Sunday, April 29, 2007

Gereja (Agama) dan Konflik: Belajar dari Sejarah Konflik Pulau Kei di Maluku

Pendahuluan

Kemajemukan (pluralisme) adalah kata yang ternyata dalam konteks Maluku bukanlah ‘barang baru’. Data-data kependudukan secara jelas memperlihatkan bahwa pluralitas penduduk menjadi sebuah bagian yang tidak bisa dihindarkan dalam konteks kependudukan di Maluku, khususnya pluralitasa agama. Dalam kasus Kei yang diangkat oleh P.M.Laksono nampak dengan jelas adanya pluralitas kependudukan berdasarkan agama yang secara presentase tidak memiliki dominasi satu terhadap yang lainnya. Meskipun disadari akibat semuanya ini adalah munculnya daerah atau kantong-kantong eksklusif dari setiap agama: kampung Islam, Kristen, Katolik dan Hindu[1]. Dan disadari pula ada ketegangan semu yang selama ini dapat dihindari berdasarkan landasan bersama (commond ground[2]) di antara masyarakat yang berbeda tersebut melalui sebuah pertukaran sosial. Yang menjadi persoalan dalam tulisan ini adalah bagaimana kondisi semacam ini kemudian menjadi sumber konflik yang tidak terselesaikan sampai saat ini di Maluku?

Kebijakan Pemerintah dan Eksklusivisme Keagamaan

Munculnya kantong-kantong eksklusif dari setiap daerah yang berdasarkan pada agama tidak bisa dihindari sebagai akibat dari berkembangnnya agama sebagai prasyarat hidup ber-Indonesia. Dan dalam konteks sosiologis antropologis sebenarnya kondisi ini tidak menjadi persoalan yang begitu rumit. Adalah hal biasa jika seorang ingin berkumpul bersama orang-orang yang memiliki ide, perasaan atau pemikiran yang sama. Artinya bahwa sejak semula sebenanrya faktor agama bukanlah variabel utama di dalam konflik yang sering terjadi. Ada variabel-variabel lain yang dapat dilihat misalnya adat dan sumber-sumber ekonomi yang dapat dilihat juga sebagai sumber konflik (misalnya dalam kasus Kei). Tetapi yang menarik adalah justru agama menjadi dasar di dalam persoalan-persoalan yang muncul akhir-akhir ini ketika kita mengamati konflik yang terjadi di Maluku. Dua faktor yang mungkin dapat di kaji dalam hal ini adalah: Kebijakan pemerintah yang bersifat sepihak dan faktor lain adalah eksklusifisme dari ajaran-ajaran agama tersbut.

P.M. Laksono mencatat bahwa terjadi pola-pola pergeseran keberpihakan terhadap kelompok-kelompok agama dalam kasus Kei yang ditandai dengan kepeberpihakan Belanda kepada orang Kristen dan Katolik. Subsidi pembangunan atas 17 sekolah Katolik dan 14 sekolah Kristen tidak sebanding dengan subsidi pembangunan yang hanya diberikan kepada 4 sekolah Islam. Hal ini secara psikologis tentu berdampak pada cara pandang masyarakat terhadap pemerintah. Dalam hal ini pandangan orang Islam terhadap pemerintah Hindia Belanda yang mengakibatkan kecurigaan terhadap orang-orang Kristen dan Katolik.

Masuknya Jepang merubah suasana tersebut, dimana Islam lebih mudah untuk menerima akses yang lebih dari pemeritahan Jepang. Bahkan dikatakan bahwa Jepang memakai mata-mata Muslim untuk operasi militer mereka. Dampak yang paling parah adalah kehilangan hak istimewa dari Kristen dan Katolik untukmemiliki akses di pemerintahan. Hal ini ditandai dengan dibunuhnya 13 orang misionaris Belanda dan Uskup Katolik[3]. Hal ini secara psikologis juga menjadi semacam trauma dari masyarakat Kristen-Katolik melihat pemerintahan Jepang yang mengakibatkan kecurigaan terhadap orang-orang Muslim.

Refleksi dari kondisi ini adalah nampak dengan jelas bahwa kebijakan pemerintah sangat berpengaruh di dalam proses integrasi kehidupan bermasyarakat. Kasus keberpihakan Belanda dan Jepang memiliki akibat yang sangat besar terhadap friksi sosial yang ada dalam masyarakat Islam dan Kristen/Katolik pada saat itu. Dalam konteks Indonesia merdeka friksi ini diperparah lagi melalui konstelasi politik “pusat” melalui partai-partai yang secara langsung memperbesar jurang pemisah yang ditandai dengan partisipasi politik Islam dalam Masyumi dan Kristen/Katolik dalam Parkindo.

Jadi nampak dengan jelas bahwa munculnya isu (proses) disintegrasi bangsa ini sebenarnya tidak dimulai dari disintegrasi yang ada di dalam masyarakat akan tetapi tetapi lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang bersifat tidak adil terhadap kondisi sosial kemasyarakatan yang ada di Indonesia. Kasus-kasus yang terjadi pada masa orde lama misalnya DII-TII, PRRI-Permesta, Dewan Banteng di Sumatra (dll) dan dan dalam masa orde baru munculnya kasus-kasus Aceh, Tanjung Priok, Borobudur dan lain sebagainya; bahkan permohonan untuk membuat negara sendiri dari Aceh Merdeka, Timor-Timur, Riau Merdeka dan sebagainya, secara umum dapat dilihat dalam konteks kebijakan-kebijakan pemerintah yang sangat berpihak. Tulisan dari beberapa pakar, salah satunya Ichlasul Amal secara tegas mematahkan pendapat beberapa ilmuwan-ilmuwan lain yang mengatakan bahwa tidak ada persoalan antara pusat dan daerah di Indonesia yang berbau primordialisme. Menurutnya, dalam kajian mengenai pergolakan politik di Selawesi Selatan dan Sumatra Barat., terlihat dengan jelas bahwa faktor etnis (bahkan agama) memegang peranan penting di dalam pergolakan tersebut. Hal ini kemudian 'teredam' sedemikian rupa dalam konteks politik orde baru, yang menurutnya disebabkan adanya perhatian dan akomodasi kepentingan daerah-daerah tersebut atas nama agama dan juga etnik, yang oleh pemerintah orde baru diberikan dalam bentuk dana pembangunan daerah yang lebih besar[4]. Begitu pula Compton yang menganalisa perkataan dari Mohamad Hatta yang mengatakan bahwa konflik di Indonesia era tahun 50-an bukanlah persoalan Jawa dan luar Jawa tetapi Jakarta dan daerah. Tetapi ia mengatakan bahwa harus diuji perkataan tersebut, karena (dalam analisisinya yang panjang lebar ) ia mendapatkan fakta bahwa memang terjadi proses diskriminasi regional tetapi juga kultural[5].

Kondisi semacam ini tentunya sangat memacu resistensi masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan tersebut yang karena gap terlalu besar antara masyarakat dan pemerintah (apalagi pemerintah menggunakan kekuatan Militer untuk menghadapi masyarakat) maka keputusasaan tersebut dilampiaskan menjadi konflik horizontal antar kelompok masyarakat (baik atas dasar agama maupun daerah). Resistensi primordialisme semacam inilah yang harusnya dicermati oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang ternyata melihat konsep-konsep primordialisme tersebut sebagai sesuatu yang pasif dan a historis, seperti apa yang dikatakan oleh Geertz. Hal ini juga merupakan tinjauan kritis terhadap Geertz bahwa kekuatan lokal yang bersifat primordialis itu bukanlah sesuatu yang a historis dan bersifat mengalir begitu saja secara alamiah serta hanya memiliki kekuatan yang bersifat lokal saja[6]. Akan tetapi resistensi horizontal di atas membuktikan bahwa kekuatan-kekuatan primodialisme itu merupakan kekuatan yang sangat potensial. Oleh karena itu adalah suatu yang salah jika kekuatan-kekuatan primordialisme ini diabaikan atau eksistensinya ditekan secara kuat atas nama kekuasaan.

Belajar dari kondisi ini maka konsep “dari Sabang Sampai Merauke” kiranya tidak lagi menjadi sebuah konsep yang bernuansa eksploitatif tetapi menjadi sebuah konsep kebersamaan di dalam pembangunan negara yang disebut Indonesia. Bahwa Indonesia adalah Sabang sampai Merauke bukan hanya di Jawa dan sekitarnya [7]. Dan untuk itu kebijakan pemerintah yang adil menjadi kata kunci dalam menghindari konflik horizontal tersebut. Oleh Hatta kata adil atau demokrasi dalam kebijakan ini dapat diwujudkan melalui konsep demokrasi asli Indonesia[8] yaitu: rapat, mufakat, tolong menolong, hak mengadakan protes bersama dan hak menyingkirkan diri dari kekuasaan raja. Konsep ini tentu sangat idealis akan tetapi hal yang patut dicermati adalah penghargaan terhadap kekuatan lokal sebagai sesuatu yang patut dihargai sebagai bagian dari kekuatan nasional.

Pada sisi lain eksklusifisme keaagamaan memainkan peranan yang penting juga dalam membangun konflik sosial. Segmentasi yang bersifat ‘arogan’ atas nama kampung, rukun, mata rumah atau mungkin hanya sebuah keluarga inti dalam peranan liturgi ibadah, telah membawa kesan eksklusif bagi kehadiran agama itu pada dirinya sendiri. Teologi (baca: Ibadah) tidak lagi dilihat sebagai sebuah nilai yang universal dan pluralis tetapi cenderung lebih menekankan nilai-nilai yang eksklusif dan monolitik[9]. Ajaran-ajaran agama cenderung melihat keselamatan sebagai sesuatu yang individualis bukan sebagai sesuatu yang universal dan melintasi batas-batas serta nilai-nilai kebersamaan yang pluralis dan membebaskan[10]. Kondisi semacam ini tentunya berakibat pada pemahaman dari arti kebersamaan itu. Kebersamaan diidentikan dengan apa yang sama dengan saya. Ketidakpedulian terhadap orang lain adalah disebabkan bukan karena ketidakperdulian an sich tetapi lebih disebabkan oleh perasaan lain atau berbeda dari orang lain dan ingin menonjolkan kelebihan yang ada dalam kelompoknya. Jika konsep ini menjadi sebuah ‘premis’ di dalam sebuah komunitas interen kehidupan beragama apalagi dalam melihat kondisi eksteren disekitarnya. Kondisi eksklusifisme yang berasal dari nilai-nilai pengajaran yang hanya mementingkan diri sendiri ini yang kemudian dapat menjadi sumber konflik, baik konflik interen maupun konflik eksteren. Apalagi kecenderungan eksklusifisme ini sudah diperparah melalui simbol-simbol keagamaan yang dikedepankan secara berlebihan. Kasus pembangunan gereja di Kei oleh tiga paroki menunjukan dengan jelas bahwa simbol gedung gereja bukan lagi menjadi simbol persahabatan antar umat dan juga merupakan tempat berkumpulnya orang percaya dari berbagai macam suku bangsa dan golongan, tetapi sudah bergeser menjadi simbol-simbol ‘arogan’ yang menampilkan nilai-nilai sebatas fisik semata-mata. Pergeseran peran simbol ke arah fisik inilah yang kemudian menjadi trauma sosial bagi ‘orang yang lain’ ketika ia melihat bahwa simbol-simbol itu secara psikologis telah menekan, memarginalisasikan, meremehkan…dari simbol yang sama yang ia miliki. Misalnya pertanyaan mengapa ‘gerejanya lebih bagus dari gereja saya’? Mengapa sekolah-sekolah kristen lebih baik mutunya dari sekolah-sekolah lainnya? Pertanyaan ini tentu sangat sederhana, tetapi di dalamnya sebenarnya memuat sebuah ungkapan sinis bahwa ada rasa iri yang kemudian secara akumulatif terluapkan ketika ada kesempatan untuk melampiaskannya. Padahal seharusnya simbol-simbol keagamaan, dalam bahasa Clifford Geertz adalah yang berlaku untuk menetapkan suasana hati dan motivasi yang kuat, yang meresapi dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga suasana hati dan motivasi itu tampak khas realistis[11] (Geertz, 1974). Artinya simbol-simbol keagamaan membawa orang pada suatu situasi yang menyejukan dan menjadi sebuah nilai yang universal.

Oleh karena agama seharusnya berani untuk me-re-intepretasikan kembali ajaran-ajaran dan dogma-dogma yang dianggap tidak lagi bersifat kontekstual dan cenderung mengajakarkan nilai-nilai yang eksklusif. Agama hendaknya berada pada dataran universal dan untuk sebuah kehidupan yang mengeliminir konflik dan menjadi solusi bagi sebuah konflik multidimensi. Bukan justru agama menjadi sumber konflik akibat eksklusifitas pemahaman dan pengajarannya.

Refleksi

Belajar dari refleksi kasus Kei di atas nampaknya beberapa hal perlu di sepakati sebagai sebuah upaya untuk mengeliminir konflik pluralitas atas nama SARA:

  1. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menangani konflik hendaknya mendasarkan dirinya pada nilai-nilai yang bersifat kontekstual dan berakar dari kondisi dan situasi yang ada. Penghargaan terhadap nilai-nilai yang berkembang secara lokal/primordial tidak dapat diabaikan karena hal tersebut adalah sebuah local genius yang dapat menjadi sarana di dalam proses pengambilan keputusan di dalam kebijakan. Keberpihakan kepada suatu golongan akan membawa akibat yang sangat parah pada masa yang akan datang.
  2. Universalisme dan pluralisme adalah sebuah kata kunci yang tidak dapat diabaikan di dalam pengembangan ajaran dan nilai-nilai keagamaan. Agama hendaknya tidak lagi menjadi kaki tangan penguasa teologi (Barat) yang bersifat monolitik, tetapi hendaknya mengembangan nilai-nilai yang kontekstual yang didasarkan pada pemahaman persaudaraan kemanusiaan yang universal (konteks Asia yang plural). Agama hendaknya mengajarkan totalitas nilai-nilai kerendahan hati dalam menghargai dan mengapresiasi perbedaan yang ada dalam konteks ke-Indonesiaan. Perbedaan hendaknya jangan dilihat sebagai persoalan aku dan dia yang cenderung bersifat alienatif , tetapi -- seperti yang diungkapkan Gabriel Marcel -- merupakan bagian dari kita yang eksistensial secara utuh[12].

Daftar Pustaka

Andrews, Collin.Mac, dan Ichlasul Amal, Hubungan Pusat dan Daerah dalam Pembangunan, Rajawali Pers, Jakarta, 2000.

Boyd R.Compton, Kemelut Demokrasi, LP3ES, Jakarta, 1993.

Feith. Herbert, dan Lance Castle (ed), Indonesia Political Thingking -1945-1965, Cornel University Press, London, 1970

Geertz, Clifford, , Kebudayaan dan Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1992.

-------------------, The Interpretation of Culture, Basic Books, 1973

Guiterrez, Gustavo, A Theology of Liberation, Orbis Books, Maryknoll, 1979

Laksono, P.M. (dkk, ed), Kekayaan, Agama dan kekuasaan, Kanisius, Yogyakarta, 1998, h. 92-93.

------------------, The Common Ground in The Kei Island, Galang Printika, Yogyakarta, 2002..

Lombard, Dennys, Nusa Jawa: Silang Budaya-Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris (3), Gramedia, Jakarta, 1996.

Miceli, Vincent P., Ascent to Being, Gabriel Marcel’s Philosophy of Communion, New York, 1965.

Pieris, Pieris, An Asian Theolgy of Liberation, Orbis Books, Maryknoll, 1988.



[1] P.M.Laksono, “Pertukaran dan Sisi Lainnya: Sebuah Refleksi tentang Landasan Bersama Orang-orang Kei” dalam P.M Laksono (dkk, ed), Kekayaan, Agama dan kekuasaan, Kanisius, Yogyakarta, 1998, h. 92-93.

[2] Lih. Tulisan P.M.Laksono, The Common Ground in The Kei Island, Galang Printika, Yogyakarta, 2002.. Menggambarkan peta konflik yang sangat rumit di Kei tetapi ada landasan bersama yang merasuk dalam system kehidupan masyarakat yang pada akhirnya dapat melupakan perbedaan-perbedaan yang ada.

[3] P.M. Laksono, op.cit., 1998, h. 94-96

[4] Ichlasul Amal, "Dimensi Politik Hubungan Pusat – Daerah: Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan" dalam Collin Mac Andrews dan Ichlasul Amal, Hubungan Pusat dan Daerah dalam Pembangunan, Rajawali Pers, Jakarta, 2000, h.160-162.

[5] Lih. Boyd R.Compton, Kemelut Demokrasi, LP3ES, Jakarta, 1993, h.87-106

[6] Lih. Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, Basic Books, 1973

[7] Kasus ini misalnya dapat dilihat dalam dari hasil penelitian Denys Lombard yang mencoba menemukan satu kekuatan pongah, yaitu Jawa sebagai motor besar bagi terbentuknya negara besar Indonesia. Menurutnya telah terjadilah proses Jawanisasi Indonesia.

Lih. Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya-Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris (3), Gramedia, Jakarta, 1996, h. 168-176.

[8] Mohammad Hatta, “Masyarakat Kolonial dan Cita-Cita Demokrasi Sosial” (1956), dalam Herbert Feith dan Lance Castle (ed), Indonesia Political Thingking -1945-1965, Cornel University Press, London, 1970, h. 37-38.

[9] Baca tulisan Aloysius Pieris, An Asian Theolgy of Liberation, Orbis Books, Maryknoll, 1988.

[10] Bdk. Gustavo Guiterrez, A Theology of Liberation, Orbis Books, Maryknoll, 1979, h. 13.

[11] Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1992, h. 5.

[12] Lih. Vincent P.Miceli, Ascent to Being, Gabriel Marcel’s Philosophy of Communion, New York, 1965.

No comments: