Sunday, April 29, 2007

Inklusifitas Kesadaran Hidup Beragama: Refleksi Kristen - Islam


Persoalan eksklusifitas keagamaan merupakan suatu hal yang secara historis telah menghasilkan konflik atas nama kekerasan. Dalam catatan sejarah dapat diurutkan daftar yang cukup panjang mengenai konflik antar dan inter agama. Tidak usah jauh-jauh sampai ke luar negri, di Indonesia saja dapat dicatat sekian banyak konflik yang didasarkan atas nama agama. Pertanyaan yang paling sederhana atas hal itu semua adalah mengapa agama justru menjadi sebuah sarana bagi legitimasi nilai-nilai kekerasan? Bukankah agama mengajarkan orang untuk saling mengasihi, berbela rasa, murah hati dan semua yang baik bagi kehidupan kemanusiaan? Dan kitapun sadar bahwa kebaikan yang diajarkan oleh agama merupakan kebaikan yang bersifat inklusif. Tidak ada agama yang hanya mengajarkan kebaikan hanya untuk saudara yang seagama saja (eksklusif). Tetapi pada kenyataannya terjadi “pergeseran-pergeseran pemahaman” yang secara praktis menghasilkan buahnya yaitu kekerasan. Tentu tidak mudah untuk menjawab mengapa hal ini bisa terjadi. Kita harus mencari terlebih dahulu akar-akar keeksklusifan dari pemahaman keagamaan tersebut.

Agama dan persoalan Interpretasi

Agama, secara sosiologis, tidak hanya dipahami sebagai perangkat dari perintah Tuhan yang diterima oleh para nabi, tetapi ia juga merupakan sebuah fenomena sosiologis yang memiliki kriteria-kriteria social. Kriteria-kriteria itu dipahami berdasarkan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga pemahaman keagamaan, secara sosiologis, berkembang sejalan dengan perkembangan dari masyarakat dimana agama itu ada. Di sinilah kita bias memahami mengapa bagi sebagian bangsa agama memainkan peran yang begitu kuat dalam kehidupan negara (politik) Hal ini karena sejak dari semula agama telah memainkan peranannya di dalam kehidupam masyarakat dan menjadi salah satu penentu di dalam kebijakan-kebijakan negara.

Karena agama berjalan searah dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat maka kecenderungan menempatkan kepentingan agama sebagai kepentingan masyarakat menjadi sangat besar pula. Sebagai suatu kepentingan maka konsekuensi yang diterima adalah bahwa pemahaman keagamaaan cenderung dilihat berdasarkan kepentingan segolongan ataupun sekelompok orang di dalam masyarakat. Dan dengan demikian interpretasi nilai-nilai keagamaan ‘disesuaikan’ dengan kepentingan kelompok di dalam masyarakat. Kondisi semacam ini secara political empiric (dalam beberapa kasus) telah menciptakan nilai-nilai keeksklusifan dan bersifat destruktif di dalam kehidupan masyarakat.

Contoh yang paling konkret untuk hal ini adalah ketika agama dipakai sebagai sebuah dasar bagi kepentingan politik atas nama seluruh bangsa Indonesia. Hal ini menjadi naif karena dalam masyarakat majemuk (baik agama maupun budaya) seperti Indonesia, tidaklah mungkin menciptakan nilai-nilai satu agama sebagai sebuah dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Mis-interpretasi terhadap ajaran-ajaran keagamaan telah membawa orang kepada kesimpulan-kesimpulan yang keliru tentang arti dari setiap ajaran yang harus diterapkan bagi pemeluk agama.

Iman dan Tindakan Tanpa Batas

Pemahaman tentang iman merupakan hal yang sangat penting artinya di dalam memahami nilai-nilai inklusifitas keagamaan. Dalam banyak hal terdapat banyak kesamaan pengertian tentang iman di dalam kehidupan beragama. Dalam hal ini catatan mengenai pengertian iman dari kaca mata ke-Kristenan dan Islam dapat membantu kita untuk melihat persamaan makna tersebut.

Ke-Islaman sendiri memahami iman sebagai suatu defenisi verbal yang menggambarkan orang beriman sebagai seorang yang sangat saleh, yang di dalam hatinya selalu disebutkan Asma Allah dan ini cukup untuk membangkitkan perasaan khidmat yang mendalam.

“Sesungguhnya Orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebutkan nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal, yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya” (Q.VIII:2-4)

Pada sisi lain pemhaman tentang orang yang saleh itu juga merupakan suatu manifestasi dari penampakan luar orang beriman seperti yang ditulis:

“Mereka itu (orang beriman) adalah orang-orang yang bertaubat,yang beribadat, yang memuji Allah, yang melawat, yang ruku dan sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf danmencegah berbuat munkar dan memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah oranmg-orang mu’min itu”. (Q.IX:112-113)

Dari kutipan-kutipan ini dapat dipahami bahwa terdapat dimensi holistik atas pemahaman iman dari ajaran Islam. Dimensi kesalehan untuk berbuat baik bagi diri sendiri merupakan titik awal untuk dapat melakukan kebaikan bagi orang lain. Usaha untuk berbuat ma’ruf dan mencegah yang bersifat munkar adalah suatu usaha demi dan untuk kebaikan yangbersifat menyeluruh dan tidak hanya bersifat partikularis.

Pada sisilain ke-Keristenan juga memahami iman sebagai sebuah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti akan segala sesuatu yang tidak kitalihat (Ibrani 11:1). Pemahaman iman yang seperti ini bukanlah merupakan sebuah pemahaman iman yang bersifat statis dan fatalis. Surat Ibrani ditujukan kepada orang-orang Kristen yang mengalami kelesuan dan frustasi. Oleh sebab itu iman yang sungguh-sungguh kepada Allah membawa orang agar mempunyai semangat menghadapi masa kini dan masa depan dengan optimis dan lebih baik. Orang beriman dalam konteks pemahaman yang demikian tidak bersifat fatalis tetapi justru merupakan transformator di dalam perjuangan mentransformasikan dunia yang semakin kacau. Yang dimaksud dengan perjuangan mentransformasikan dunia adalah perjuangan melawan sengsara, derita, kepahitan dan ketiadaan makna hidup bagi manusia (bukan hanya bagi orang Kristen) tanpa kekerasan. Di sinilah kitadapat memahami dengan lebih baik ungkapan bahwa “…Inilah kemenangan yang mengalahkan dunia: iman kita! (I Yohanes 5:4). Proses mengalahkan dunia tidak dapat dilihat hanya sebagai kemenangan orang Kriten atas orang yang bukan Kristen, melainkan dengan iman kita bersama mengalahkan dunia yang di dalamnya terdapat begitu banyak ketidakadilan, keserakahan, kemunafikan, kekerasan dan lain sebagainya yang bersifat munkar.

Hal yang dapat dipahami dalam dua pandangan agama mengenai iman tersebut adalah bahwa keduanya berbicara mengenai lingkup kehidupan orang beriman yang melewati batas-batas keagamaan itu pada dirinya sendiri. Pada kenyataannya keagamaan sering dianggap sebagi satu-satunya manifestasi wahyu Ilahi dan karenanya orang dapat mengimani sang Ada tersebut hanya dalam batas-batas keagamaan yang diyakininya. Akan tetapi, dalam pemahaman iman yang demikian, bukan berarti bahwa agama merupakan nilai mutlak kehidupan orang beriman untuk tidak dapat melakukan tindakan yang melewati batas-batas keagamaan demi dan atasnama kebaikan hidup kemanusiaan di muka bumi ini.

Universalitas Ilahi

‘Ketakutan’ dari setiap pemeluk agama yang berbeda-beda untuk menyatakan universalitas Ilahi dari Sang Pencipta, telah membuat umat beragama terjebak pada penilaian-penilaian negatif antar umat beragama. Mengapa kita menjadi takut untuk menyatakan bahwa ada “Yang Satu”, yaitu Sang Pencipta alam semesta dan segala isinya, yang dipahami dan dimengerti dalam beragama perspektif oleh umat manusia yang beragama? Kedangkalan di dalam pemhaman yang bersifat teosentris inilah yang sering membuat orang merasa diri bahwa Allahnya lebih baik dari Allah agama yang lain. Padahal hakekatnya Sang Pencipta tersebut mengasihi semua orang yang berbeda-beda itu.

Disadari bahwa pemahaman yang teosentris ini tidak mengajak orang untuk beranggapan bahwa semua agama sama saja. Setiap agama harus dipahami sebagi sebuah ‘fenomena unik’ yang dianut oleh pemeluknya. Akan tetapi sebagai sebuah fenomena unik, ia tidak harus dipahami sebagi memiliki nilai- nilai yang eksklusif. Mengasihi sesama manusia, membenci ketidakadilan, memerangi kemiskinan, meniadakan pertikaian, menciptalan perdamaian bagi sesama; semuanya itu adalah contoh-contoh ajaran agama yang bersifat universal. Jika agama dipahami sebagai sebuah ‘hati nurani dari Sang Pencipta di dunia, maka universalitas sang Ilahi tersebut seharusnya dapat dipahami. Meskipun tetap harus ada kesadaran, sebagai mana tercermin dalam sejarah kehidupan keagamaan, bahwa wahyu-wahyu Ilahi diejawantahkan di dalam konteks dan latar belakang sosio-religius yang berbeda-beda. Akan tetapi kita dapat percaya bahwa Allah yang Esa sedang berkarya ‘mencetak pada jiwa manusia secara keseluruhan (pressing in upon the human spirit). Dalam pemahaman semacam inilah kerangka hidup bersama untuk mentransformasikan nilai-nilai keagamaan yang baik dan menyeluruh di dalam masyarakat dapat diciptakan.

No comments: