Sunday, April 29, 2007

MENJADI “GEREJA YANG POLITIS”, MUNGKINKAH?

Pendahuluan

Diskursus mengenai hubungan gereja (agama) dan negara bukanlah merupakan diskursus yang baru saja terjadi pada era sekarang ini. Sejarah membuktikan kepada dunia bahwa hubungan gereja (agama) dan negara selalu saja diwarnai dengan berbagai persoalan. Persoalan utama yang muncul tentunya pada atas nilai dari pemahaman tentang gereja dan negara di dalam kerangka kesatuan atau keterpisahan. Persoalan ini bukan hanya untuk menjawa “ya” atau “tidak” dalam hubungannya dengan kesatuan dan keterpisahan dari gereja (agama) dan negara tersebut. Akan tetapi lebih pada bagaimana hakekat dan eksitensi keduanya jika saling terjadi kesatuan dan keterpisahan, yang tentunya tidak saja memiliki konsekwensi teologis (bagi gereja) tetapi juga juga berkonsekewnsi sosial politis (bagi negara). Dan kenyataan semacam inilah, dimananya, telah menjadikan diskursus mengenai hubungan gereja (agama) dan negara tidak pernah luntur di telan zaman. Dia selalu menjadi bagian yang aktual didalam kenyataan hidup bergereja dan hidup bernegara selaras dengan konteks dimana keduanya ada.

Gereja dan Politik

Pemahaman tentang gereja yang sejati tidaklah selalu diletakkan di dalam pemahaman tentang gereja sebagai sesuatu yang bersifat “religious institution” semata akan tetapi adalah juga sebaga suatu the social religious institution. Pemahaman semacam ini tidak dapat dihindarkan manakala gereja menyadari bahwa dia berhadapan dengan persoalan-persoalan dan nilai-nilai yang ada di sekitar dan lingkungannya, yang secara langsung akan mempengaruh dalam mengambil keputusan atas nama teologi. Dalam hubungan dengan negara, maka gereja sebagai bagian dari kehidupan sosial bernegara, secara langsung akan di (ter) pengaruh oleh kebijakan-kebijakan negara yang diaktualisasikan di dalam realita politik atas nama ideologi. Persoalan yang muncul adalah sejauh mana gereja mampu menanggapi serta memformulasikan persoalan-persoalan kebijakan negara tersebut secara praksis di dalam realita kehidupan bergereja tanpa harus mengurangi nilai-nilai secara interpretatif teologis-dogmatif. Karena tidak dapat disangkal pula bahwa kekuatan politik lewat kebijakan-kebijakan yang diambil, yang merupakan seperangkat makna yang diambil di dalam masyarakat untuk membenarkan fungsi tatanan masyakarat (Lih. YB. Sudarmanto, Agama dan Politik Anti Kekerasan, Yogyakarta, 1989, hal. 18), merupakan sebuah nilai yang juga diarahkan kepada perwujudan masyarakat yang tertata dengan baik (dalam konteks Indonesia : mewujudkan masyarakat adil dan makmur).


Secara tegas saya menyatakan bahwa tulisan ini tidak lagi bermaksud untuk membicarakan apakah Gereja harus berpolitik atau tidak di dalam kerangka pemahaman gereja sebagai the social religious institusion. Karena persoalan tersebut sudah banyak dan sering sekali dibicarakan dan secara umum dan tegas telah disepakati bahwa gereja tidak berpolitik. Akan tetapi, dalam kerangka hubungannya dengan gereja-politik, maka disepakati bahwa hubungan tersebut lebih diarahkan kepada tanggung jawab gereja kepada persoalan-persoalan politik. Kesepakatan semacam ini tentunya sangat didasarkan pada dua aspek utamanya yaitu dengan meilihat sisi sejarah gereja dalam hubungannya dengan negara (politik) pada masa yanga lalu yang akhirnya mengakibatkan marginalisasi peran gereja dari baik secara institusi dan teologi dan persoalan hermeunetis / intepretatif alkitabiah yang sebenarnya lebih mengarahkan persoalan hubungan gereja dan negara (politik) pada arus politik yang bersifat etis.

Dengan melihat pernyataan di atas maka yang menjadi tekanan yang paling utama pada saat ini dalam membicarakan hubungan gereja dan negara (dalam artian peranan gereja secara politik) adalah bagaimana sebenarnya wujud dan perealisasian tanggungjawab gereja terhadap persoalan-persoalan politik yang ada dan melingkupinya tersebut? pertanyaan ini menjadi mengingat ketika keterpisahan gereja dan negara (politik) terjadi secara mutlak, maka pada akhirnya hal itu memiliki dampak yang cukup jelas. Dampak yang paling ditakuti adalah manakal negara dengan segala otonomi praksis politisnya kehilangan dimensi etisnya untuk menentukan norma-norma politiknya (bdk. Eka Darmaputra, “Fungsi Sosial Politik (jabat) Gereja” dalam Penuntun, Vol.I.No. 3 1995, hal 286) yang sebenarnya hal tersebut dapat di “atasi” oleh peran gereja terhadap negara (politik). Itu berarti pada saat ini kita harus memahami bahwa tanggungjawab gereja terhadap negara (politik) tidak dapat diartikan sebagai keterpisahan mutlak gereja dari negera (politik).

Peranan Gereja sebagai “Kekuatan Politik yang Bersifat Moral”

Dalam kerangka pembicaraan mengenai persoalan demokratisasi, dalam hubungannya dengan eksistensi sebuah negara, maka tidak dapat disangkal bahwa peranan dan kehadiran sebuah “lembaga” kontrol sosial itu menjadi sesuatu yang penting. Hal tersebut menjadi penting tentu dalam hubungannya dengan mekanisme kedaulatan rakyat sebagai supreme power. Tanpa adanya kontrol sosial dapat dipastikan akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan, dan pada gilirannya selanjutnya akan terjadi pemusatan kekuasaan pada kalangan yang terbatas (Lih. Nazaruddin Syamsudin, Dinamika Sistem Politik Indonesia, Gramedia Jakarta, 1993, hal. 185). Selajutnya dia mengatakan bahwa kenyataan semacam ini sebagian besar terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia di dalamnya.

Terlepas dari diskursus mengenai benar tidaknya pernyataan yang terakhir di atas maka yang terpenting adalah bagaimana kita memahami betapa pentingnya kehadiran sebuah “lembaga” kontrol sosial sebagai suatu kekuatan yang antisipatif terhadap gejala-gejala yang bersifat memusatkan kekuasaan dalam lingkup yang terbatas dalam satu negara. Persoalan yang mendasar-dasar sekarang adalah sejauh mana peranan “lembaga” kontrol sosial tersebut dapat menjalankan fungsinya dengan baik?

Sebagai sebuah catatan bahwa pemahaman mengenai “lembaga” kontrol sosial itu tidak harus selalu diartikan atau disamakan dengan hadirnya lembaga wakil rakyat dalam arti yang bersifat institusional. Meskipun tak dapat disangkal bahwa parameter kedemokratisan sebuah negara ditandai dengan hadirnya lembaga-lembaga wakil rakyat tersebut. Akan tetapi yang harus diingat pula bahwa pembicaraan mengenai demokrasi bukanlah sekedar masalah simbol dan formalisme institusional melainkan lebih mengutamakan bagaimana setiap unsur yang ada di dalam masyarakat dapat mencerminkan nilai-nilai kedemokratisan tersebut (bdk. Franz Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi, Gramedia Jakarta, 1985, hal.75)

Berdasarkan pada catatan di atas dalam hubungannya dengan gereja negara (politik) maka kehadiran geraja sebagai bagian dari unsur yang ada di dalam masyarakat (social religious institusion) adalah kehadiran yang seharusnya memiliki kekuatan kontrol sosial vis a vis negara dengan segala praksis politisnya. Akan tetapi kekuatan gereja sebagai sebuah lembaga kontrol sosial seharusnya memiliki ciri khas yang membedakannya dengan yang lainnya. Dan ciri tersebut adalah pada aras moral.

Gereja harus mampu menjadi sebuha kekuatan politik yang bersifat moral sebagai wujud dari tanggungjawab gereja terhadap negara (politik). Dalam pengertian bahwa apa yang dilihat dan diamati di dalam realitas dan konteks dimana gereja ada, hal itu harus memampukan gereja untuk mengambil sikap yang jelas terhadap apa yang dialami pada realitas dan konteks tersebut. Dan sikap tersebut, jika dihubungkan dengan persoalan gereja-negara (politik), gereja harus mampu pula menjadi sebuah kekuatan politik yang moralis untuk bisa mempengaruhi kebijakan negara yang bersifat politis. Karena inilah bagian dari tanggung jawab kehadiran gereja dalam hubungannya dengan negara (politik).

Jika pemahaman hubungan gereja dan negara lebih ditekankan pada unsur lebih ditekankan pada unsur tanggung jawab politis yang bersifat moral tersebut, maka tidak dapat disangkal bahwa untuk hal tersebut gereja harus menyiapkan dirinya dengan lebih seksama. Secara khusus mengenai unsur kesatuan di dalam visi dan misi gereja di bumi ini. Gereja hanya dapat menjadi sebuah kekuatan politik yang bersifat moral hanya jika dia di dalam kesadaran akan didirinya sebagai the social religius institusion memiliki kesamaan visi dan misinya di dalam dunia ini.

Dalam konteks ke Indonesiaan, geraja di Indonesia mampu menjadi sebuah kekuatan politik yang bersifat moral vis a vis negara, hanya jika gereja-gereja di Indonesia memiliki kesamaan di dalam visi dan misi mereka di dalam melihat realitas politis dalam konteks keindonesiaan. Hal ini menjadi penting bagi gereja-gereja di Indonesia mengingat persoalan-persoalan yang tumbuh dan berkembang akhir-akhir ini membutuhkan pernyataan-pernyataan dan sikap-sikap politis yang tegas secara moral dari lingkungan agama secara khusus gereja-gereja di Indonesia.

Menjadi gereja yang politis hanya dimungkinkan manakala gereja menyadari dengan sungguh-sungguh kehadirannya di dunia ini sebagai yang menghadirkan keselamatan dan damai sejahtera dalam wujud tanggung jawabnya terhadapnya terhadap kenyataan yang ada disekitarnya. Dan bertanggung jawab untuk menghadiri keselamatan dan damai sejahtera itu, dalam hubungan gereja-negara (politik), direalisasikan melalui kekuatan sikap dan tindakan gereja secara politis dalam pengertian dan pemahaman yang didasarkan pada nilai-nilai moral.

No comments: