Tuesday, May 1, 2007

Menjadi Gereja Indonesia: Sebuah Pencarian Identitas Melalui Riset Kebudayaan

Pendahuluan

Studi mengenai gereja-gereja di Indonesia, khususnya gereja-gereja Protestan hingga saat ini dirasakan masih sangat bersifat parsial. Artinya penelitian-penelitian yang dilakukan sebagian besar lebih berorientasi pada pencarian identitas gereja lokal dari pada pencarian identitas gereja Indonesia. Hal ini tentu tidak perlu dikuatirkan dan mungkin dari satu sisi menjadi sebuah kekayaan yang tersendiri. Akan tetapi terkait dengan ke Indonesiaan itu pada dirinya sendiri maka sudah saatnya penelitian-penelitian mengenai gereja saat ini – khususnya mengenai gereja Prostestan – diarahkan demi membangun sebuah identitas Gereja Indonesia. Disadari bahwa tidaklah mudah untuk mencari sebuah identitas gereja Indonesiaan tersebut karena hal ini terkait dengan sejarah gereja Indonesia itu pada dirinya sendiri. Sejarah gereja Protestan di Indonesia didominasi oleh model penginjilan ala Zending yang sudah tentu sangat kuat berorientasi pada model barat. Pada sisi lain perkembangan gereja-gereja diluar Zending – sebagai akibat dari “perkembangan” dari gereja-gereja induknya juga masih kuat dipengaruhi oleh model-model yang dibawa oleh Zending. Klaim identitas bergereja ala barat ini seolah-olah telah melekat sebagai identitas gereja Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dalam persoalan tafsir gereja terhadap berbagai persolan bergereja maupun persoalan sosial di Indonesia. Secara umum gereja masih belum berani untuk membuat sebuah re-interpretasi baru terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi tersebut. Model tafsir ala Schleirmacher dan Dilthey yang cenderung untuk masuk dan memahami konteks (masa lalu) lebih mendominasi model tafsir teologis dari pada model tafsir ala Gadamer yang kental dengan benturan hermeneutika-nya yang akan menghasilakn sebuah fusi of horizon (percampurbauran cakrawala pandangan). Pada sisi lain referensi model tafsir pendidikan teologi juga belum terlalu berani untuk memasuki ruang-ruang tafsir sosial-politik yang cenderung mendekonstruksi nilai-nilai kemapanan. Kondisi ini semakin mengaburkan pemaknaan terhadap pencarian identitas gereja Indonesia itu pada dirinya sendiri. Pada sisi inilah kemudian dibutuhkan sebuah riset kebudayaan untuk mengkaji ulang dan menemukan nilai-nilai menjadi gereja Indonesia. Riset kebudayaan menjadi tawaran utamanya adalah karena pendekatan ini berusaha untuk menggali secara mendalam nilai-nilai lokal genius yang dimiliki oleh gereja-gereja di Indonesia dan kemudian berusaha untuk mencari simpul-simpul yang dapat menghubungkan (gereja) satu dengan yang lainnya.

Identitas Bergerjea : Persoalan Oposisi Biner

Identitas dalam wacana kolonialistik telah menciptakan sebuah oposisi biner yang memberikan stigma bahwa segala yang ‘ada’ dari kaum kolonialis adalah sesuatu yang “sempurna”. Pemahaman ini dalam konteks kultural - secara langsung - telah menciptakan wacana keberpihakan – mengunggulkan yang satu melecehkan yang lain. Dalam hal ini kaum kolonialis adalah yang unggul dan kaum terjajah adalah yang dilecehkan dan ‘tidak beradab’. Disadari atau tidak pemahaman ini telah tercitra sekian lama di dalam konteks negara-negara terjajah. Pencitraan itu menghasilkan sebuah dikotomis sosial yang ada dalam konteks masyarakat terjajah seperti adanya kelompok elit/proletar, kaya/miskin, bangsawan/kebanyakan, dll. Bahkan dalam bidang keagamaan telah tercitra adanya kaum klerikal dan awam. Oposisi biner semacam ini pada akhirnya telah menciptakan sebuah status quo identitas atau sistem yang seolah-olah tidak dapat diganggu gugat. Persoalannya apakah memang hal itu telah menjadi sebuah takdir kultural sehingga tidak perlu mempertanyakan bahkan mendekonstruksi pemahaman tersebut? Pertanyaan ini dalam kaitannya dengan persoalan identitas gereja Indonesia tentu juga menjadi sangat penting. Apakah citra gereja-gereja Indonesia masih merupakan citra dari identitas kolonialistik yang sebagaian besar masih mengusung tema-tema oposisi biner yang justru menempatkan gereja jauh dari konteks?

Diakui atau tidak pendekatan oposisi biner ini masih sangat kuat dalam kehidupan bergereja baik secara teologis maupun dalam konteks sosial. Secara teologis konsep-konsep seperti gelap/terang, manusia duniawi/manusia rohani, kudus/tidak kudus, orang benar/orang tidak benar dan sebagainya, masih cenderung mendapatkan tafsir yang cenderung akhirnya menempatlan kekristenan (orang Kristen) sebagai suatu agama / manusia unggul dibanding yang lainnya. Dalam bidang sosial dan budaya hal serupa juga terlihat dengan jelas seperti Kristen kaya/ bukan Kristen miskin, ‘budaya Kristen’ beradab/ budaya ‘bukan Kristen’ tidak beradab, musik klasik adalah musik Kristen tetapi musik dangdut bukan musik Kristen, fashion sebagai citra Kristen dan pakaian lokal adalah identitas ‘belum Kristen’, dll.

Seluruh identitas tersebut kemudian seolah-olah telah menjadi idenitas kekristenan itu pada dirinya sendiri. Namun persoalannya adalah apakah identitas ini memiliki korelasi dalam konteks membangun Indonesia yang pluralistik secara utuh? Akhirnya kita harus mengakui bahwa identitas yang demikian telah membawa gereja pada sebuah kegamangan identitas. Oleh karena itu yang diperlukan saat ini adalah keberanian untuk mendekonstruksi konteks tersebut melalui sebuah pendekatan kultural.

Gereja Indonesia: Sebuah Dekonstruksi Identitas

Riset kebudyaan merupakan sebuah tawaran bagi pencarian kembali identitas bergereja di Indonesia. Hal ini tentu dididasarkan pada pemahaman bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang bersifat permanen. Ia merupakan sebuah kontrak sosial yang senantiasa dapat selalu diberi pemaknaan yang baru. Demikian juga dengan identitas bergereja yang merupakan sebuah bentukan di dalam proses sosiohistoris. Sebagai sebuah proses ia terus berjalan sepanjang masa. Oleh sebab itu tidak ada kata lain bahwa identitas bergereja harus terus menjadi sebuah wacana yang hidup.

Beberapa hal yang perlu dicermati dalam menggali kembali wacana identitas bergereja di Indonesia dalam riset kebudayaan ini adalah :
1. Teologi. Sudah saatnya gerakan teologi kontekstualisasi tidak saja merupakan sebuah wacana akademik tetapi merupakan sebuah wacana yang dibangun secara sistematik dalam model-model pengajaran jemaat. Selama ini model-model pengajaran masih di dominasi oleh sistimatika dogmatis yang berorientasi pada konsep-konsep yang dibangun sebagai karya dari anak zaman pencerahan – yang (katanya) selalu dibanggakan sebagai peradaban sejati (?). Orientasi katekismus sudah selayakanya juga menyerap teradisi-tradisi lokal genius sebagi bagian dari pengajaran bergereja.
2. Liturgi. Liturgi adalah sebuah ‘jembatan’ bagi proses perjumpaan antara manusia dengan Tuhan. Namun demikian dalam konteks kebanyakan gereja Indonesia, liturgi seolah-olah telah sesuatu yang baku dan kaku - yang secara historis sebenarnya telah menempatkan warga gereja pada posisi biner antara kaum klerikus dan awam. Penempatan dua polar ini dalam tradisi bergereja sebenarnya menunjukkan posisi hirarkis. Memang hal ini cenderung untuk tidak diakui secara teologis namun dalam prakteknya hal tersebut telah menjelma seperti model tuan dan hamba dalam konteks sosial. Oleh sebab itu nilai-nilai kolektivitas yang ada dalam kebudyaan lokal sering tercabut ketika orang masuk dalam sebuah ibadah di gereja. Tugas kita adalah membangun kembali kolektivitas itu dalam hidup bergeja khususnya dalam peribadahan.
3. Pemahaman Iman. Sebuah pemahaman iman gereja adalah sebuah sarana untuk membangun relasi antara manusia dan Tuhan. Dalam banyak hal pemahaman iman yang dibanggun oleh gereja-gereja di Indonesia belum mencerminkan sama sekali pemahaman iman yang sesungguhnya dari umat itu sendiri. Model pemhaman iman masih terbelenggu dengan tradisi-tradisi pengajaran bapa-bapa gereja dengan bahasa-bahasa yang sulit untuk dimengerti secara sedehana. Sudah saatnya gereja Indonesia harus mampu merumuskan konsep-konsep pemahaman iman secara kontekstual seperti pemahamn tentang Allah, gereja, ciptaan dan pemeliharaan, keselamatan, Alkitab, dll, dalam sebuah perenungan yang dalam melalui bahasa yang dipahami dan dihayati oleh umat. Dekonstruksi erhadap pemahaman iman ini secara pasti akan menghasilkan sebuah benturan heremeneutis. Tetapi hal ini tidak perlu dikuatirkan selama benturan ini dapat menghasilkan sebuah fusi of horizon yang bermakna dalam penghayatan bersama.
4. Simbol. Simbol-simbol gereja yang ada selama ini telah menjadi sangat sulit untuk dipahami oleh sebagian orang (mungkin juga oleh umat sendiri) karena sebagian besar terobsesi oleh simbol-simbol yang datang dari barat. Hal ini telah menempatkan gereja sebagai sebuah enclave yang sulit untuk dipahami dan dimengerti oleh kebanyakan orang. Dalam hal ini simbol-simbol teologi yang dibangun secara akademik dan simbol teologi bergereja telah menjadi agen bagi logosentrisme transenden yang eksklusif. Simbol-simbol semacam ini harus didekonstruksi agar kehadiran gereja dapat dipahami dengan sederhana.
5. Arsitektural. Arsitektur gereja adalah wajah gereja itu sendiri. Tidak dapat disangkal bahwa sebagian besar wajah gereja Indonesia adalah sebuah identitas tiruan (mimikri) dari apa yang ada di barat. Seperti layaknya geraja-gereja di barat yang berdinding tebal dan kaku guna menghindari keganasan salju demikian pula model sebagian besar gereja di Indonesia. Dalam konteks Indonesia hal ini tidak diartikan sebagai sebuah perlawanan terhadap alam (salju) tetapi cenderung merupakan sebuah ketertutupan terhadap orang lain dan alam. Bagaimana sebenarnya arsitektur gereja Indonesia itu pada dirinya sendiri adalah sebuah pergumulan yang terus-menerus harus dilakukan bersama-sama dengan manusia dan alam sekitarnya.

Dari kelima riset kebudayaan di atas - tentu ada lebih banyak hal yang dapat diteliti – dapat dipahami bahwa identitas gereja Indonesia masih merupakan sebuah wajah yang sangat barat yang dapat dikatakan sebagai sebuah warisan budaya kolonial. Penekanan terhadap riset kebudayaan ini tidak diartikan sebagai sebuah usaha untuk mencari sebuah model gereja Indonesia yang asli. Karena tidak mungkin untuk menemukan keaslian di dalam keIndonesiaan. Pada sisi lain hal itu juga menciptakan sebuah pencitraan yang terbatas bagi pencarian identitas gereja Indoensia. Hal yang terpenting dalam riset kebudayaan ini adalah bagaimana gereja Indonesia mampu menciptakan sebuah konstruksi yang baru dan tidak mempertahankan model posisi biner yang menjadi warisan budaya kolonialistik. Oleh sebab itu yang diperlukan saat ini adalah membangun sebuah global interconnectedness yang tidak melenyapkan satu dengan yang lainnya tetapi memberikan ruang bagi kesejajaran dalam merealisasikan nilai-nilai kehidupan.

Gereja Indonesia sudah seharusnya melakukan sebuah riset kebudayaan sebagai sebuah gerakan untuk menemukan kembali realitas-realitas yang telah terbelenggu selama ini. Simpul-simpul itu kemudian dapat disatukan di dalam sebuah eksplorasi yang mendalam terhadap data-data model bergereja di Indonesia. Hal ini seharusnya tidak dilihat hanya sebagai sebuah project tetapi lebih dalam adalah guna menemukan sebuah model gereja Indonesia. Perlu pengorbanan waktu, tenaga, dana dan sumber daya manusia bahkan lembaga yang baik untuk hal ini. Kita berharap ada yang memulai program ini guna mewujudkan arti Menjadi Gereja Indonesia.

Pdt. Victor Hamel
(Pendeta Gereja Kristen Protestan di Bali)

No comments: