Sunday, April 29, 2007

Defenisi dan Konseptualisasi Simbol Keagamaan: Suatu Keharusan!

DEFINISI DAN KONSEPTUALISASI

SIMBOL KEAGAMAAN : Suatu Keharusan!

Maraknya polemik mengenai penggunaan simbol-simbol keagamaan suatu agama (Hindu di Bali) oleh agama lain (Kristen di Bali) merupakan suatu fenomena yang menarik bagi diskursus dialog keagamaan. Hal yang menarik terutama jika melihatnya dari kaca mata budaya Bali sebagai “pandangan dunia” (word view) dari masing-masing pemeluk agama tersebut. Sebagai suatu cara pandang maka kehidupan berbudaya secara praktis sebenarnya tidak dapat dilepas begitu saja meskipun di pengaruhi oleh nilai-nilai yang dipahaminya dari luar lingkungannya, apakah itu politik, sosial, ekonomi bahkan agama sekalipun. “Pandangan Dunia” sebagai bagian dari nilai-nilai kognitif murni dari masyarakat lokal merupakan suatu tindakan relektif-praksis yang bersifat konprehensif yang kemudian terealisasi di dalam simbol-simbol yang dianggap bermakna. Simbol-simbol inilah yang kemudian ditangkap oleh agama dan digunakan sebagai icon-icon untuk lebih mendekatkan umat (yang berbudaya) dengan sang Khlik. Persoalannya sekarang adalah sejauh mana agama mampu mendefenisikan dan mengkonseptualisasikan simbol-simbol budaya tersebut secara sitematis-telogis menjadi suatu tatanan keagamaan yang utuh. Pada dataran inilah peran kontekstualisasi keagamaan memainkan peranannya.

Pemahaman mengenai peran kotekstualisasi keagamaan sebenarnya tidak bermaksud untuk mencampuradukkan nilai-nilai budaya secara gegabah ke dalam lingkup keagamaan maupun sebaliknya. Dalam sejarah ke-Kristenan usaha kontekstualisasi sebenarnya hanya merupakan sebuah usaha untuk mendekatkan nilai-nilai “budaya Kristiani” yang telah bersifat Barat kepada nilai-nilai lokal yang bersifat timur. Sehingga terjadi apa yang dalam bahasa sosiologi sebagai proses asimilasi. Dalam model kontekstualisasi yang semacam ini tentunya kedua nilai yang bertemu tidak saling meniadakan tetapi lebih pada menyesuaikan diri satu dengan yang lainnya dan secara kritis dan dinamis melakukan suatu pembaharuan yang konstruktif.

Bagi orang Hindu Bali persoalan kontekstualisasi sebenarnya juga bukan hal yang baru. Nilai-nilai ke-Hinduan yang berasal dari India yang kemudian terintegrasi ke dalam kebudayaan Bali secara jelas merupakan usaha kontekstulisasi yang bersifat konstruktif-kritis yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama dan yang secara praktis sebenarnya sudah jauh berbeda dengan nilai-nilai Hindu di India. Dan simbol-simbol yang dipakai kebanyakan juga merupakan simbol-simbol yang bersifat kontekstual dari pandangan dunia atau budaya orang Bali sendiri.

Dari urian ini nampak dengan jelas bahwa persoalan kontekstualisasi sebenarnya merupakan respon keagamaan yang sangat natural sebagai reaksi terhadap usaha untuk mempertahankan nilai-nilai kebudayaan yang ada di dalam masyarakat lokal. Masyarakat lokal yang dimaksud dalam hal ini adalah masyarakat yang secara etnologis berada pada tingkatan kebudayaan yang sama, dan secara historis sebelum masuknya agama memiliki simbol-simbol yang sama pula. Ketika agama memasuki ruang-ruang kebudayaan di dalam suatu masyarakat lokal maka simbol-simbol ini secara otomatis terbawa juga. Apa yang terjadi kemudian adalah agama menjadi sarat akan simbol-simbol baik yang bersifat an sich agama maupun yang berasal dari proses kontekstualisasi nilai-nilai kebudayaan masyarakat lokal. Dalam bahasa Clifford Geertz disebutkan bahwa agama pada akhirnya merupakan sistem simbol-simbol yang berlaku untuk menetapkan suasana hati dan motivasi yang kuat, yang meresapi dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tantanan umum eksistensi dan membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga suasana hati dan motivasi itu tampak khas realitis (Geertz, 1974).

Pemahaman bahwa agama merupakan sistem simbol-simbol inilah yang harus dipahami di dalam polemik mengenai simbol-simnol keagamaan yang berkembang saat ini. Dalam kerangka dialog keagamaan persoalannya bukan pada mengapa orang atau agama lain menggunakan simbol-simbol yang dianggap khas suatu agama, tetapi sejauh mana orang atau agama tersebut memaknai simbol-simbol yang digunakan tersebut? pertanyaan ini penting karena menyangkut pada simbol sebagai suatu nilai kebudayaan umum pra Hindu di Bali dan pra Kristen di Bali yang kemudian dikontekstualisasikan menjadi simbol-simbol keagamaan baik pada agama Hindu maupun agama Kristen di Bali saat ini. Kejernihan di dalam berpikir semacam ini akan memudahkan untuk membuat definisi-definisi yang bersifat konseptual mengenai makna simbol-simbol tersebut bagi agama masing-masing. Ini tugas kita bersama, umat Hindu di Bali dan secara khusus umat Kristen di Bali.

No comments: