Sunday, April 29, 2007

Gereja dalam Budaya Satanik

Akhir-akhir ini media televisi marak dengan tayangan-tayangan mistik. Hampir semua stasiun TV di Indonesia menampilkan acara sejenis dengan berbagai macam ragamnya. Bahkan ada yang berani menyiarkannya secara langsung. Maraknya acara-acara tersebut tidak dapat dilepaskan dari banyaknya juga respon pemirsa televisi terhadap acara tersebut. Indikasi ini dapat dilihat dari jumlah iklan yang cukup banyak untuk acara-acara itu. Ditambah lagi dengan adanya sinetron-sinetron televisi yang juga menampilkan tema-tema sejenis. Bahkan film-film Indonesia di Bioskop juga tidak lepas dari tayangan yang demikian. Sehingga hampir sebagian besar waktu menonton -- yang parahnya sebagian besar adalah anak-anak dan remaja—telah dijejali dengan sajian mistik tersebut. Pertayaannya tentu mengapa stasiun televisi senang menyajikan hal yang demikian dan penonton televisi juga senang untuk menontonnya?

Gejala ini sebenarnya dengan mudah dapat dilacak secara sosiologis. Pasca orde baru bagi bangsa ini adalah suatu masa yang tidak pasti. Ekonomi hancur, politik yang carut marut, munculnya konflik horizontal (antar masyarakat) sebagai sebuah ledakan dahsyat akibat tekanan yang begitu lama dan kuat oleh rezim orde baru dan tentu kemiskinan yang semakin parah. Dalam suasana yang demikian orang hidup dalam suatu ketidakpastian. Kecenderungan mencari pemecahan masalah kehidupan secara cepat merupakan pilihan yag tidak dapat ditawar-tawar. Dalam kondisi yang demikian segala sesuatu menjadi rasional. Bahkan yang irasional menjadi sesuatu yang rasional. Pilihan hidup mejadi sangat simplisistik (sederhana) namun kebutuhan hidup menjadi sangat besar dan mahal. Mulai dari kebutuhan makan hingga pendidikan anak-anak. Pada sisi lain akibat dari kondisi yang demikian telah mengakibatkan tingkat pengangguran yang tinggi pula. Semuanya telah menumpuk menjadi satu yang kemudian menghasilkan mimpi-mimpi, harapan-harapan yang sebenarnya merupakan dampak dari kefrustasian. Dalam kondisi demikan segala sesuatu dapat dengan mudah mempengaruhi setiap orang. Termasuk mistik yang bukan lagi menjadi alternatif pemecahan masalah kehidupan tetapi telah menjadi pilihan utama masyarakat yang frustasi atau Eric Fromm menyebutnya “masyarakat yang gila” (1963).

Mistik dan Budaya Populer

Mistik dan budaya populer agaknya dua ruang yang sangat berbeda. Mistik berada dalam ruang eksklusif (tertutup) dan yang lainnya berada dalam ruang inklusif (terbuka). Mistik cenderung statis (pasif) dan budaya popular cenderung sangat dinamis (aktif). Keduanya seolah berjalan dalam dua jalan yang berbeda. Namun media televisi telah mempersatukan keduanya menjadi bagian yang utuh. Mistik tidak lagi berada di ruang eksklusif tapi sudah berada dalam ruang publik yang inklusif. Dia (mistik) akhirnya telah menjadi bagiaan yang utuh dalam dunia entertainment layaknya sebuah iklan. Sebagai sebuah iklan pesan apa yang hendak disampaikannya? Pesannya sangat jelas, bahwa mistik dalam segala bentuknya bukanlah sesuatu yang menakutkan. Ia adalah bagian dari

kehidupan alam sadar dan alam bawah sadar kita. Menempatkan mistik (dalam pengertian realitas alam gaib/setan) dalam konteks budaya popular berarti mengakui adanya eksistensi kekuatan mistik tersebut dalam dunia riil. Hal yang menarik adalah tawaran dalam dunia mistik merupakan tawaran yang selalu dianggap jelas dan cepat. Hal inilah yang kemudian dalam konteks masyarakat yang frustasi telah mendapatkan tempatnya tersendiri di hati pemirsa televisi. Orang senang dengan cara tersebut karena di dalamnya menyajikan jawaban-jawaban atas keadaan frustasi yang dihadapinya. Ungkapan-ungkapan bahwa setan itu baik, tidak mengganggu, saling bertenggang rasa, jangan saling mengganggu dan sebagaiannya, sebenarnya merupakan ungkapan-ungkapan yang meredakan patologi neurosis kita yang sedang sekarat. Satanic show adalah bagian yang tidak henti-hentinya menjejali kita dalam realita budaya populer melalui media televisi. Walahuallam….

Bagaimana dengan Warga Gereja?

Dalam pengamatan secara sepintas nampak dengan jelas bahwa sebagian warga gereja juga menyenangi acara-acara ini. Tentu tidak salah juga untuk melihatnya. Namun yang menjadi persoalan adalah bahwa dengan menonton tayangan-tayangan itu sebenarnya kita telah masuk dalam dunia popularitas mistik tersebut. Apa akibat dari semuanya itu bagi warga gereja (masyarakat)?

Satu tema yang tidak bisa dilepaskan dari seluruh tayangan mistik itu adalah munculnya tema kekerasan dalam bentuk korban. Apakah itu korban binatang yang menghasilkan darah ataupun korban manusia yang menjadi sarana dalam membuktikan keadaan gaib tersebut. Kita sering melihat orang diminta untuk tinggal sendirian dalam kegelapan untuk membuktikan apakah ada atau tidaknya nuansa alam gaib di sekitar tempat yang dianggap angker. Ini adalah salah satu model KEKERASAN yang oleh Galtung disebut dengan kekerasan structural (1980). Kekerasan model ini tidak secara fisik tetapi menghancurkan melalui proses batin. Ketika orang merasa terancam dalam pekerjaan, lingkungan, atau merasa takut karena sesuatu hal maka dalam dirinya orang tersebut telah mengalami proses kekerasan. Parahnya, suasana kekekerasan yang demikian itu ditonton oleh ribuan orang. Dengan demikian terjadi transfer kekerasan secara sosial yang tidak disadari oleh masyarakat. Sadarkah bahwa kita sekarang berada bahkan ada di dalam proses kekerasan tersebut? Akibat psikologis yang paling jelas dari transfer model kekerasan ini adalah munculnya mentalitas penakut dalam kehidupan masyarakat. Mentalitas yang tidak berani bertangung jawab dalam segala hal dan cenderung menyalahkan orang lain sehingga orang lain juga menjadi takut. Ketakutan ini mengakibatkan orang cenderung tidak dapat lagi memikirkan hal-hal yang positif di dalam kehidupannya. Orang selalu berusaha mencari jalan pintas bahkan sampai-sampai harus mengakhiri kehidupannya. Dalam harian Bali Pos pada akhir Desember 2004 memuat sebuah laporan yang mencengangkan bahwa tahun 2004 terjadi peningkatan yang signifikan terhadap kasus bunuh diri di Bali. Tentu ini menjadi sangat ironis jika dibandingkan dengan masyarakat yang katanya sudah semakin modern dan rasional. Dalam hal ini nampak dengan jelas bahwa kasus bunuh diri ini mengindikasikan adanya korelasi yang jelas antara kekerasan yang bersifat struktural dan kekerasan yang bersifat personal. Jika kekerasan struktural dianggap hanya mempengaruhi secara psikologis namun pada kenyataannya juga memiliki implikasi yang jelas terhadap kekerasan secara fisik. Menurut Galtung (1980) kekerasan personal dan kekekrasan struktural perbedaannya sebenarnya tidak terlalu tajam. Keduanya mempunyai hubungan kausal dan mungkin juga hubungan dialektis. Jika hal ini benar, maka apa yang disebutkan di atas sebagai transfer kekekerasan melalui media televisi mendapatkan legitimasinya.

Untuk semakin membutikan bahwa terjadi korelasi yang signifikan diantara kekerasan struktural dan kekerasan personal dapat juga dilihat dari berita-berita pada siang hari di televisi yang hampir 70% menayangkan berita kekerasan personal, baik itu pembunuhan, pemerkosaan, pemerasan, kriminalitas dan sebagainya.

Oleh karena itu betapa pentingnya pendidikan mengenai pemanfaatan televisi di dalam kehidupan masyarakat khususnya di dalam kehidupan bergereja. Jangan pernah menganggap tayangan-tayangan televisi tersebut tidak mempunyai makna secara sosiologis. Apa yang terjadi dalam penayangan-penayangan dunia gaib yang selama ini popular di masyarakat telah membuahkan hasilnya dalam konteks kekerasan secara personal. Mungkin bagi orang yang membela dan senang terhadap penayangan tersebut dapat mengatakan bahwa hal itu hanyalah sebagai tontonan yang bersifat refreshing semata-mata. Namun bagi banyak orang hal ini telah mempengaruhi kehidupan secara sosiologis. Dan sayangnya pengaruh tersebut bukan mengarah pada hal yang positif tetapi pada hal yang negatif.

Oleh karenanya saya menyarankan kepada warga jemaat untuk secara bertahap mengurangi bahkan tidak menonton sama sekali tayangan-tayangan yang berbau mistik kegelapan tersebut dan juga tayangan-tayangan kekerasan yang ada di televisi. Dan menggantikannnya dengan menontonton tayangan-tayangan yang membangun baik dari segi pendidikan maupun penambahan ketrampilan. Secara khusus bagi anak-anak kiranya diberikan pemahaman secara benar oleh orang tua agar memilih acara-acara yang sesuai dengan tingkatan umur dan pemahaman anak. Gereja sebaiknya dapat menjadi agen pembaharu dengan menciptakan slogan anti kekerasan dan anti tahayul-tahayul modernisme melalui wadah pendidikan sekolah, katekisasi atau pengajaran-pengajaran, bahkan korbah-kotbah di jemaat.

Tentu tidak mudah untuk memberitahukan kepada stasiun televisi untuk menyiarkan acara-acara yang bermutu bagi masyarakat. Namun secara moral sudah seharusnya televisi menyajikan acara-acara yang bermutu sebagai kesadaran bahwa televisi adalah media pendidikan bagi masyarakat.

No comments: