Sunday, May 13, 2007

Kaja -Kelod

Kaja -Kelod

Sebuah Film remaja yang akhir-akhir ini terkenal diberi judul: Ada Apa dengan Cinta. Mungkin sekarang kita juga bisa bertanya, “Ada apa dengan Kaja-Kelod?”. Orang Bali menyebut utara sebagai Kaja yang artinya gunung. Sedangkan lawan arahnya adalah Selatan atau Kelod yang artinya laut. Gunung bagi orang Bali (Hindu) merupakan sebuah tempat yang bersifat mistis. Itulah sebabnya bayak sekali tempat-tempat pemujaan terkenal di Bali berada di ‘gunung’, misalnya Pura Pulaki, Pura Batukau, dan terutama Pura Besakih yang terletak di kaki gunung Agung. Konsep mistis atau agung dalam dunia Kaja-Kelod juga terefleksi di dalam penempatan bangunan-bangunan rumah atau desa. Hal-hal yang bersifat keramat dari harta milik masyarakat biasanya diletakan di bagian kaja, sedangkan hal-hal yang biasa diletakan di bagian kelod. Pura keluarga biasanya ditempatkan di bagian kaja, sedangkan rumah tempat tinggal di bagian kelod. Dalam konteks pura desa yang bersifat kayangan tiga kita dapat melihat bahwa Pura desa diletakan di arah kaja sedangkan pada arah laut (kelod) diletakan Pura dalem (pura yang berhubungan dengan kuburan dan kematian).

Dari pemahaman sederhana ini kita dapat menyimpulkan sementara bahwa bagian utara merupakan tempat-tempat yang dianggap ‘sakral’ sedangkan bagian selatan sering dilihat sebagai bagian yang ‘sekuler’. Dalam dunia sosiologis konsep ini kemudian berkembang demikian: masayarakat yang ada di daerah pegunungan adalah masyarakat yang identik dengan pedesaan dan pertanian. Sedangkan masyarakat di pesisir pantai identik dengan perkotaan dan industri. Masyarakat desa cendrung komunal dan statis sedangkan masyarakat kota bersifat dinamis dan individualis.

Jika kita mencoba merefleksikan hal-hal di atas maka kita sekarang dapat menyadari bahwa ada sesuatu yang ironis yang sedang terjadi di dalam perkembangan kehidupan masyarakat di Bali yaitu bahwa sesuatu yang di utara (kaja) yang diagungkan tetapi secara sosiologis dianggap statis dan tidak dapat berkembang. Akan tetapi sesuatu yang bersifat sekuler di bagian selatan (kelod) bersifat dinamis dan berkembang. Pertanyaannya tentu: “Tidakkah ini merupakan sebuah proses sekularisasi kehidupan masyarakat di Bali yang sudah sampai pada titik yang paling parah?”. Bukti sejarah yang tidak bisa dipungkiri adalah pindahnya ibukota ‘propinsi’ Bali dari Singaraja (Utara) ke Denpasar (Selatan) adalah sebuah ironi yang menunjukan bahwa terjadi proses sekularisasi dalam kehidupan masyarakat Bali secara massif. Ironis!

Sekarang apa yang harus kita lakukan dengan melihat catatan-catatan kecil di atas dalam hubungannya dengan gereja di Bali? Dalam perkembangana gereja di Bali tentu hal ini juga sangat berpengaruh karena sebagain besar perkembangan gereja berada di selatan. Tidak mengherankan karena sejarah mencatat bahwa orang-orang Kristen ‘pertama’ di babtis dibagian selatan. Tetapi kalau melihat sejarah awal kekristenan di Bali tentu bukan orang-orang yang dibabtis di selatan yang dianggap sebagai proto kekristenan di Bali. Tetapi adalah seorang I Gusti Karangasem yang pada tahun 1873 dibatis menjadi orang Kristen pertama di Bali oleh Van Eck dan dia berasal dari bagian Timur (kangin). Dalam tradisi orang Bali sifat kangin disamakan dengan sifat kaja sedangkan sifat kauh (barat) disamakan dengan sifat kelod! Artinya sejarah gereja di Bali juga di mulai dari ‘utara’ yang besifat sakral. Hal ini dapat ditegaskan dengan melihat sejarah yang mencatat bahwa setelah ditinggalkan oleh Van Eck, I Gusti Karangasem berjumpa dengan de Vroom di Singaraja yang kemudian menjadi ‘gurunya’. Tidakkah lagi-lagi sejarah kekristenan berada di utara yang berisifat sakaral itu? Tetapi pertanyaannya mengapa sejarah Gereja Bali tidak mencatat ini sebagai permulaan munculnya gereja di Bali? Apakah karena I Gusti Karangasem kemudian membunuh de Vroom yang ‘bersifat anarkis’ lantas kita tidak mencatat sejarah keimanannya sebagai proto sejarah gereja di Bali, khususnya GKPB? Tidakah yang ingin ditampakkan adalah dominasi selatan yang sekuler terhadap utara yang sakral? Jika betul demikian maka kelihatannya kita berada di dalam sebuah kesalahan besar di dalam membaca sejarah gereja di Bali. Khususnya penetapan tanggal 11 November sebagai hari Ulang tahun GKPB. Gereja Kemah Injil juga menjadikan hari tersebut sebagai hari lahirnya Gereja Kemah Injil di Bali, karena memang misionaris yang membabtis adalah dari Kemah Injil. Tidakkah ini membingungkan, karena kita dianggap ‘mendompleng’ hari ulang tahun gereja lain? Akan tetapi dalam kajian kaja-kelod tentu hal ini bisa dipahami, karena sesuatu yang dari utara yang bersifat sakral telah mengalami abrasi nilai yaitu sesuatu yang miskin, tidak dapat berkembang, kering dan tidak mempunyai arti apa-apa. Ironis!

Potensi di Kaja

Secara umum geografi daerah utara (kaja) di Bali merupakan daerah yang berada pada kondisi yang sangat minus. Tanah kering, curah hujan paling sedikit, sehingga dianggap sulit untuk mengembangkan sebuah sistem pertanian yang baik. Bahkan pendapatan dan pengembangan ekonomi jemaat yang tentu tidak sebanding dengan saudara-saudara yang ada di bagian selatan telah membuat kondisi kehidupan jemaat (masyaralat) harus terus berjuang dan mampu bertahan dalam kondisi yang demikian. Dan kelihatannya bernarlah pendapat orang yang mengatakan bahwa tidak ada yang bisa dikembangkan di bagian utara. Bagi saya ini hanyalah mitos. Mitos ini merupakan “kemasan politis” sebagai sebuah persaingan utara selatan (kaja-kelod). Padahal sudah barang tentu konteks geografi yang demikian dapat saja dipatahkan dengan sedikit pemanfaatan teknologi tepat guna baik dalam bidang pertanian dan kelautan yang menjadi inspirator pengembangan jemaat dan masyarakat. Belum lagi kalau kita berbicara tentang potensi kelautannya yang luar biasa. Tahukah kita bahwa di sepanjang pesisir pantai utara tersebut terbentang potensi kelautan yang luar biasa dari mulai pembibitan ikan kerapu, kerang mutiara sampai dengan keramba-keramba ikan bandeng (nener)? Dan tahukah kita bahwa potensi alam bawah laut di utara merupakan potensi terbaik yang dimiliki oleh Bali (Indonesia)? Sayang, potensi ini belum sepenuhnya termanfaatkan oleh gerak pelayanan gereja. Gerak pelayanan gereja sebagian besar masih terorintasi di selatan yang, katanya, lebih mudah berkembang.

Persoalan kita sekarang adalah bagiamana merubah image tentang kaja yang miskin dan kering menjadi kaja yang potensial. Sehingga gerak gereja juga merupakan gerak yang simetris di antara kaja, kelod, kangin dan kauh. Tidak saja terpusat di salah satu arah mata angin. Tentu tidak mudah untuk melakukannya, tetapi harus berubah.

Dalam konteks kaja dan Bali secara keseluruhan: Kita hanya punya tanah yaitu ibu pertiwi dan laut. Kembalilah kepada tanah dan laut karena ia adalah ibu kita. Sekian tahun kita telah terbuai dengan pariwisata yang sebagain besar dinikmati oleh ‘selatan’, yang sekarang bangkrut dan tidak tahu apa yang yang harus dilakukan. Tetapi sekian tahun ibu yang adalah tanah dan laut kita juga menangis karena tidak dihiraukan sama sekali. Orang sibuk dengan pariwisata dan lupa pada sang ibu yaitu tanah dan laut kita. Kalaupun di ingat maka pemerasan terjadi pada sang ibu. Ia mengalami kehancuran dan sedikit-demi sedikit tubuhnya hancur atas nama pastisida, portas, obat-obatan kimia, limbah rumah tangga (plastik) dan sebagainya. Oleh sebab itu konservasi lahan-lahan kritis dengan pemanfaatan teknologi tepat guna serta pemberdayaan kelautan menjadi sangat penting artinya di utara. Tidakkah ini juga pelayanan gereja?


“Kaja adalah kehidupan yang sakral. Ia ada dan sama pentingnya untuk menjadi arah mata angin kehidupan manusia bersama-sama dengan Kangin, Kauh dan Kelod”.

No comments: