Friday, June 8, 2007

Melali ke Peken

(Jalan-Jalan ke Pasar)

Seperti biasanya, saya senang setiap kali ada kesempatan untuk menghantar istri saya belanja ke pasar. Dan saya selalu bersemangat untuk membawa belanjaan, meskipun kadang-kadang berat. Tapi saya tahu di dalamnya pasti ada jajan pasar dan be guling kesukaan saya. Ehm…sedap…! Apalagi kalau musim panas, istri saya selalu membelikan es daluman, segar kali bah!

Satu waktu istri saya mengajak ke pasar di kota Negara. Di pasar karena terlalu ramai, saya hanya menunggu dan memperhatikan kegiatan-kegiatan yang terjadi di pasar tersebut. Dan saya mulai mengamati setiap interaksi yang terjadi di pasar tersebut dari depan sampai ke bagian yang paling dalam. Saya mulai dari depan. Ketika masuk di pintu pasar kita akan disambut dengan melihat sebuah pelangkiran yang di dalamnya terdapat banyak sekali canang. Tentu setiap pedagang (Hindu) yang ada di pasar tersebut memberikan persembahannya di altar nya. Harapannya jelas: hari ini dapat untuk banyak! Saya melewati bagian itu dan kemudian memperhatikan interaksi antara pembeli dan penjual yang ada di pasar tersebut.

Seorang perempuan muda sederhana, kelihatannya bukan orang berada dan pasti juga bukan orang Kristen karena di dahinya ada bija, tanda ia baru sembahyang. Ia datang ke penjual tomat: “Buk.. buk, kuda tomat ene ekilo”, perempuan muda itu bertanya. Si ibu tidak menjawab. “Buk, kuda tomat ene ekilo?” , ulang si perempuan muda. “Kenken dagange ene, kel medagang apa kel pules…”, Si perempuan muda hanya heran, tanpa marah sedikitpun. Kemudian dia ngeloyor pergi begitu saja karena si ibu dagang tetap saja tidak bangun-bangun. Tetapi yang pasti perempuan itu tidak menggerutu, bahkan tertawa cekikikan. Begitu juga dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, mereka tertawa bersama-sama. Senang juga ada hiburan pagi-pagi. Tertawa meskipun tidak dapat membeli buah tomat.

Di sudut toko penjual baju-baju seorang perempuan cantik setengah baya kelihatannya sedang sibuk menawar. Kelihatan dari penampilannya sepertinya orang yang ber-ada. Dengan rambut sedikit di blow, dahi nonong yang mengkilat, jam tangan yang berkilau (tapi saya lihat dari dekat jamnya menunjukan pukul 12.30, padahal pada waktu itu masih pagi) dan tentunya make up yang tidak kalah menyilaukannya. Baju warna putih tanpa kerah leher, dan….ada kalung salib nggantung di dadanya. Kristen, pasti Kristen menurut pikiran saya. Saya lebih mendekat lagi dan coba untuk mendengar perbincangan mereka. “ Kuda ajin baju duwuran ne gek…?” tanya si perempuan setengah baya. “Eh…empat puluh ribu bu” kata si penjual. “ Peh mahal sajaan…., dasa tali beee…?” Si penjual tersenyum, katanya, “Sing maan modal ne monto, jeg sampun ngepas sajan…”. Dibilang begitu si perempuan cantik itu lantas menggerutu dan sambil berjalan meninggalkan si penjual menggerumel, “Baju mudah… jeg ajin dagange mahal sajaaan…! Si penjual terpaku dan orang-orang di sekitarnya juga terpaku. Heran. Waktu saya berpikir mengapa mereka heran, saya akhirnya mendapat jawabannya. Mereka merasa heran karena: pertama, aneh melihat orang ke pasar dengan pakaian yang aujubilah noraknya. Kedua, kelihatannya kaya tetapi ternyata tidak bisa membeli plus marah-marah. Ketiga¸ masyaalah…gelang dan kalungnya…mengkilat eui!

Masuk lagi ke bagian utara kita akan disambut dengan bau amis daging ayam dan kotorannya, daging sapi dan ikan-ikan. Tetapi tepat di sebelah para penjual itu ada pura tempat persembahyangan. Setiap orang bisa sewaktu-waktu ke sana untuk bersembahyang, meskipun bau amis dan kotoran ayam, daging sapi dan ikan telah menghilangkan bau kemenyan yang dibakar. Saya memperhatikan sebagian dari mereka dengan hikmatnya menunaikan ibadahnya tanpa terganggu: tentu bau kotoran ayam.

Tiba-tiba dari belakang ada orang yang memukul punggung saya. Ah, ternyata istri saya dengan belanjaan yang seaberek-abrek. Tak apalah….. yang penting, ada jajan pasar dan be guling dan tentu es daluman. …..

Refleksi

Sadar atau tidak sadar, pasar rakyat adalah sebuah simbol dari konteks pluralitas masyarakat. Di dalamnya terjadi interaksi multikultural dan kepentingan yang oleh Herbert Mead di sebut dengan Interaksi Simbolik: Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.

Pasar adalah realitas simbolik akan arti pertukaran nilai dan makna melalui komunikasi. Komunikasi adalah universal. Dia bisa hadir melalui kata-kata (komunikasi verbal, misalnya menawar, tertawa bersama), simbol-simbol (pelangkiran, pura, warna, dll), perilaku (perhatikan sikap ibu muda yang sederhana dan ibu cantik yang sok kaya), bahkan nilai-nilai (kekhusukan dalam ibadah). Semua ini adalah realitas komunikatif yang pluralistik yang jika dibangun dengan baik maka akan menghasilkan tatanan-tatanan sosial yang kuat sebagai landasan hidup bersama (Commond ground). Dan dasar dari semua itu adalah kemauan untuk hidup bersama dan saling bertutur sapa.

Hidup bersama adalah sebuah kehidupan yang tidak membedakan kelas, SARA, status sosial, dimana semuanya itu oleh Marx dicap sebagai akar dari penyakit sosial. Pasar Negara tidak membedakan setiap orang yang datang untuk berbelanja ke sana. Sama seperti Gereja adalah ‘Pasar Rakyat”. Di dalamya ada begitu banyak manusia dari berbagai latar belakang sosial. Pertanyaannya tentu sejauh mana komunikasi pluralistik telah dibangun melalui gereja? Dalam kenyataannya tidakkah kita lebih sering mementingkan diri kita sendiri. Pembangunan sering dilihat sebagai gengsi para pemimpin gereja. Eksklusifitas rohani sering dilihat sebagai ukuran menilai orang lain atau gereja lain yang dianggap tidak rohani. Kekayaan adalah buah rohani sedangkan kemiskinan adalah buah dosa. Besarnya sumbangan pembangunan adalah ukuran kehormatan dan status rohani di gereja. KKR di gereja adalah indikasi jemaat yang hidup padahal Pembinaan Warga Gereja yang utuh terabaikan. Kepintaran sering dijadikan kesombongan dan menganggap kesederhanaan berpikir adalah kebodohan. Karismatik adalah kesalehan, kekritisan dianggap sekularisme. Familiy succsesfull adalah target kehidupan keluarga Kristiani. Yang tidak sukses…apakah tidak Kristiani? Utara adalah kesulitan, selatan adalah kemakmuran. Ada anggapan (sesat) lebih enak di gereja kota dari pada di gereja desa. Kompetisi adalah barang haram tetapi KKN adalah sebuah tawaran. Kedudukan adalah kenikmatan, oleh karenanya menjadi tujuan. Semuanya ini tentu tidak lebih dari bau kotoran ayam!

Saya hanya terhenyak ketika melihat Pura di dalam pasar didatangi umatnya yang tidak terkontaminasi dan terpengaruh oleh baunya kotoran ayam. Saya membayangkan jika setiap pemimpin umat dan seluruh umat Tuhan yang ada di gereja datang dengan kerendahanan hati serta penuh hikmat dan pulang dalam sikap hidup saling menghargai satu dengan yang lainnya dalam tegur sapa dan saling mengenal, tidakkah ‘bau’ dosa (iblis) itu akan hilang hilang? Yang adalah adalah kehikmatan, kesukacitaan dan perdamaian.

Saya terhenyak juga ketika melihat Pura berada di tengah-tengah pasar dengan bau kotoran ayam. Dimasuki oleh orang dengan dengan kaki telanjang. Tetapi terbuka dan selalu terbuka. Terbayang bahwa gereja tidak pernah berada di dalam pasar. Selalu berdiri dengan megah dan ornamen kemewahan. Tiada bau kotoran ayam tapi parfum wangi yang harganya sering dilebih-lebihkan oleh pengurus gereja. Tak ada orang datang dengan kaki telanjang, tetapi dengan sepatu dan baju yang terkesan baru. Ibadah dengan suara hingar bingar Band tanda Roh Kudus hadir, selalu begitu katanya. Setelah itu gereja akan ditutup sampai minggu depan. Silahkan mengambil kunci gereja di rumah koster gereja kalau ingin masuk, sebab pintu gereja tertutup! Tetutup: Jangan-jangan inikah kondisi gereja masa depan? Tetutup dari dunianya dan hanya melihat dunia “di atas” sebagai harapannya. Tertutup untuk mengenal orang lain, tertutup untuk melihat perbedaan sebagai keindahan, tertutup bagi ketidaksepahaman, tertutup bagi iman yang berlainan, tertutup untuk belajar dari orang lain, tertutup terus…sampai kapan gereja akan maju! Mungkin itulah sebabnya sekali waktu kita perlu melali ke peken!

No comments: