Tuesday, May 15, 2007

Perceraian dalam Media

Munculnya pemberitaan-pemberitaan mengenai perceraian dan perselingkuhan akhir-akhir ini telah memunculkan sebuah pertanyaan apakah hubungan antara perceraian dan peran media – baik televisi maupun majalah-majalah infotainmen? Dua hal ini seolah-olah berada pada enclave yang berbeda. Perceraian berada dalam ranah moralitas yang mengangkat aspek-apek, nilai-nilai dan tatanan kehidupan khususnya dalam keluarga, sedangkan media berada dalam ranah komunikasi yang mengedepankan peran artistik, virtualitas dan estetik. Sejak lama keduanya berjalan secara linear dan tidak ingin menyentuh satu dengan yang lainnya. Namun sejalan dengan waktu telah terjadi sebuah perselingkuhan diantara keduanya yang dimotori oleh peran kapitalisme. Dari sisi ini dimensi tubuh – yang mewakili pasangan suami istri – dianggap sebagai komoditi untuk memuaskan hasrat dari kapitalisme melalui peran media. Atau dengan kata lain peran media telah menjadikan tubuh sebagai produk yang dapat dipasarkan guna memperoleh keuntungan.

Persekutuan media dan kapitalisme akhir-akhir ini ini telah berjalan ke arah yang sangat membahayakan. Eksplorasi terhadap masalah-masalah kemasyarakatan sering tidak lagi dilihat sebagai usaha menciptakan perdamaian dan keutuhan tetapi justru memprovokasi ke arah perpecahan dan disintegrasi. Hal ini nampak dengan jelas dalam pemberitaan mengenai kasus-kasus perceraian. Pemberitaan yang diangkat lebih didominasi oleh pemberitaan tentang usaha perceraian dari pada pemberitaan tentang usaha ke arah perdamaian dan kesatuan serta keutuhan rumah tangga. Hal ini kemudian diekspos sedemikian rupa guna memperoleh rating pemberitaan yang tinggi atau oplah yang tinggi bagi penjulan majalah. Bahkan sering terjadi duplikasi pemberitaan karena dianggap tetap menarik untuk diberitakan. Dalam kasus seperti ini dapat dikatakan bahwa perselingkuhan antara media dan kapitalisme telah menunjukan wajahnya yang buruk dengan cara mengeksplorasi dan mengeksploitasi salah satu dimensi privat (keluarga) secara berlebihan dan dijual ke ranah publik untuk kepentingan pasar. Dari sisi ini kapitalisme telah memainkan peran yang sangat tidak ramah dengan menggunakan media dan pada sisi lain media juga telah banyak kehilangan dimensi moralitasnya demi demi meraup keuntungan semata-mata.

Wajah buruk seperti ini mengingatkan kita akan anjuran dari Rich DeVos (1995) mengenai compassionate capitalism (kapitalisme yang berbela rasa). Kapitalisme tidak saja memiliki karakter yang semata-mata ingin meraup keuntungan yang berlebihan tetapi di dalamnya juga harus memiliki belas kasih dan berbela rasa. Wajah buruk yang ditampilkan melalui pemberitaan-pemberitaan media yang semata-mata mengksploitasi perceraian tanpa memfoksukan pada pemberitaan terhadap usaha-usaha perdamaian, kerukunan, kesatuan keluarga, merupakan passionate capitalism (kapitalisme penuh nafsu) yang hanya berorientasi pada keuntungan semata-mata. DeVos dalam compassionate capitalism-nya melihat bahwa usaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya adalah sama pentingnya dengan usaha melakukan kebajikan-kebajikan sosial. Dalam bahasa komunikasi hal ini tercermin dari bagiamana pemberitaan tersebut menjadi sebuah pemberitaan yang seimbang, dimana perceraian sebagai sebuah realitas sosial yang – mungkin – tidak dapat dihindari oleh pasangan suami istri namun dapat diusahakan semaksimal mungkin pemberitaan yangmengarah pada terciptanya keutuhan rumah tangga. Atau dengan kata lain dimensi kapitalisme sebagai usaha mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan menggunakan media seharusnya juga memfokuskan perhatian mengenai usaha perdamaian bagi keutuhan ciptaan dan keluarga. Sudah saatnya – dan sangat diharapkan oleh masyarakat yang sudah bosan dengan pemberitaan-pemberitaan seperti itu - media mempertimbangkan sebuah gerakan compassionate capitalism dan bukan hanya passionate capitalism.

No comments: