Tuesday, May 1, 2007

Dialog Keagamaan yang Multikultural

Dialog Keagamaan yang Multikultural
(Usaha Membangun Kembali Dialog Keagamaan dan Perdamaian)

Subaltern: Refleksi dan Relasinya dalam Persoalan Hubungan Antar agama

Persoalan subaltern sebagai anak kandung kolonialisme telah menciptakan sebuah ‘kawasan sosial’ dalam lingkup kehidupan masyarakat bangsa. Kawasan itu adalah munculnya enclave masyarakat elit dan masyarakat bawah. Ranajit Guha mencatat bahwa heterogenitas masyarakat elit – khususnya dalam konteks India – terwujud dalam kelompok-kelompok pejabat, misionaris dan para industrialis kolonialis dan para subaltern terwujud dalam konteks kelompok-kelompok indigenous yang mayoritas berkerja dalam tingkat regional dan lokal. Dalam perjalanan sosial selanjutnya konflik di antara kedua kelompok ini adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindarkan berdasarkan kepentingan kelas. Kelompok elit berusaha untuk mempertahankan ‘tatatan kolonialisme’ dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia dari kelompok subaltern dan sebaliknya kelompok subaltern berusaha untuk melakukan resistensi langsung dalam kerangka menciptakan kesejajaran dalam kedudukan sosial dan kemasyarakatan yang selama ini tertundukan.

Dimensi ‘pemberontakan’ yang dibangun oleh kelompok subaltern dalam kerangka menciptakan ‘suara kaum marginal’ cenderung dilihat dari kaca mata elit dalam stigma pemberontak, kelompok ekstrim, kelompok kiri dan sebagainya. Dalam konteks pemahaman yang demikian inilah kemudian – biasanya - pendekatan yang dilakukan penguasa adalah dengan melakukan tindakan ketertiban dan keamanan.

Apa yang terjadi dalam konteks Indonesia – khususnya dalam konteks Orde Baru – dapat dilihat dalam kerangka pemahaman yang demikian. Konsep pembangunan yang merupakan tujuan nasional dilihat sebagai tuan yag mempekerjakan budak-budak. Budak-budak ini harus mengikuti apa yang dikatakan sang tuan meskipun perkataaan itu telah menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan dari budak tersebut. Pelanggaran terhadap ‘perkataan’ sang tuan adalah tindakan pemberontakan yang harus ditertibkan dan diamankan demi terciptanya stabilitas nasional. Posisi masyarakat adalah sebuah posisi yang marginal (subaltern) yang merupakan sumber eksploitasi kepentingan negara atas nama pembangunan. Pertanyaannya dimanakah peran agama dan kaum agawan pada waktu itu?

Tidak dapat disangkal bahwa agama (dan kaum agamawan), seperti yang dikatakan Guha, cenderung menempatkan dirinya sebagai kaum elit. Hal ini karena agama dianggap mampu menciptakan stabilitas nasional secara memadai. Namun secara tidak disadari bahwa agama dan kaum agamawan telah menciptakan pada dirinya sendiri sebuah enclave baru yaitu sebagai kaum elitis. Tafsir agama kemudian menjadi sebuah tafsir demi dan atas nama kepentingan negara dari pada kepentingan Tuhan. Hal ini dapat dilihat dengan munculnya mainstream-mainstream utama keagamaan yang dianggap sebagai yang benar. Munculnya ‘agama’ yang ada di luar mainstream agama tersebut dianggap sebagai yang bukan agama tetapi hanya sebagai aliran kepercayaan. Dalam konteks masyarakat beragama di Indonesia pemahaman yang demikian kemudian menciptakan stigma adanya agama yang diakui pemerintah dan agama yang tidak diakui pemerintah. Pertanyaannya adalah apakah ada relevansi antara agama yang diakui pemerintah dalam hubungannya dengan agama yang diakui Tuhan? Apakah agama yang diakui pemerintah adalah agama yang benar dimata Tuhan? Atau orang yang mengikuti agama yang diakui pemerintah akan selamat sedangkan orang yang tidak mengikuti agama yang diakui pemerintah tidak selamat? Pandangan semacam ini sebenarnya sudah harus dirubah karena merupakan sebuah warisan kolonialistik. Hal ini karena dengan konstruksi pemahaman yang demikian maka agama-agama yang disebut sebagai ‘agama mainstream’ telah menjadi kelompok elit yang justru menindas kepentingan agama-agama lokal. Dalam hal ini – mengacu pada teori subaltern – hubungan agama-agama pada akhirnya telah menjadi hubungan yang formal dan struktural dimana kekuasaan (pemerintah) telah menciptakan adanya agama resmi dan agama tidak resmi dan pada sisi lain agama resmi telah menjadikan agama tidak resmi tersebut sebagai sesuatu yang bukan agama.

Dalam perkembangan selanjutnya persoalan agama resmi ini juga menjadi persoalan tersendiri. Dimensi mayoritas dan minoritas yang secara eksplisit tidak diakui tetapi secara statistik selalu menjadi sebuah acuan telah menciptakan garis-garis psikologis di antara agama yang banyak pemeluknya dan agama yang sedikit pemeluknya – secara nasional Islam sebagai representasi mayoritas dan agama lainnya sebagai minoritas. Persoalannya menjadi rumit ketika garis-garis psikologi ini memasuki ruang-ruang politik kebijakan negara dimana tema mayoritas dan minoritas sempat terungkap. Sejarah Indonesia merdeka mencatat bahwa benturan kepentingan mayoritas dan minoritas telah menjadi sumber konflik sejak para founding father/mother merumuskan UUD 1945 hingga saat ini. Hal yang menarik adalah bahwa tema mayoritas dan minoritas ini selalu tidak diakui dalam konteks ke-Indonesiaan namun demikian dalam prakateknya selalu manjadi acuan dalam pembuatan kebijakan. Pemahaman yang demikian saat ini semakin nampak dalam konteks otonomi daerah dimana kepentingan mayoritas adalah hal yang utama bahkan cenderung menghegemoni kaum minoritas. Indikator mayoritas dan minoritas dalam persoalan otonomi daerah biasanya yang utama didasarkan pada etnik dan agama. Dalam konteks semacam ini lagi dijumpai sebuah komposisi elit dan subaltern atas nama mayoritas dan minoritas (etnik maupun agama).

Dialog Agama: Pendekatan Multikultural

Dialog agama-agama dalam pendekatan multikultural merupakan sebuah tawaran bagi pencarian kembali identitas keagamaan dan perdamaian di Indonesia. Hal ini tentu didasarkan pada pemahaman bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang bersifat permanen. Ia merupakan sebuah kontrak sosial yang senantiasa dapat selalu diberi pemaknaan yang baru melalui perjumpaan yang terjadi dengan kebudayaan yang berbeda. Proses perjumpaan ini akhirnya menghasilkan sebuah produk hibriditas yang juga senantiasa dipahami sebagai anak kandung kebudayaan. Oleh sebab itu yang diperlukan adalah keterbukaan terhadap proses hibridasi dan bukan ketertutupan. Demikian juga halnya dalam konteks dialog agama dalam mewujudkan perdamaian maka proses hibridasi adalah bagian dari kehidupan keagamaan yang senantiasa menjadikan agama ‘selalu memiliki makna baru” dalam pemahamannya. Dalam konteks dialog agama-agama di Indonesia yang sekian waktu lalu telah ‘terjerumus di dalam dosa’ pada kepentingan kekuasaan, maka beberapa hal yang perlu dielaborasi sebagai wacana membangun ‘model dialog agama-agama’ dan perdamaian dalam konteks multikultural antara lain sbb:

1. Berusaha untuk menempatkan agama sebagai sebuah agen perubahan dan tidak semata-mata sebagai agen kekuasaan. Sebagai agen kekuasan agama cenderung menempatkan tafsir agama didasarkan pada kepentingan kekuasaan. Sebagai contoh tafsir negara yang bersifat monolitik atas keperbedaan (demi menjaga kesatuan dan persatuan) harus berani didekonstruksi dengan merekonstruksi ulang tafsir agama atas nilai-nilai persatuan yang bersifat beragam bukan monolitik. Oleh sebabitu diperlukan adanya penafsiran-penafsiran yang lebih konprehensif di dalam membaca dan merenungkan teks-teks kitab suci dan teks-teks keagamaan lainnya.

2. Agama sudah seharusnya membangun sebuah hubungan yang bersifat multikultural. Dalam tema-tema pengajaran agama sudah selayaknya tema multikultural ini diajarkan dengan bijak dan rendah hati. Pendidikan multikultural ini akan membawa umat dalam pemahaman yang lebih mendasar mengenai hubungan dengan sesamanya yang berbeda agama, suku, status sosial, ras, bangsa dan sebagainya. Selain itu institusi keagamaan seharusnya berani menghancurkan tembok-tembok atas klaim identitas superior yang dimiliki oleh agama yang dianut dan menggantikannya dengan pemahaman yang lebih bersahaja atas nama kerendahan hati dan perdamaian.

3. Pada sisi lain agama-agama dan kaum agamawan harus melakukan ‘pertobatan nasional’ karena telah membawa agama dan seluruh pengajarannya menjadi bagian dari kepentingan industri kapitalisme. Citra agama yang humanis dan bersahaja bagi semua orang telah masuk dalam ruang-ruang media televisi yang bersifat kapitalis. Mimbar agama dirumah-rumah ibadah sebagi sarana perjumpaan antar umat dan masyarakat telah terkungkung dalam ruang tamu ataupun kamar pribadi. Dalam konteks ini secara psikologis ruang terbuka bagi dialog antar umat agama telah mengalami distorsi melalui kepentingan market capitalism. Kurangnya dialog antar umat akibat sempitnya ruang yag disediakan bagi sebuah dialog telah menimbulkan kecurigaan-kecurigaan di antara umat beragama. Pada sisi lain ajaran-ajaran agama yang dikembangkan melalui penyiaran televisi telah menciptakan sebuah produk instan yang tidak lebih sebagai usaha menjual agama secara masif dan tidak terkendali.

4. Doktrin-doktrin keagamaan yang bersifat misiologis sebagai akibat dari model penafsiran yang ekslusif dan cenderung bersifat kolonialistik sudah saatnya ditafsirkan ulang berdasarkan konteks pengalaman bersama (di Indonesia). Harus ada kepentingan bersama di antara umat beragama untuk mulai membaca teks-teks yang bersifat doktriner dari kaca mata ‘bersama’. Pentingnya teks ini dibaca bersama mengingat persoalan yang sama yang dihadapi masyarakat (Indonesia) yaitu masih terdapatnya persoalan demokrasi, HAM, bahaya diskriminasi, terorisme, etnonasionalisme, dan lain sebagainya. Pembacaan bersama mengenai teks-teks misiologi-eksklusif ini diharapkan akan menciptakan sebuah model misi bersama dalam kehidupan beragama yang holisitik dan konstruktif bagi Indonesia yang pluralistik.

5. Pendekatan keagamaan sudah seharusnya menempatkan nilai-nilai lokal genius sebagai materi pengajaran keagamaan. Pendidikan atas nalai-niali lokal ini seharusnya terbebas dari kepentingan kekuasaan. Dalam setiap daerah dimana agama berkembang pasti memiliki nilai-nilai bersama yang dapat dibangun sebagai sebuah konsesus kebudayaan yang dapat menjangkau setiap orang. Konsesus budaya ini, bagi agama, seharusnya dipahami pahami sebagai bagian yang utuh dari pemahaman tentang keagamaan itu sendiri. Bukan semata-mata hanya bagian dari ‘mimpi-mimpi’ teologi kontekstual.

6. Agama harus mengembalikan fungsi ‘hati nurani’ sebagai dasar dalam memahami Sang Ilahi. Kuatnya pendulum keagamaan ke arah institusi telah menghilangkan nilai-nilai hati nurani sebagai inti kehidupan keagamaan tersebut. Hati nurani adalah ibu keimanan setiap orang beragama. Hilangnya perdamaian sebagai akibat dari konflik sosial (agama) merupakan tanda hilangnya penghargaan yang dalam terhadap ibu keimanan kita yaitu hati nurani.

Damai di Bumi Damai di Hati: Salam Perdamaian dari Bumi Sejuk, Bedugul, Bali


***
Bahan-Bahan Bacaan:

- Richard King, Orientalism and Religion – Postcolonial Theory, India and the Mystic East, Routledge, London, 1999.
- Rajanit Guha, “On Some Aspects of the Historiography of colonial
India” dalam Subaltern Studies 1, Oxford University Press, Delhi, 1982.
- Gayatri Spivak, “Subaltern Studies: Deconstructing Historiography” dalam Ranajit Guha dan Gayatri Spivak (eds.), Selected Subaltern Studies, Oxford University Press,
Delhi, 1982.
- Homi K. Baba, “Of Mimicry and Man – The Ambivalence of Colonial Discourse” dalam Homi K. Baba, The Location of Culture, Routledge,
London, 1994.
- A.A.G.N. Ari Dwipyana, “Pendidikan Umat: Dari Pluralisme ke Multikulturalisme”.
- Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural-Menghargai Kemajemukan, Menjalin Kebersamaan, Kompas,
Jakarta, 2003.
- Stanley J. Samantha, “Masa Depan Dialog Antar Agama” dalam Majalah Rohani, Juli 1992.
araus





No comments: