Thursday, May 3, 2007

Desa Pekraman dan Pengaruhnya Terhadap Pluralitas Masyarakat di Bali

Perda Nomor 3 Tahun 2001 (2003) Tentang Desa Pekraman dan Pengaruhnya Terhadap Pluralitas Masyarakat di Bali

A. Bali : Dari Inklusifitas menuju Ekslusifitas

Bali! Kata ini selalu menjadi sebuah kata yang menakjubkan. Sejak zaman Majapahit hingga kini dia tak pernah luntur dengan nilai-nilai keagungannya. Mungkin inilah yang membuat orang selalu terpesona dengan Bali. Bungkusan nilai-nilai budaya dan adat-istiadat bersatu dengan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang dimaknai melalui dogma-dogma religius yang bersifat hinduistik. Perpaduan di antaranya telah menghasilkan sebuah tatanan masyarakat yang unik dengan segala realitas local genius-nya dan kearifannya. Mulai dari tari-tarian, lukisan, ibadah dan para raja hingga persembahan pada Sang Dewa baik di Griya maupun di Pura, semuanya telah menghasilkan realitas yang menakjubkan sebagi sebuah masyarakat yang kemudian diberi nama: BALI.

Sejarah Bali bukanlah sejarah ratusan tahun. Ia telah beradaptasi sebagai sebuah masyarakat sejak ribuan tahun yang lalu. Proses ini tidak saja mematangkan nilai-nilai yang berkembang secara sosial namun lebih dari pada itu telah menghasilkan sebuah identitas yang kuat sejalan dengan perubahan-perubahan yang cepat di dalam masyarakat. Di sana-sini tentu terdapat perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian searah dengan perkembangan zaman, namun esensi dari ke-Bali-an itu tetap menjadi suatu ketakjuban bagi dunia. Itulah sebabnya tidak salah jika semua orang, khususya masyarakat Bali, tetap harus mempertahankan nilai-nilai keluhuran ini sebagai sebuah kekayaan budaya yang tiada taranya. Persoalannya menjadi rumit ketika moderninsasi di segala bidang telah menjadi semacam gejala global yang juga mengenai seluruh aspek kehidupan – khususnya masyarakat Bali. Dalam konteks inilah persoalan budaya, agama dan modernisasi menjadi isu yang selalu aktual di bicarakan di Bali. Tema utamanya adalah bagaimana di tengah-tengah arus modernisasi ini aktualisasi nilai-nilai budaya tetap terjaga dan tertata dengan baik. Persoalan modernisasi yang dimaksudkan di sini adalah munculnya pengaruh-pengaruh dari luar Bali melalui dimensi-dimensi sosial, ekonomi, politik, budaya bahkan agama (khususnya Kristen).

Atas dasar di atas maka saat ini orientasi pemerintahan daerah Bali bersama dengan masyarakat adat adalah menjaga Bali agara tetap kokoh berdiri dengan tetap menjaga nilai-nilai kebudayaan yang dianggap luhur dengan segala adat – istiadat yang dimilikinya. Isu otonomi daerah, pada sisi lain telah menjadi salah satu variable yang menguatkan orientasi tersebut. Keluarnya Perda No. 3 Tahun 2001 – yang kemudian disempurnakan menjadi Perda No. 3 Tahun 2003 - mengenai Desa Pekraman yang saat ini telah ‘menjadi dasar’ bagi menguatnya kembali gerakan-gerakan fundamentalisme kebudayaan dan agama (baca Hindu) di Bali yang dengan mudah mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dalam segala bidang. Dalam bidang ekonomi ditandai dengan munculnya konsep Koprasi Krama Bali yang bertujuan untuk menjadi kompetitor di bidang ekonomi kecil dan menengah yang selama ini dikuasai oleh pendatang. Gerakan ini secara langsung memberikan bantuan modal bagi pengusaha kecil di Bali dan membina pengusaha-pengusaha tersebut untuk bisa menyaingi usaha-usaha yang banyak dilakukan oleh para pendatang (Jawa). Misalnya dengan memberikan pembinaan dan modal untuk bersaing dalam usaha dagang bakso, sate, potong rambut, dll (bakso, sate, potong rambut Krama Bali – identitas perlawanan terhadap bakso Muslim, Bakso Jawa, potong rambut Madura, dll). Pada sisi lain munculnya gerakan anti kebudayaan luar atas nama Ajeg Bali juga semakin memperparah kondisi sosial kemasyarakatan. Hal ini secara langsung berkaitan erat dengan persoalan keagamaan khususnya Islam dan Kristen. Tentu hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa agama Islam dan Kristen tidak berasal dari Bali. Oleh sebab itu gerakan ini telah menjadi semacam alat bagi munculnya sentimen anti masyarakat pendatang.
Situasi semacam ini secara perlahan telah menempatkan Bali sebagai sebuah kantong ekskluif bagi persoalan multikultural. Padahal sejarah ke Bali-an adalah sejarah multikultur. Secara historis hal ini ditandai dengan hadirnya masyarakat Islam Bali sejak tahun 1800-an di pesisir pantai Barat (Jembrana), Utara (Buleleng), Timur (Karangasem) dan di Selatan (Denpasar). Secara khusus di daerah Gitgit terdapat kampung Islam Bali (orang Bali yang telah menjadi Islam dengan nama-nama tetap menggunakan Wayan, Made, dll). Relasi antara Hindu dan Islam telah menciptakan simbol-simbol yang kuat secara kultural dan agama. Begitu juga sejarah Kekeristenan telah menjadi bagian yang kuat dalam konteks ke Balian. Sejarah orang Kristen Bali telah menjadi tanda bahwa Bali bukanlah suatu daerah yang homogen seperti yang selama ini banyak dipahami.

B. Perda No. 3 Tahun 2001 (2003) tentang Desa Pekraman
1. Proses Legislasi
Persoalan Desa Adat di Bali sebelumnya memang telah diberi payung hukum pada Perda No. 06 tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Namun demikian menurut Pansus Ranperda Desa Pekraman keberadaan Perda tersebut perlu disempurnakan. Hal ini terkait dengan eksistensi masyarakat Bali yang dahulunya bersifat homogen kini melalui berbagai proses cenderung menjadi semakin heterogen. Demikian juga perubahan corak masyarakat agraris yang dahulu sangat kental kini berubah menuju masyarakat industri dan jasa yang bersifat sangat dinamis. Hal ini tentu mengakibatkan perubahan-perubahan secara sosio-kultural maupun sosio-religius dari konteks yang sangat komunal menjadi sangat individualistik dan materialistik. Kondisi semacam ini tentu akan berpengaruh terhadap eksistensi desa adat khususnya dalam konflik-konflik yang bernuansa adat di Bali[1]. Persoalan heterogenitas dan perubahan-perubahan sosio-kultural dan sosio-religius di Bali inilah sebagai salah satu pendorong munculnya usaha untuk menyempurnakan Perda No.06 Tahun 1986 yang dinilai akan sulit menjawab persoalan-persoalan adat pada saat ini. Hal ini karena Perda 06 tahun 1985 masih berorientasi pada konteks ke-Balian yang cenderung bersifat homogen[2]. Selain itu juga konsep pembaharuan terhadap Perda No.06 tahun 1985 tersebut didasarkan pada diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 dan Permendagri No.3 Tahun 1977 yang berisi tentang pemberdayaan dan pelestarian dan pengembangan adat istiadat – kebijasaan masyarakat dan lembaga adat daerah.
Selanjutnya bahwa tujuan utama dari keluarnya Perda No.3 Tahun 2001 / 2003 adalah dengan mengingat adanya beberapa hal yang perlu disempurnakan khususnya menyangkut masalah kekuasaan Desa Pekraman sejalan dengan semangat UU No. 22 Tahun 1999. Penyempurnaan itu secara khusus berkaitan dengan tugas dan kewenangan lingkup kekuasaan Pemerintahan Desa Pekraman yang meliputi[3]:

a. Kekuasaan untuk menetapkan aturan-aturan yang mengikat seluruh warganya, guna menjaga kehidupan organisasi secara tertib dan tentram. Kekuasaan ini diselenggarakan bersama dan disepakati dalam rapat desa (paruman/sankepan), seperti upaya menjaga ketertiban masyarakat. Mewujudkan hubungan yang harmonis antar sesama warga dengan lingkungan alam dan dengan Tuhan yang Maha Esa, sebagai perwujudan ajaran Tri Hita Karana.

b. Kekuasaan untuk meneyelenggarakan kehidupan organisasi yang bersifat keagamaan, sosial
budaya dan ekonomi, seperti membina dan mengembangkan nilai-nilai agama Hindu, mengembangkan kebudayaan, memelihara dan melestarikan adat istiadat yang hidup dan bermanfaat untuk pembangunan bangsa, mengembangkan ekonomi kerakyatan, memelihara kelestarian Kahyangan Tiga.

c. Kekuasaan untuk menyelesaikan sengketa, kasus atau konflik karena berbagai hal seperti kepentingan yang bertentangan, tindakan yang menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan, perbuatan yang mengganggu ketertiban warga dan lain-lain, yang umumnya ditempuh melalui perdamaian maupun sanksi adat yang pada umumnya bersifat mendidik.d. Kekuasaan untuk menjaga keamanan dalam wilayah pelemahan desa pekraman, mewujudkan pertahanan dan keamanan bersama dalam menghadapi kondisi tertentu. Secara keorganisasian disebut Pecalang.

2. Produk Politik
Sebagai sebuah produk kebijakan publik maka Perda Desa Pekraman ini tidak bisa dilepaskan dari persoalan politik. Tidak dapat disangkal bahwa dengan Perda ini maka kekuatan politik Desa Pekraman menjadi kuat. Hal ini secara positif dapat dilihat sebagai usaha penataan di dalam kehidupan kemasyarakatan di Bali. Panataan keberadaan Desa Pekraman melalui Perda ini telah memberikan Payung hukum bagi keberadaan Desa Pekraman di Bali sejajar dengan keberadaan Desa Dinas. Persoalannya adalah bahwa posisi politis yang semacam ini telah memberikan kedudukan Desa adat memiliki kekuatan secara politis. Kondisi semacam ini – dalam prakteknya – telah menyebabkan politisasi terhadap Desa Pekraman ini menjadi sangat kuat. Kedudukan yang kuat secara hukum dan politik menyebabkan kepemimpinan di Desa Pekraman saat ini juga tidak bisa dilepaskan dari kepentingan-kepentingan politik yang ada. Kebijakan-kebijakan yang dibuat di dalam konteks Desa Pekraman sering terlihat bersifat politis dari pada kepentingan adat itu sendiri.

3. Bias Sosial - Agama
Perda ini secara materi normatif terlihat tidak memiliki dimensi bias agama. Hal ini dapat dilihat dalam pasal-pasal yang ada sama sekali tidak membahas mengenai agama. Namun justru persoalannya adalah bahwa memahami ke-Balian adalah memahamai persoalan adat dan budaya yang sekaligus adalah agama itu sendiri. Dalam hal ini agama Hindu. Sejak awal dalam pasal-pasalnya telah ditegaskan bahwa Desa Pekraman adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli, hak asal-usul yang bersifat istimewa bersumber dari pada Hindu, kebudayaan Bali, berdasarkan Tri Hita Karana, mempunyai Kahyangan (lihat pejelasan umum angka 4 -lampiran). Oleh sebab itu sudah dapat dipastikan bahwa Perda ini tidak mengatur bagi keberadaan masyarakat non Hindu. Persoalannya adalah bagaimana kedudukan masyarakat non Hindu dalam konteks Desa Pekraman? Hal ini memang telah diatur dalam pasal 3 angka 6 yang menyatakan bahwa krama desa / krama banjar Pekraman yang bukan beragama Hindu hanya mempunyai ikatan pawongan dan palemahan di dalam wilayah desa Pekraman yang hak dan kewajibannya diatur dalam awig-awig desa Pekraman masing-masing. Hal ini jelas karena yang berkaitan dengan parhyangan (bagian yang berkaitan dengan keagamaan) dianggap telah dimilki oleh masyarakat non Hindu tersebut (misalnya gereja, mesjid, Wihara dll). Dalam konteks ini tidak menjadi sebuah persoalan. Hal yang menjadi persoalan adalah bahwa sejak awal Perda ini merupakan Perda yang mengatur tentang persoalan adat atau Desa Pekraman dimana kebijakan-kebijakan ini mengatur sepenuhnya mengenai persoalan adat dan kebudayaan di Bali. Pertanyaanya tentu adalah siapakah masyarakat non Hindu tersebut? Masyarakat non Hindu dalam hal ini dianggap adalah masyarakat yang bukan berasal dari Bali. Atau dengan kata lain dapat dikatakan sebagai pendatang. Dalam konteks ini jelas bahwa Perda ini telah mengaturnya dengan baik. Namun bagaimanakah dengan masyarakat Bali non Hindu misalnya orang Bali Kristen atau orang Bali Islam. Seperti diketahui bahwa esksitensi masyarakat Bali non Hindu ini telah ada sejak puluhan dan ratusan tahun di Bali dan hidup berdasarkan nilai-nilai ke-Balian yang sangat khas. Nama-nama seperti Wayan Immanuel, Ketut Suyaga Ayub, Pdt. Ida Bagus Kemenuh, Nyoman Islami, Ni Ketut Jubaedah, bukanlah nama-nama asing di kalangan masyarakat Bali non Hindu. Adanya Desa Bali Kristen seperti Blimbingsari, Ambyarsari dan desa Bali Islam di Pegayaman Buleleng, menunjukan dengan jelas bahwa esksistensi masyarakat Bali non Hindu merupakan satu hal yang tidak dapat disangkal.
Seperti sudah dikatakan di atas memang dalam tahapan tertentu – khususnya di dalam Palemahan dan Pawongan eksistensi masyarakat non Bali dan orang Bali non Hindu tetap diakui. Namun demikian harus dipahami bahwa masyarakat Bali non Hindu adalah sebuah masyarakat yang hidup di dalam kebiasaan serta adat istiadat Bali meskipun tidak lagi menganut agama Hindu. Esksistensi masyarakat Bali non Hindu adalah orang Bali. Dalam hal ini apakah mereka dianggap sebagai masyarakat Bali ataukah hanya sebagai pendatang atau krama tamiu (tamu atau pendatang). Kalau dianggap sebagai pendatang, tentu menjadi sesuatu yang agak naïf karena mereka adalah orang-orang Bali asli yang hanya berbeda agama. Meskipun eksistensi mereka telah diatur didalam pawongan dan palemahan, itu artinya kedudukan warga desa yang berasal dari Bali tetapi non Hindu hanya terbatas pada kegiatan informal di dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Mereka tidak dapat terlibat secara formal karena memang sejak semula Perda ini hanya mengatur tatatan ke-Balian yang didasarkan pada nilai-nilai ke-Hinduan. Secara praktis dapat dikatakan bahwa orang non Hindu – baik orang Bali maupun bukan orang Bali – tidak mungkin berada dalam struktur-struktur formal di Desa Pekraman. Tentu alasan utamanya adalah karena Desa Pekraman hanya mengatur bagi kehidupan masyarakat Hindu Bali. Namun di sinilah persoalannya bahwa pengaruh yang paling kuat dari Perda ini adalah semakin dikotomisnya hubungan antara masyarakat Bali dan masyarakat non Bali termasuk orang Bali non Hindu. Jika dahulu dikenal adanya nyama Selam (saudara yang beragama Islam) atau nyama Srani / Kristen (saudara yang beragama Kristen), maka saat ini istilah ini semakin pudar karena kategori yang dipakai adalah masyarakat non Hindu atau krama tamiu. Hal yang paling berdampak dari munculnya Perda ini secara sosiologis adalah semakin ‘tidak diakuinya’ eksistensi masyarakat Bali non Hindu di tengah-tengah masyarakat Bali. Konsep Menyama Braya (persaudaraan) yang selama ini kuat di Bali telah mengalami pergeseran ke arah yang bersifat dikotomis penduduk asli - tidak asli, Bali – bukan Bali, Hindu – non Hindu, pendatang – masyarat asli, krama Bali – krama tamiu, dll.
Konteks semacam ini secara sosiologis berdampak pada banyak hal. Munculnya sentimen-sentimen anti masyarakat non Bali terlihat dalam beberapa aktifitas kemasyarakatan. Misalnya pasca bom Bali I dan II sentimen terhadap masayarakat Islam semakin kuat. Razia-razia kependudukan yang dilakukan lebih bersifat rasialis-agamis dari pada bersifat administratif kependudukan. Pencegahan masuknya pendatang dari Jawa dan Lombok dilakukan dengan pemeriksaan yang super ketat melalui pengecekan KTP dan pemeriksaan-pemeriksaan lainnya. Dalam batas-bata tertentu hal ini dapat dipahami dalam konteks pencegahan dan keamanan.
Pada sisi lain munculnya konflik simbol di Bali beberapa tahun belakangan ini telah memberikan indikasi yang jelas bahwa terjadi korelasi yang signifikan antara meningkatnya eksklusifitas ke-Hinduan – sebagai dampak dari munculnya kekuatan hukum melalui Perda Desa Pekraman – terhadap simbol-simbol yang digunakan oleh masyarakat non Hindu. Misalnya dalam beberapa tahun terakhir ini masyarakat non Hindu, khususnya Kristen tidak dibenarkan menggunakan nama-nama lembaga dengan istilah yang digunakan di dalam ke-Hinduan. Misalnya nama sekolah Kristen milik GKPB yang sebelumnya bernama Sekolah Widhya Pura telah diganti saat ini dengan nama Sekolah Harapan. Sekolah Katolik yang sebelumnya bernama Sekolah Swastiastu telah diganti saat ini dengan nama Sekolah St. Yoseph. Begitu juga pada beberapa tahun terakhir ini ada diskusi yang kuat mengenai usaha untuk mengganti kata Sang Hyang Widhi Wasa untuk menyebut Allah yang Esa di dalam Alkitab bahasa Bali dan sebutan untuk Allah dalam bahasa ibadah Kristen. Persoalan ini muncul karena kata ini dipahami sebagai kata yang berasal dari bahasa Sansekerta yang notabene adalah bahasa yang digunakan oleh umat Hindu. Sehingga kata ini tidak bisa digunakan oleh orang atau agama lain selain Hindu. Meskipun hingga saat ini kata Sang Hyang Widhi Wasa tidak diganti – karena memang memiliki sejarahnya tersendiri bagi umat Kristen – tetapi isu ini telah menunjukan adanya indikasi munculnya ekslusifitas keagamaan – dan dengan demikian juga adat - di dalam memahami konteks ke-Balian saat ini.
Selain itu, masih dalam konteks simbol, bangunan-bangunan yang sejak awal dilihat sebagai proses kontekstualisasi di Bali saat ini mendapatkan perhatiannya yang cukup serius. Bangunan-bangunan seperti Gereja diharapkan tidak lagi menggunakan model atau gaya Bali. Hal ini dianggap meniru dan menjebak masyarakat Bali untuk datang ke gereja yang sejak awal memiliki gaya seperti layaknya sebuah Pura. Perda No.5 Tahun 2005 mengenai persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung menunjukan dengan jelas bahwa simbol-simbol yang digunakan untuk bangunan di Bali seharusnya ditempatkan pada tempat yang semestinya atau sesuai degan norma keagamaan (Pasal 20 angka 1). Pertanyaannya tentu adalah agama mana yang menjadi norma dalam menempatkan simbol-simbol tersebut. Tentu jawabannya adalah norma yang terdapat di dalam agama Hindu. Konsekuensi dari hal tersebut adalah tidak terdapatnya ruang ruang bagi agama lain untuk menempatkan simbol-simbol yang bernuansa ke-Balian dalam rumah ibadahnya. Hal ini karena simbol-simbol tersebut dianggap bernuansa ke-Hinduan atau ke-Bali-an. Hal ini menjadi persoalan manakala diperhadapkan dengan model gereja – khususnya di Gereja Kristen Protestan di Bali – yang nota bene dan sejak lama telah menggumuli proses kontekstualisasi dengan penerapan simbol-simbol yang digunakan di dalam kehidupan beriman dari umat Kristen Bali. Proses kontekstualisasi ini dilakukan tidak saja sebagai sebuah usaha menciptakan proses bangunan secaa fisik tetapi lebih pada pemahaman hidup beriman secara kontekstualisasi sebagai orang Bali Kristen. Persoalan yang terpenting adalah simbol yang mana yang tidak boleh digunakan dan mana yang boleh digunakan - dalam hal ini kedua agama ini belum dapat memberikan jawaban yang pasti mengenai hal tersebut. Namun dengan munculnya Perda mengenai arsitektur bangunan ini maka bentuk-bentuk bangunan rumah ibadah (khusunya rumah ibadah Kristen) di Bali sedikit banyak saat ini telah mengalami pergeseran ke arah yang tidak lagi memiliki nuansa yang kental dengan unsur-unsur ke-Balian. Bahkan cendrung tidak menggunakan bentuk bangunan Bali. Kalaupun masih terdapat hal ini sangat dipertimbangkan agar tidak membuat kerisauan dari umat Hindu di Bali.
Konsekuensi dari pergeseran terhadap simbol-simbol ini memiliki dampak sosio-psikologis bagi umat Kristen secara khusus yaitu semakin merasa bahwa mereka bukanlah bagian dari masyarakat Bali. Dan dampak yang paling parah adalah semakin pudarnya nilai-nilai ke-Balian yang dimiliki oleh generasi-generasi muda Kristen Bali. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya anak-anak Kristen Bali yang tidak lagi mampu berbahasa Bali dengan baik, kurangnya kemampuan menari, bermain musik Bali / gong, mekidung Bali (menyanyi), dsb. Hal ini semua merupakan dampak dari dikotomis yang terjadi secara kuat dan sebagai dampak dari kebijakan pemerintah daerah terhadap tatanan kemasyarakatan di Bali.

C. Kesimpulan

1. Bali dan Identitas Masa Depan
Dari uraian di dalam penelitian ini nampak dengan jelas bahwa identitas ke-Balian mengalami sebuah persoalan ketika berhadapan dengan proses modernisasi. Wacana mengenai budaya dan modernisasi telah menjadi bagian yang paling sulit ketika berhadapan dengan berbagai persoalan yang saat ini sedang dihadapi di Bali. Secara khusus ketika identitas untuk kembali kepada Bali sebagai bayangan tentang masa lalu yang indah, harmoni, berbudaya, tanpa gesekan, dan mengandung nilai-nilai magis yang kuat. Identitas yang demikian kemudian menjadi persoalan ketika dihadapkan pada pertanyaan apakah mungkin identitas yang demikian tersebut dapat diraih kembali oleh Bali. Pertanyaan inilah yang kemudian hendak dijawab melalui berbagai konsep dan kebijakan yang salah satunya adalah diwujudkan melalui Perda desa Pekraman dan konsep Ajeg Bali yang saat ini menjadi wacana utama di Bali. Pergulatan antara mazhab identitas Bali sebagai bayangan indah dan identitas Bali yang menghargai pluralitas dengan segala macam persoalannya terus bergulir saat ini. Tetapi yang pasti bahwa identitas Bali di masa depan adalah sebuah identitas yang tidak dapat dipungkiri telah mengalami perkembangan yang bersifat pluralistik dan multikulturalistik. Akan tetapi sebaliknya melalui Perda tentang Desa Pekraman ini arah dan identitas Bali justru akan semakin menuju kepada identitas yang cenderung bersifat ‘monolitik’ dan tentunya sangat rentan terhadap konflik SARA. Kondisi ini sebenarnya telah terjadi di dalam beberapa kasus-kasus SARA seperti yang dituangkan dalam penelitian ini khususnya mengenai konflik SARA yang terjadi di daerah Katung berupa pembakaran Gereja – yang jika ditelusuri akar permasalahannya berkaitan dengan persoalan identitas orang Bali Hindu berhadapan dengan identitas orang Bali Kristen. Kondisi konflik semacam ini akhir-akhir ini dapat terjadi setiap saat dengan dilegitimasikan melalui kekuatan yang ada di dalam Perda mengenai Desa Pekraman ini.

2. Perda No. 3 Tahun 2003: Memacu Kekuatan Lokalitas yang Ekslusif
Sejak awal dikatakan bahwa Perda ini sama sekali tidak bermaksud untuk mewujudkan Bali sebagai sebuah daerah yang menghendaki agama Hindu sebagai dasar bagi kehidupan bermasyarakat. Sejarah pemerintahan Indonesia dengan tujuan negara sebagai kesatuan telah memberikan tatanan yang kuat mengenai sistem pemerintahan modern yan harus dibangun di setiap derah atau propinsi di Indonesia. Oleh karenanya tatanan pemerintahan modern ini sekaligus menjadi acuan bagi kehidupan masyarakat yang terdiri dari beragam etnik, agama dan budaya. Namun demikian pemerintah tetap mengakui adanya tatanan pemerintahan tradisional seperti yang ada di beberapa daerah – khususnya Bali. Namun demikian persoalan yang muncul adalah ketika Perda ini berada dalam tahapan implementasi maka terjadi bias-bias baik di dalam pemahamannya maupun di dalam pelaksanaannya. Hal ini terkait erat dengan berbagai faktor. Dalam konteks Bali faktor-faktor eksternal seperti Bom Bali I dan II, wacana identitas, otonomi daerah, geresekan-gesekan atau konflik adat, agama, telah memberikan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk membicarakan secara lebih luas dan membuat kebijakan yang berkaitan dengan hal tersebut. Perda No.3 Tahun 2003 merupakan salah satu produk yang dipahami atas dasar faktor-faktor itu. Atas dasar ini maka jargon-jargon yang dikembangkan didalam implementasi kebijakan ini lebih pada nuansa penguatan akan nilai-nilai lokal yang diasumsikan telah mengalami keretakan-keretakan dan yang dianggap akan menghancurkan nilai-nilai ke-Balian. Namun sayangnya – dalam konteks implementasi - Perda ini justru telah menjerumuskan masyarakat Bali dalam dikotomi-dikotomi yang semakin kuat atas.nama krama tamiu - krama Bali, Jawa – Bali, dan sebagainya. Hal ini terjadi sebagai akibat menguatnya dimensi lokalitas yang telah dikukuhkan secara formal dan pada akhirnya cenderung bersifat membentuk masyarakat lokal yang bersifat eksklusif. Ekslusifitas tersebut tidak dapat disangkal –pada akhirnya – dapat menghasilkan konflik yang semaki kuat diantara masyarakat Bali dan masyarakat pendatang yang memiliki latar belakang baik etnis maupun agama yang berbeda. Dengan kata lain situasi di Bali saat ini dengan adanya Perda ini sebenarya berada dalam sebuah kondisi seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat terjadi konflik yang bernuansa SARA. Jika ini terjadi maka tujuan yang hendak dicapai melalui Perda ini dan dengan segala konsep lokal yang didengungkan – seperti Ajeg Bali - akan mengalami kegagalan. Ke depan harus dipahami bahwa membangun Bali adalah membangun Bali adalah membangun sebuah masyarakat Bali yang berdimensi pluralistik dan multikulturalistik.

[1] Wawancara dengan I Made Wirya,anggota DPRD Propinsi Tk. I Bali, salah satu perumus Raperda Desa Pekrman.
[2] Laporan Pansus Ranperda Desa Pekraman dalam Risalah Resmi Rapat Paripurna ke-3 masa Persidangan II DPRD Propinsi Bali, 4 September 2000, h. 18.
[3] Ibid, h. 20.