Friday, May 4, 2007

Nasi Jinggo

Nasi Jinggo

Suatu hari saya berjalan dalam malam yang kelam. Berjalan degan perut yang lapar dengan harapan akan mendapatkan warung makan. Tidaklah mudah dalam malam yangkelam mencari sebuah rumahmakan. Ketika lapar semakin melilit perut, saya melihat ada begitu banyak anak muda yang sedang nongkrong di pinggir jalan. Saya berharap inilah akhir dari perjuangan untuk mencari makanan pada malam hari ini. Ternyata benar, inilah jajanan pinggir jalan, NASI JANGGO!

Tadinya saya berpikir, mengapa saya harus makan makanan yang disebut nasi janggo. Tetapi setelah saya duduk dan ada bersama dengan yang lainnya, yang kemudian setelah saya ketahui datang dari berbagai lapisan masyarakat. Ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang tua,para janda dan pelacur kota bahkan seorang pendeta sekalipun. Akhirnya saya mengerti warung pinggir jalan ini adalah warung kebebasan yang dapat di datangi oleh siapapun.

Sesaat saya tak peduli akan setiap pembicaraan yang berlangsung di dalam kumpulan kebebasan itu. Saya lapar dan haus…makan dan minum, setalah itu pulang! Begitulah pikiran saya. Tetapi setelah saya makan ada seorang pemuda yang datang kepada saya dan bertanya, “Anda baru pertama kali ini ya kemari?”. Saya menjawab : “ Hmm..dari mana anda tahu?” . Pemuda itu berkata, “Oh gampang kalau mau tahu orang baru datang ketempat ini. Bisa dilihat dari cara makannya…karena cara makan nasi janggo anda salah. Makan nasi janggo itu harus dicampur semuanya dan kemudian menyantapnya dengan lahap!”. Akhirnya saya mengaku bahwa saya memang baru pertama kali ke warung kebebasan tersebut.

Tetapi apa yang terjadi kemudian, ketika saya hendak pulang, anak muda ini menahan saya supaya jangan pulang dulu. Katanya, “Jangan pulang dulu lah bli…berceritalah tentang apa saja. Karena tempat ini adalah kebebasan”. Kemudian kami bercerita tentang apa saja. Dari masalah sosial, politik, budaya, agama bahkan masalah pribadi. Semua boleh berpendapat, semua boleh menyangga dan tidak setuju, semua boleh mengritik dan boleh tertwa sepuasnya. Semua ada di dalam kesederhanaan kata dan bahasa, semua ada untuk bersama. Semua ada untuk berbagi rasa, tanpa batas social dan ketersinggungan. Warung nasi jinggo adalah warung kebebasan dan nasi janggo adalah simbol kebebasan. Lho mengapa begitu?

Warung nasi janggo adalah sebuah realitas anti kemapanan. Dia ada sebagai sebuah relaita yang menghantam kesombongan rumah-rumah makan yang sudah tidak dapat lagi dijangkau oleh masyarakat biasa yang ada di kota. Rumah-rumah makan itu hanya dapat dijangkau oleh orang-orang kaya yang punya banyak uang dan kalau makanannya tidak enak dapat dibuang dengan seenaknya. Tetapi warungnasijanggo adalah warung kebebasan, siapa boleh datang dan menikmati kesederhanaannya. Hanya dengan nasi segumpal, ikan teri dan sambal ditambah dengan kacang dan kalau mujur ada sedikit be sisit, ah….sedap sekali! Kesederhaan menu dan penampilan warung nasi janggo membawa orang pada nilai-nilai kebersamaan, persatuan, keadilan dan nilai-nilai keobjektifan. Kesederhanaan adalah kata kunci dari sebuah kebebasan. Tanpa kesederhanaan tidak akanmungkin ada kebebasan.

Yesus ada di dalam kesederhanaan-Nya di dunia ini. Ia ada untuk sebuah kebebeasan, yaitu kebebasan bagi dosa manusia! Kesederhanaan-Nya menempatkan diriNya bagi siapa saja. Dia bukan hanya ada untuk orang kota, tetapi juga bagi orang desa, bagi orang miskin, tua-muda, bahkan bagi seorang perempuan yang dianggap berdosa seperti Maria Magdalena. Dan tentunya Dia ada bagi saya dan saudara. Dia ada di dalam kesederhanaanNya. Dan dengan kesederhanaanNya telah membebaskan manusia dari belenggu dosa.

Menjadi gereja yang hidup adalah menjadi gereja yang sederhana, yang ada bagi jemaat dan masyarakat. Siapapun, dalam latar belakang seperti apapun dan untuk siapapun. Itulah pelayanan yang sederhana tetapi memiliki kekuatan yang luar biasa. Seperti Yesus yang sederhana begitu pulalah pelayanan kita sebagai gereja yang hidup.

No comments: