu petang. (Mazmur 141:2)

Hal ini juga menunjukan secara tegas bahwa simbol melalui media-media wewangian seperti kemenyan masih sangat dekat dengan kehidupan orang-orang pada zaman perjanjian baru. Akan tetapi hal yang terpenting adalah bahwa konsep wewangian sebagai sesuatu yang menyegarkan, menyenangkan, membuat suasana segar, menyehatkan dan lain sebagainya, merupakan sebuah gambaran yang memberi suatu sensasi yang terasa indah. Dan suasana ini yang menyenangkan hati Allah yaitu bahwa Ia berkenan dengan semua doa orang-orang kudus yang digambarkan seperti wewangian yang sampai kepada Allah.

Dari hal di atas nampak dengan jelas bahwa perjanjian lama maupun perjanjian baru menempatkan mezbah dupa emas sebagai sesuatu yang bermakna simbolis mengenai hubungan manusia dengan Allah melalui doa dan penyembahan.


C. Doa dan Panyembahan dalam Konteks Gereja / Jemaat

Banyak gereja akhir-akhir ini cenderung mengabaikan peran doa dan penyembahan ini sebagai suatu hal yang terpenting dalam kehidupan bergereja. Kalaupun ada maka konsep doa dan penyembahan hanya merupakan sebuah ritual kaku dan dingin-dingin saja. Hal ini tidak berarti bahwa realisasi doa dan penyembahan ini harus dengan cara-cara yang atratktif. Tentu bukan hal itu yang dimaksudkan. Namun yang terpenting adalah bagaimana gereja atau jemaat saat ini menempatkan doa dan penyembahan ini sebagai suatu bagian yang integral di dalam seluruh pelayanan jemaat. Yang sering terjadi adalah gereja cederung jatuh kepada persoalan-persoalan organisatoris seperti pembangunan gedung gereja, strukturisasi, acara-acara seremonial yang melelahkan dan sebagainya. Tentu dalam banyak hal semua itu baik untuk mendukung menjadi sebuah gereja yang hidup.

Apakah dampak dari terabaikannya doa dan penyembahan kepada Allah ini di dalam kehidupan bergereja? Cerita kematian Nadab dan Abihu anak-anak Imam Harun dapat menjelaskan akan hal ini (Imamat 10:1-7). Kematian anak-anak Harun tersebut disebabkan oleh api asing yang bukan perintah dari Tuhan yang diletakkan di atas ukupan / mezbah dupa. Hal ini membuat Allah marah dan kemudian membuat malapetaka bagi Nadab dan Abihu. Artinya bahwa Allah tidak mengehendaki adanya penyembahan-penyembahan yang bukan berasal dan diperuntukkan untuk Allah. Kematian adalah bagian dari Nadab dan Abihu manakala sumber api tersebut berasal dari sesuatu yang asing.

Pelajaran yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa murka Allah terjadi pada saat kita tidak setia kepada Nya. Gereja yang mengabaikan peran doa dan penyembahan secara langsung sebenarnya membawa hubungan yang renggang antara jemaat dengan Allah. Apalagi jika di dalam kehidupan bergereja terdapat “dupa-dupa” asing yang tidak dikenal oleh Allah. Hal ini menggambarkan bahwa di dalam gereja / jemaat masih terdapat perseteruan antar jemaat, kuasa-kuasa kegelapan, kebencian dan dosa-dosa yang tidak terselesaikan maka suasana gereja atau jemaat akan menjadi sangat suram.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jika di dalam gereja itu terdapat doa dan penyembahan, pertanyaannya adalah apakah doa dan penyembahan itu benar-benar diperuntukan untuk Tuhan? Hal ini penting untuk diketahui bahwa sering doa dan penyembahan kita dilakukan untuk kepentingan diri sendiri. Dengan kata lain doa dan penyembahan menjadi sesuatu kesombongan diri. Dalam Keluaran 30: 34-38 Allah menunjunjukan bahwa wewangian di dalam mezbah dupa emas itu bukanlah diperuntukan untuk diri sendiri tetapi semuanya adalah untuk Allah. Sehingga maksud dari doa dan penyembahan itu adalah sesuatu yang menyenangkan hati Allah bukan manusia. Di sinilah diperlukan suatu proses pembelajaran untuk merendahkan hati satu dengan lainnya.

D. Bagaimana Memulai Suatu Hidup yang Dipenuhi dengan Kuasa Doa dan Penyembahan?

Ada banyak teori tentang doa dan penyembahan dengan mengutib sekian banyak ayat-ayat di dalam Alkitab. Akan tetapi satu hal yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa doa dan penyembahan tidak bisa dilakukan sebagai sebuah ritual semata-mata. Dia harusnya menjadi suatu kebutuhan rohani bagi setiap orang percaya ataupun gereja / jemaat. Kesadaran untuk berdoa dan menyembah Allah adalah suatu kesadaran yang datang dari hati yang paling dalam dari setiap manusia. Ingatlah bahwa relasi antara Allah dan manusia hanya dapat dibangun melalui doa dan penyembahan. Oleh sebab itu hal yang terpenting adalah setiap orang yangberdoa dan menyembah Allah maka dia harus menyembah Allah di dalam Roh dan kebenaran.

Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barang siapa menyembah Dia, harus menyembahNya dalam roh dan kebenaran. (Yohanes 4: 23-24)

Hal yang pertama harus disadari adalah bahwa seorang berdoa dan meyembah Allah ia harus berdoa dan menyembah Allah di dalam roh dan kebenaran. Di dalam roh menunjuk pada kuasa dari pada Roh Kudus Allah. Seorang yang berdoa dan menyembah Allah harus mengundang kuasa Roh Kudus di dalam kehidupannya. Karena hanya melalui kuasa Roh Kudus doa dan penyembahan itu akan sampai kepada Bapa.

Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan. (Roma 8:26).

Hal yang kedua adalah bahwa doa dan penyembahan di dalam kebenaran menunjuk pada hidup yang berkenan di hadapan Allah. Dan hidup yang benar di hadapan Allah adalah hidup yang seturut dengan Firman Kebenaran itu sendiri yaitu teladan Yesus Kristus.

Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran. (Yohanes 17:17)

…dan Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran. Yohanes (Yohanes 17:19).

Jadi inti dari doa dan penyembahan dalam kehidupan gereja masa kini adalah berdoa dan menyembah Allah di dalam roh dan kebenaran. Oleh sebab itu semua pergerakan menjadi bergereja yang hidup hendaknya di arahkan menuju kepada gereja yang dikuasai oleh Roh Kudus dan hidup di dalam kebenaran. Dan untuk mencapai hal ini tidak mudah. Harus terjadi probekan daging (lih. Konsep Pintu Tirai dalam Lampiran 1). Hal perobekan daging ini menuju pada proses penyucian dalam diri setiap orang. Oleh sebab itu diperlukan kerendahan hati untuk melakukan semuanya ini. Karena merubah suatu tabiat ataupun kebiasaan dosa itu tidak semudah membalik telapak tangan. Tetapi bagi orang percaya hal tersebutharus dilakukan dan tidak ada yang mengatakan tidak dapat dilakukan. Persoalannya adalah sering untuk meniadakan kebiasaan dosa tersebut dilakukan dengan kemampuan sendiri. Tetapi hal perobekan daging sepenuhnya harus dilakukan berdasarkan kehendak dari pada Tuhan Yesus Kristus. Oleh karen aitu yang terpeting adalah penyerahan diri yang total bagi karya dan penyelamatan Kristus dalam hidup kita.

Jadi, saudara-saudara, oleh darah Yesus kita sekarang penuh keberanisan dapat masuk ke dalam tempat kudus, karena Ia telah membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita melalui tabir, yaitu diri-Nya sendiri, dan kitamempunyai Imam Besar sebagaikepala rumah Allah (Ibrani 10:19-21).

Beberapa langkah yang dapat diarahkan menuju ke sana adalah:

1. Perlunya suatu pola pelayanan yang jelas dalam hidup bergereja

2. Perlunya pelayanan penelahan Alkitab yang berkelanjutan dan sistematis

3. Perlunya pemberitaan Firman yang tematis.

4. Perlunya ibadah doa dan penyembahan secara sungguh-sungguh.

5. Perlunya suatu sistem organisasi yang terarah sesuai dengan teladan Kristus


E. Penutup

Semua hal yang ada di atas hanyalah berupa suatu pemaparan yang tidak berarti jika tidak dilakukan berdasarkan suatu keinginan yang kuat dari setiap pribadi dalam kehidupan berjemaat. Oleh karena itu hal yang paling penting adalah menyadari kembali arti panggilan kita dalam kehiudpan sebagai orang percaya. Apakah kita hanya dipanggil sebagaiorang Kristen atau kita dipanggil untuk diselamatkan. Dua hal ini yang perlu untuk direnungkan kembali sebagai jemaat, majelis, vikaris, pendeta dan sebagai jemaat Tuhan. Doa dan penyembahan hanyalah salah satu dimensi rohaniyang harus elalu dengan setia dilakukan di dalam kehidupan sebagai orang percaya. Namun ada dimensi-dimensi yang lain yang juga harus diperhatikan menyangkut persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan, keberpihakan kepada orang miskin, kerelaan untuk berkorban, perhatian yang sungguh-sungguh kepada kelestarian lingkungan dan sebagainya. Tuhan Yrsus memberkati.

C. Kemah Suci (Tabernakel) Suatu Pola Hidup berjemaat (Bukan Dogma)



[1] Robert Davidson, Alkitab Berbicara, BPk Gunung Mulia, Jakarta, 1987, h. 57-59.

[2] Dalam perkembangan teologi gereja-gereja Pantekosta, salah satu gereja yang secara serius mengembangkan pola bergereja berdasarkan pola Tabernakel adalah Gereja Pantekosta Tabernakel (GPT). Saya meminjam pola Tabernakel yang dikembangkan oleh GPT untuk menjelaskan konsep doa dan penyembahan dengan menghubungkannya melalui penafsiran dari salah satu teks dalam Keluaran 30:1-10.

[3] Lih. The New Bible Dictionary, The Inter-Varsity Fellowship, London, 1963, h. 561.