Sunday, May 13, 2007

“Gereja Suweg”

“Gereja Suweg”: Belajar dari Sekitar Kita!

Suatu waktu penulis sedang berkunjung kepada seorang jemaat yang merupakan pendiri gereja di GKPB Patas (Bpk. Mathias). Dan setelah berbincang-bincang beliau menyuguhkan makanan yang sangat enak: kukusan Suweg! Hanya dengan tambahan kelapa yang diparut dan segelas teh hangat…hmm enak sekali! Mungkin kebanyakan diantara kita belum tahu bagaimana bentuk dan enaknya ‘buah’ ini. Khususnya kebanyakan generasi muda pasti belum tahu salah satu jenis umbi-umbian ini (penulis juga baru tahu koq!). Tetapi yang pasti jenis umbi ini memiliki kekhasannya sendiri. Ia merupakan keluarga dari umbi-umbian dan tumbuh di bawah tanah dengan daun berada diatasnya. Berkhasiat untuk beberapa macam penyakit seperti melancarkan buang air kencing, menghaluskan kulit kaki yang pecah-pecah dan beberapa yang lainnya juga. Yang menarik juga bahwa jenis umbian ini dapat ditanam kembali dengan cara yang unik. Jika buahnya telah kita ambil dan membelahnya menjadi dua maka kita dapat menanam kembali bagian belahan yang satu dengan cara terbalik. Dan hasilnya akan bertambah besar. Begitu seterusnya, diambil ditanam sebagian dan tumbuh bertambah besar! Bahkan kulitnyapun dapat ditanam dan bertumbuh. Meskipun jarang diperhatikan, tetapi ia adalah satu buah yang menarik dan sangat banyak tumbuh (baik ditanam maupun tumbuh sendiri) di sekitar rumah kita.

Teologi Buah Suweg: Sebuah Refleksi Kontekstual!

Munculnya semangat Asia di dalam kehidupan berteologi telah menjadikan teologi kontekstualisasi sebagai bagian yang utuh dalam hidup beriman di Asia. Berteologi di Asia bukan lagi sebagai theology in Asia tetapi menjadikannya sebuah theology of Asia. Dan hal itu sangat membutuhkan pemikiran serta usaha untuk berani merefleksikan diri ke dalam dunia Asia itu secara total. Seperti diketahui bahwa hanya ada dua realitas sosial di jagad kehidupan Asia yaitu pluralitas dan kemikskinan yang merajalela (Pieris, 1995). Sudah menjadi kenyataan dalam konteks Indonesia, pluralitas atau kemajemukan dan kemiskinan merupakan realitas yang tidak bisa dihindari. Dalam dunia seperti inilah kita harus hidup dan mengembangkan hidup berteologi dan beriman kita sebagai orang Kristen. Dalam konteks kemajemukan kita harus menyadari bahwa tologi yang dikembangkan adalah sebuah teologi dialog yang jujur dan bersahaja. Mengapa demikian? Apa yang dikatakan oleh Samuel P.Hutington bahwa dalam era global ini saat ini akan terjadi semacam ‘benturan’ antar peradaban khususnya antara Barat (baca: Kristen) dan non Barat secara khusus Islam, Konfusianisme, Budhisme dan Hinduisme. Banyak orang menganggap tesis ini mengada-ada, tetapi pada kenyataannya jika kita perhatikan konflik mondial yang ada di muka bumi ini dapat di kategorikan dari apa yang dikatakan oleh Samuel P. Hutington.

Terlepas dari usaha untuk melihat sebab musabab dari konflik tersebut, maka hal penting yang harus disadari dan dilakukan adalah bagaimana dialog yang jujur dalam berteologi dan berekspresi demi dan untuk perkembangan bersama di dalam masyarakat majemuk adalah hal yang sangat penting. Hal ini karena dialog hubungan antar agama bukanlah hubungan asimilasi atau hubungan subtitusi, melainkan suatu hubungan yang saling menyuburkan. Dalam dunia yang mejemuk ini tujuan dialog adalah untuk menekankan kesinambungan dalam kedalaman yang dapat ditemukan di antara agama-agama dan komunitas-komunitas” (Panikar, 1981). Dalam kenyataan semacam ini hal-hal yang bersifat eksklusif (tertutup) dalam hidup keagamaan dibuang dan diganti dengan hidup bersama dalam sebuah komunitas yang inklusif (terbuka) yang saling menumbuhkan satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain bahwa konsep Basic Christian Community (Komunitas Basis Kristen) sudah seharusnya dibarengi dengan konsep Basic Human Community (Komunitas Basis Kemanusiaan) sebagai tiang penopang hidup beragama dan bergereja.

Apa yang kita sebut selama ini sebagai Family Church (dan akhir-akhir ini ada konsep lain yang katanya melengkapi: Underground Church) dalam kehidupan beragama di Bali (khususnya untuk GKPB) merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dibahas. Hal itu muncul sebagai sebuah reaksi dari konflik simbol yang terjadi di Bali belakangan ini. Hanya sayangnya konsep-konsep ini belum ter-sistematisasi dengan jelas dan hanya masih berupa wacana lepas, sehingga sulit untuk melacak benang merah dari model familiy church dan underground church ala GKPB. Oleh karena itu mungkin kita perlu tetap setia dengan model berkontekstualisasi dan belajar dari ibu bumi kita sendiri tanpa harus selalu melihat dan mencontoh orang lain. Istilah-istilah itu saja sudah membuat kepala kita pusing apalagi kalau harus menjabarkan sesuatu konsep yang belum jelas keberadaannya.

Idenya memang dapat dimengerti yaitu bahwa dengan model family church diharapkan kita dapat hidup sebagai sebuah keluarga yang hidup bersama di dalam suatu komunitas yang berbeda. Disini sebenarnya sudah nampak sebuah model yang jujur dan bersahaja di dalam kehidupan beragama. Dengan munculnya ide bahwa kita adalah sebuah komunitas keluarga maka diharapkan hidup di dalam kedamaian menjadi kata kunci yang harus diutamakan di dalam percakapan-percakapan lintas kultur dan agama. Tetapi sayang, ide ini kemudian semakin kabur dengan munculnya konsep underground church yang sebenarnya merupakan counter productive dari model family church yang sangat bersahaja.

Mungkin kita harus sedikit kembali melihat kepada sejarah gereja khususnya sejarah gereja di negara-negara komunis. Dalam konteks negara komunis gereja tidak mendapat tempat yang selayaknya sehingga pergerakan gereja menjadi sangat hati-hati dan menjadi sangat terselubung. Kondisi pergerakan gereja yang demikian inilah yang oleh orang komunis disebut dan dicap sebagai underground church. Sejarah gereja sampai saat ini mencatat bahwa yang memberikan nama underground church bukanlah orang-orang Kristen tetapi adalah orang-orang komunis yang anti gereja dan TUHAN. (Lha, sekarang koq malah kita yang mau memberikan nama itu bagi model pengembangan gereja kita?). Catatan lain adalah bahwa konteks gereja-gereja bawah tanah adalah mereka semua berhadapan dengan orang-orang yang anti agama dan tidak percaya kepada Tuhan (komunis). Penggunaan kata ini di kehidupan bergereja di GKPB menjadi sangat ironis karena orang-orang yang ada di sekitar kita adalah orang-orang yang beragama dan sangat meyakini akan kehadiran Tuhan dalam hidupnya dan tidak mustahil bahwa mereka adalah bagian dari saudara-saudara kita toch!. Oleh sebab itu penggunaan istilah ini di dalam pengembangan model dan hidup bergereja di GKPB sebaiknya dipikirkan kembali.

Mengapa kita tidak mengembangkan sebuah teologi dari ibu bumi Bali yang sangat kaya akan keindahan nilai-nilai kulturalnya. Seperti apa yang dikatakan Geertz dalam Negara Teater”- nya: “Bali adalah negara teater yang di dalamnya raja-raja dan pangeran-pangeran adalah impresario-impresario, para pendetanya adalah sutradara dan para petaninya adalah aktor pendukung, penata panggung dan penontonSeremonialisme istana adalah daya gerak dari perpolitikan istana; dan ritual massa bukanlah alat untuk mendukung negara, tetapi negaralah sebagai alat untuk menggelar ritual massa” (Geertz, 2000).

Dari ungkapan itu nampak independensi dari nilai-nilai ritual tanpa harus takut dengan segala macam tetek bengek persoalan-persoalan sosial politis. Dan kuncinya hanya satu : Hidup dalam kesatuan yang jujur dan utuh di tengah-tengah komunitas basis hidup masyarakat. Seperti apa yang dikatakan dalam kritik Marx terhadap kritik agama Feurbach: “kritik surga berubah menjadi kritik dunia, kritik agama menjadi kritik hukum dan kritik teologi menjadi kritik politik (Franz Magnis, 1999). Artinya sangat sederhana: agama menjadi bagian yang jujur dan utuh dalam kehidupan bermasyarakat. Inilah FAMILY CHURCH (dan kata yang paling tepat adalah Menyama Braya): Hidup dalam komunitas basis kehidupan kekristenan tetapi sekaligus juga (bersamaan) hidup di dalam komunitas basis bermasyarakat yang utuh! Bertumbuh bersama, belajar bersama, memperjuangkan nilai-nilai kehidupan kemanusia yang lebih baik secara bersama dan menjadi besar secara bersama, meskipun di dalam kesulitan yang dialami bersama pula.

Seperti buah suweg yang banyak tumbuh di sekitar kehidupan masyarakat Bali, dinikmati oleh setiap orang dari berbagai golongan. Diambil buahnya, dibelah dan sebagian ditanam kembali di tanah ibu bumi Bali dan menyatu dengannya tetapi (anehnya) terus bertumbuh semakin besar, meskipun untuk itu daunnya harus layu terlebih dahulu. Teologia buah Suweg mungkin adalah implementasi nilai-nilai kehidupan keberagamaan Kristen di Bali (baca GKPB) yang apa adanya, sedikit “urakan dan amburadul”, jujur dan mungkin juga sedikit ndeso tetapi…kaya akan makna hidup bersama dalam kebijaksanaan terang Ilahi. Walahualam!

No comments: