Sunday, April 29, 2007

PERSATUAN DIDALAM KEPELBAGIAN JEMAAT :


A. Pendahuluan

Realitas politik dan ekonomi yang berkembang di dalam konstelasi masyarakat Indonesia di tahun belakang ini telah tergiring kepada suatu situasi yang sangat parah. Dalam perkembangan politik ditandai dengan hancurnya legitimasi kekuasaan orde baru dan digantikan dengan orde reformasi yang sarat dengan politik kekerasan serta disintegrasi sosial. Kehancuran dalam bidang ekonomi yang ditandai dengan melemahnya kemampuan sektor ekonomi riil berhadapan dengan kekuatan ekonomi pasar global telah memperburuk kinerja sistem ekonomi bangsa ini. Buruknya kondisi politik dan ekonomi tersebut telah menghasilkan dampak yang paling parah adalah disintegrasi sosial atas nama agama dan budaya. Kasus-kasus pembakaran gereja-gereja dan mesjid di beberapa daerah di Indonesia, konflik etnis di Kalimantan, “Perang Salib”, di Ambon, kasus Aceh dan kemerdekaan Timor-Timur, semuanya menandai sedang berjalannya proses disintegrasi bangsa. Pertanyaannya adalah apa yang harus kita lakukan saat ini? Gereja hendak berbuat apa mengenai masalah besar ini? Akankah dis-harmonisasi pluralitas kultural dan agama ini kita biarkan terjadi pada bangsa ini ?

Tulisan ini tentunya tidak ingin menyelesaikan persoalan-persoalan besar tersebut. Persoalan sederhana yang ingin diangkat adalah bagaimana gereja mampu menghargai pluralitas yang ada didalam konteks kehidupan berjemaat sebagai sebuah realitas mikro bangsa. Kecurigaan yang muncul adalah jangan-jangan proses disintegrasi yang terjadi dalam konteks makro (bangsa) juga akan terjadi didalam konteks mikro berjemaat (gereja). Hal ini dengan mengingat bahwa pluralitas kehidupan berjemaat merupakan realitas yang tidak bisa diabaikan. Jika hal ini benar-benar terjadi bagaimana dengan proses misi yang harus diemban oleh gereja sebagai sebuah institusi sosial dan keagamaan?

B. Refleksi Teologis

1. Amanat I Korintus 12 : 12-31

Sengaja saya mengambil surat I Konrintus 12 : 12-31 sebagai landasan didalam merefleksikan kondisi Gereja yang hadir ditengah situasi dan kondisi keterpurukan bangsa. Saya menyadari bahwa latar belakang surat tersebut tentunya tidak memiliki latar belakang yang politis maupun ekonomis. Tetapi sebaliknya adalah konflik perpecahan intern didalam jemaat korintus. Paulus dengan tegas memiliki suatu sikap untuk mempersatukan jemaat di Korintus. Akan tetapi persatuan yang dimaksud oleh Paulus adalah dengan memperhatikan dan tanpa mengadakan perbedaan-perbedaan yang ada didalam jemaat, dalam hal ini adalah karunia-karunia yang dimiliki oleh jemaat. Oleh sebab itu amanat yang terpenting dari perikop ini adalah persatuan didalam kepelbagian yang ada di dalam jemaat. Kepelbagian yang ada tersebut, sebenarnya merupakan karunia-karunia “potensial”. Oleh sebab itu karunia-karunia “potensial” tersebut seharusnya ditingkatkan keberadaannya didalam rangka kesatuan dn pembangunan Tubuh Kristus dan Jemaat-Nya, agar tetap memiliki eksistensi yang nyata dan kuat di dalam dunia ini.

2. Gereja Sebagai Fungsi Dari Keselamatan

Tidak dapat disangkal bahwa kehadiran gereja di dalam dunia ini merupakan sebuah “karya besar” di dalam rangka pembebasan umat secara universal. Karya Allah dalam misinya di dunia ini, yang diwujudkan di dalam pengutusan anak-Nya yang tunggal, pada akhirnya mewujudkan gereja.

Karena misi Allah adalah menyelamatkan dan membebaskan umat manusia dari belenggu penjajahan (Kel. 3: 7-8) dan dosa yang mengakibatkan kebinasaan (Yoh. 3: 16) serta memberitakan Tahun Rahmat Tuhan kepada sekalian orang (Luk. 4: 18-19), maka Gereja sebenarnya adalah fungsi dari keselamatan tersebut. Sebagai fungsi, maka keberadaan Gereja lebih ditekankan pada persoalan tugas dan panggilannya di dunia ini untuk menyelamatkan umat manusia yang berdosa. Pemahaman semacam ini tentunya tidak dapat diartikan bahwa gereja adalah sama dengan keselamatan itu sendiri.

Karena gereja dipahami sebagai fungsi dari keselamatan tersebut, maka gereja pada akhirnya harus memiliki unsur-unsur yang fungsional. Jika unsur-unsur yang fungsional tersebut dipahami sebagai bagian dari gereja, persoalannya sekarang adalah bagaimana unsur-unsur yang fungsional tersebut mampu mengarahkan dirinya kepada pemahaman gereja sebagai sebuah fungsi dari keselamatan tersebut.

Jika kita bandingkan dengan apa yang terdapat di dalam surat Paulus kepada Jemaat di Korintus (I Kor. 12: 12-31), maka Paulus mau mengatakan bagaimana seharusnya setiap anggota jemaat mampu mengarahkan dirinya kepada kesatuan di dalam perbedaan-perbedaan yang ada di didalam jemaat. Jadi, Paulus dalam hal ini belum berbicara mengenai persoalan bagaimana unsur-unsur yang fungsional, dalam hal ini adalah jemaat, untuk mengarahkan dirinya kepada pemahaman “gereja” sebagai fungsi dari keselamatan. Tetapi baru berbicara pada dataran persoalan mengenai eksistensi dari unsur-unsur yang fungsional tersebut. Apakah itu berarti bahwa Paulus tidak mengartikan gereja sebagai fungsi dari keselamatan terhadap manusia secara universal? Jawabannya tentu TIDAK! Karena Paulus sendiri mengatakan bahwa jemaat adalah sebagai persekutuan yang dikuduskan dan diselamatkan (bkd. I Kor. 1:2; Gal. 1: 3-4; Rom. 1:7). Karena gereja/jemaat adalah suatu persekutuan orang percaya yang dikuduskan dan diselamatkan oleh Allah, maka sebagai konsekwensinya gereja memiliki tugas (fungsi) terhadap keselamatan yang universal. Tetapi sebelum sampai kepada kesimpulan bahwa gereja adalah sebagai fungsi dari keselamatan, menurut Paulus yang pertama-tama adalah bagaimana gereja (dimana jemaat berkumpul di didalamnya) terlebih dahulu menyadari secara sungguh-sungguh akan fungsinya tersebut.

Jika kita kembali kepada pertanyaan bagaimana unsur-unsur yang fungsional tersebut mampu mengarahkan dirinya kepada pemahaman gereja sebagai fungsi dari keselamatan, maka jawabnya tentu tidak terlepas dari kesadaran terhadap kesatuan di dalam kepelbagian tersebut. Artinya bahwa gereja tidak akan mampu menjadi gereja yang mempunyai fungsi dari keselamatan jika unsur-unsur yang fungsionalnya tidak memiliki kesadaran akan kesatuan di dalam kepelbagian tersebut.

3. Gereja Misioner Sebagai Sebuah Kesaksian Sosial: Aplikasi dari Pemahaman Gereja sebagai Fungsi dari Keselamatan

Jika kita melihat kepada sejarah gereja mula-mula, maka tidak dapat diragukan bahwa gereja sebenarnya adalah sebuah gereja yang misioner. Dimana tekanannya tentu pada proses pelipatgandaan warga jemaat-jemaat baru. Dan Alkitab menyaksikan akan hal tersebut merupakan suatu perkembangan yang sangat pesat.

Pemahaman gereja yang misioner seperti di atas tentunya sesuatu yang tidak dapat disangkal. Dan itu berarti bahwa pemahaman seperti itu juga merupakan bagian dari keberadaan gereja saat ini. Meskipun harus dicatat bahwa pemahaman semacam itu tidak bisa lagi dipahami secara statis. Hal ini tentu merupakan akibat langsung dari situasi gereja yang berkembang kesegala arah dengan situasi dan kondisi yang sangat berbeda. Apalagi dalam konteks di Indonesia yang sangat pluralis, tentunya jika gereja misioner dipahami secara statis begitu saja seperti di atas maka akan terbentur pada nilai-nilai kepentingan yang lain (baca : agama lain).

Oleh sebab itu yang diperlukan saat ini adalah pentingnya sebuah “strategi baru” terhadap pemahaman gereja yang misioner, yaitu bagaimana, “melatih agar mereka mampu menghubungkan iman Kristiani dengan membina jemaat yang misioner yang juga melibatkan dan mengkoorganisasikan kegiatan warga gereja serta melengkapi masalah-masalah dan tantangan di dalam masyarakat”. Strategi ini dipakai karena jika memahami misi itu bukan berarti hanya didominasi oleh para pemimpin-pemimpin jemaat, tetapi juga adalah warga jemaat. Artinya bahwa pemahaman misioner adalah pemahaman yang melibatkan jemaat secara utuh dengan melihat potensi-potensi yang ada di dalam jemaat yang tidak hanya dalam rangka sebuah misi yang konvensional akan tetapi juga berbagai sebuah kesaksian sosial.

4. Fungsi Warga Jemaat Yang Misioner : Peningkatan Kualitas

Disadari bahwa gereja tidak bisa melepaskan dirinya sebagai gereja yang berperan sebagai fungsi dari keselamatan. Akan tetapi pemahaman yang terpenting di dalam konteks misi ini adalah dengan memulainya dalam kehidupan bergereja itu sendiri. Itu berarti gereja harus terus meningkatkan dan mempersiapkan setiap warga gereja dalam fungsinya sebagai bagian dari gereja yang misioner (peningkatan kualitas hidup berjemaat).

Jika hal tersebut dipahami sebagi sesuatu yang meningkatkan dan mempersiapkan warga jemaat sebagai bagian dalam fungsi gereja yang misioner, maka hal tersebut sebenarnya lebih dititik beratkan pada peningkatan kehidupan secara potensial dari setiap warga jemaat. Hal ini menjadi sesuatu yang penting, karena yang terjadi selama ini adalah tekanannya hanya bertumpu kepada “golongan elite” di gereja saja. Untuk saat ini hal tersebut sebaiknya lebih diarahkan kepada warga jemaat secara utuh. Karena warga jemaat ini inilah yang selalu hadir di dalam proses sosialiasi kehidupan bermasyarakat secara luas. Hal itu berarti peranan Pembinaan Warga Gereja menjadi sesuatu yang penting di dalam mewujudkan misi Allah di dunia.

Persoalan yang muncul tentunya adalah apakah proses tersebut nantinya juga akan mengarahkan kepada perwujudan nilai-nilai Kristiani di dalam masyarakat sosial (Kristen Kultural)? Dari satu sisi hal ini bisa terjadi dan dengan demikian pada akhirnya akan jatuh pada persoalan Kristenisasi kembali, yang tentunya akan menghasilkan sikap konfrontatif dari golongan kepentingan yang lain. Untuk tidak terjatuh pada persoalan tersebut, perwujudan gereja misioner yang mengarahkan kepada kesaksian sosial, sebaliknya merupakan sebuah kesaksian sosial yang dilandasi benar-benar oleh konsep KASIH (bdk. I Kor. 13 :13). Konsep kasih di sini tentunya dipahami sebagai konsep kasih yang universal dan bukan sebagai sesuatu yang ekslusif. Seperti Yesus yang memerintahkan untuk mengasihi sesama manusia (universal). Demikian juga Paulus yang ternyata sangat menghargai dan menghormati prinsip ini di di dalam kehidupan berjemaat.

Kembali kepada situasi bangsa Indonesia saat ini, maka ada dua keuntungan jika ke- Kristenan menerapkan konsep misi yang demikian, yaitu :

1. Kesempatan bagi gereja untuk “memperbaharui” diri dalam kerangka kehidupannya di tengah dunia.

2. Peranan gereja di dalam kehidupan masyarakat sosial menjadi jelas.

Artinya dengan situasi bangsa saat ini, gereja sudah saatnya mampu menginventarisasikan kepelbagian “karunia-karunia” yang terdapat di dalam jemaat, untuk kemudian mengembangkannya dalam pola-pola kehidupan bermasyarakat yang pluraris. Sekali lagi tidak harus selalu diartikan dalam kerangka misi yang konvensional akan tetapi sebagai sebuah kesaksian sosial yang sungguh-sungguh di tengah dunia ini (baca : Indonesia). Meskipun harus diakui bahwa sering sekali muncul kesulitan-kesulitan di dalamnya, pertama tentu dari segi teologi dan kedua dari segi institusional.

Menurut saya, gereja saat ini harus mampu keluar dari kedua persoalan ini. Dari segi teologi, gereja harus mampu memperbaharui sikap berteologi yang pasif kepada kondisi yang aktif. Kondisi yang cenderung kepada sikap paternalistik di dalam gereja sudah seharusnya diarahkan kepada sikap “ gereja yang fungsional”. Meskipun tidak dapat disangkal bahwa pada akhirnya gereja harus memliki sistem yang “hirarkis”. Tetapi harus diingat bahwa sistem yang hirarkis tersebut bukan dalam pemahaman mengenai kepentingan, tetapi lebih ditujukan kepada persoalan fungsionalisasi (bkd. konsep satu, tubuh banyak anggota), yang mengarahkan kepada kesatuan dan pembangunan tubuh Kristus. Meskipun dalam bahasa Rasul Paulus dikatakan bahwa adanya Rasul, Nabi dan pengajar adalah sebagai dasar pembentukan Gereja yang adalah Tubuh Kristus (Ef. 2: 20;4: 12). Tetapi hal tersebut sebenarnya lebih diartikan kepada fungsi mereka untuk mengatur dan mengembangkan kehidupan jemaat (orang yang berkharisma untuk mengatur jemaat).

Jika hal yang pertama masih bersifat lokal, maka hal yang kedua sebenarnya sudah bersifat antar jemaat. Persoalan institusional muncul karena gereja masih sangat berfikir mengenai persoalan massa jemaat. Artinya gereja lebih jatuh pada persoalan organisatoris belaka. Dari satu sisi hal ini tentu bukan sesuatu yang bernilai kurang, akan tetapi pada akhirnya gereja cenderung jatuh pada persoalan kepentingan kelompok, pemisahan diri, (bersifat eksklusif) dan cenderung melihat yang lain sebagai saingan atau ancaman. Jika hal tersebut yang terjadi, maka sikap institusional yang demikian bukanlah sesuatu yang dapat dibenarkan.

C. Penutup

Kesadaran akan pluralitas yang ada di dalam jemaat dan berusaha untuk meningkatkan kualitas dari potensi kepelbagian karunia-karunia tersebut, maka secara langsung gereja telah terhindar dari proses disintegrasi kehidupan berjemaat. Kondisi yang integratif dari kehidupan plural yang berjemaat, yang ditandai dengan kualitas hidup setiap jemaat, merupakan kekuatan utama di dalam peran serta gereja bernegara. Dalam jangka panjang kondisi semacam itu akan memampukan gereja untuk ikut ambil bagian secara berani dan tegas di dalam menyelesaikan setiap persoalan yang ada di dalam bangsa ini.

No comments: