Sunday, April 29, 2007

Gereja dan Perempuan

Dalam pembicaraan kajian politik identitas pasca kolonialisme yang sedang marak akhir-akhir ini tema perempuan juga mendapat perhatian yang serius. Dalam kajian ini persoalannya tidak sekedar bicara soal emansipasi tetapi lebih pada pemaknaan diri manusia sebagai ciptaaan Tuhan. Jadi, agakalah aneh kalau dalam masa sekarang ini ada perempuan-perempuan masih berpikir dirinya masih merupakan budak dari laki-laki. Mungkin kata ini tidak disenangi meskipun dalam prakteknya kata ini berganti dengan kata yang lebih njawani yaitu perempuan harus tunduk, setia pada suami dan sebagainya. Apakah hal ini salah? Tentu tidak. Apalagi “jelas-jelas” Aliktab juga berbicara demikian. Meskipun sering pula penafsirannya selalu keliru. Sikap setia dan tunduk selalu diartikan berdiri terlepas dari konsep laki-laki yang seharusnya menghormati istrinya. Jadi kelihatannya perempuan memang harus tunduk dan setia kepada suaminya tetapi tentu kepada suami-suami yang menghormati istrinya. Kalau suami tidak menghormati istrinya apakah ia juga harus tunduk dan setia? Sebaiknya tidak usah. Karena laki-laki yang demikian harusnya berada di tong sampah! Masihkah perempuan harus memberi hormat pada laki-laki yang menampar istrinya hanya untuk secangkir kopi? Atau masih perlukah perempuan tunduk pada laki-laki yang bangun dengan malas pada siang hari sementara istrinya telah berkerja sejak subuh. Perlukah seorang perempuan menghargai laki-laki yang hanya tahu memberi nafkah tetapi tidak tahu menghargai jerih lelah perempuan dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya?

Dalam pembacaan teks-teks Alkitab secara eksplisit kelihatannya koq masih laki-laki yang lebih tinggi derajatnya Karena perempuan harus lebih dulu setia dan tunduk. Banyak diskusi di sekitar masalah ini. Tetapi menarik kalau membaca kitan Kejadian bahwa pada mulanya Allah menciptakan manusia segambar dengan Allah yaitu dia laki-laki dan perempuan. Jadi sudah barang tentu Allah tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Semua punya hak yang sama karena laki-laki dan perempuan adalah sebagai gambar Allah. Sayangnya banyak teologi yang berkembang sekarang melupakan mengenai konsep ini. Mereka lebih senang untuk manafsirkan ayat-ayat yang justru menempatkan perempuan dalam posisi subordinat atau orang kedua (dan biasanya yang selalu berbicara mengenai model penafsiran yang demikian ini adalah laki-laki dalam rangka menjaga status quo dalam berteologi!). Sayangnnya dalam liturgi-liturgi gereja khususnya dalam liturgy pernikahanpun pertanyaan-pertanyaan masih mengarahkan perempuan justru bukan sebagai mitra laki-laki dalam hidup pernikahan tetapi justru hanya sebagai orang kedua (cobalah cek teks-teks dalam liturgy pernikahan di GKPB dan beberapa gereja lainnya).

Hal ini tentu tidak usah dipersoalkan siapa yang membuat liturgy tersebut tetapi yang perlu diketahui bahwa sejarah gereja telah membuktikan bahwa persoalan penindasan terhadap kaum perempuan itu bukan saja terjadi dalam konteks sosial masyarakat. Tetapi yang lebih parah justru terjadi juga di dalam gereja. Gereja yang harusya menciptakan suasana laki-laki dan perempuan adalah gambar atau citra Allah malah menempatkan laki-laki lebih dari segalanya. Dan kalau kita melihat secara jeli maka hal itu sebenarnya sudah terjadi sejak seorang anak masuk dalam sekolah minggu. Pernahkah kita memperhatikan bahwa seorang guru sekolah minggu atau pendeta selalu mengatakan bahwa orang-orang yang kuat di dalam Alkitab adalah selalu digambarkan dengan laki-laki. Pernakah kita mengatakan kepada anak-anak sekolah minggu mengenai kokohnya karakter, emosi bahkan fisik dari Ester, Deborah, perempuan yang mengurapi Tuhan Yesus, Naomi, perempuan Kanaan, perempuan yang mengalami pendarahan, dan sebagainya? Jawabannya mungkin ada atau mungkin tidak ada sama sekali! Seorang guru sekolah minggu kadang menasehati anak laki-laki yang menangis dengan mengatakan, “eeeh…nggak boleh cengeng, kaya` anak perempuan aja…”. Hal ini seolah-olah mengatakan bahwa stereotype dari anak perempuan itu pasti cengeng. Atau ada yang mengatakan demikian: “Jangan lupa berdoa untuk papanya yang mencari nafkah dan ibu yang mengasuh kita di rumah”. Mungkin sekilas kita tidak perlu mempersoalkan hal itu. Tetapi cobalah simak betapa tidak adilnya sebuah doa kepada Tuhan. Seorang anak pernah protes kepada saya waktu guru sekolah minggunya meminta ia berdoa syafaat tetang hal itu. Ia mengatakan bahwa ibunya tidak saja mengasuh dirinya tetapi juga bekerja dan mencari nafkah seperti ayahnya. Wow…tidakkah ini sebuah tamparan bagi kita. Dengan meminta seorang anak berdoa seperti itu sebenarnya kita telah mencipatakan stereotip-stereotip bagi anak-anak mengenai peran laki-laki dan perempuan, yaitu laki-laki sebagai pencari nafkah dan hal itu tentu akan dianggap sebagao bos dan perempuan sebagai penjaga rumah, memperhatikan serta merawat anak-anak--dan itu tidak lebih dari pekerjaan seorang pembantu. Kata ini yang sering ditafsirkan secara salah oleh para teolog maskulinis dengan mengatakan bahwa perempuan diciptakan sebagai penolong sehingga salah satu tugasnya adalah menolong, khususuknya laki-laki. Padahal ayat ini berbicara menjadi seorang penolong yang sepadan. Artinya meskipun ia diciptakan sebagai seorang penolong tetapi ia bukanlah seorang pembantu atau seorang budak. Dalam kesepadanan tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi. Yang ada adalah kebersamaan dalam membangun hidup yang lebih baik khususnya dalam rumah tangga. Pernakah kita melihat bahwa seorang anak ketika ia bertumbuh dewasa lebih menghargai ayahnya sebagai seorang bos dari pada ibunya yang tentu tidak lebih dari seorang pembantu? Jangan cari sebabnya kemana-mana mengapa ia demikian. Cari saja pada pengalaman masa kecilnya ketika ia sekolah minggu. Pernakah ia diajarkan dengan cara-cara yang demikian?

Mungkih saya salah dalam hal ini tetapi paling tidak sudah banyak pengalaman yang semacam ini. Oleh sebab itu tidak ada salahnya kita kembali lagi untuk membicarakan masasalah kesederajatan laki-laki dan perempuan khususnya dalam perhatian kita yang sungguh-sungguh di dalam pembinaan warga gereja.

No comments: